[OPINI] Gerakan Buruh Melawan Pandemik  

Merayakan Hari Buruh Internasional di tengah pandemik

Hari Buruh Internasional mungkin akan terasa berbeda pada tahun 2020. Riuh demonstrasi massa aksi buruh dan aliansinya di kota-kota di seluruh dunia, untuk menuntut hak dan kondisi kerja yang lebih layak, harus berhadapan dengan pembatasan sosial dan ancaman pandemik yang perlu dipatuhi. Tindakan pembatasan sosial serta karantina wilayah harus dilakukan untuk mencegah dampak terburuk penyebaran wabah dan sekaligus sebagai upaya percepatan penanganan COVID-19 di hampir seluruh negara termasuk di Indonesia.  

Pandemik COVID-19 menghadirkan pukulan telak bagi beragam sektor industri dan ekonomi dunia, bahkan perlahan mengubah relasi sosial kebudayaan masyarakat. Konon, kita sedang menuju sebuah tatanan kenormalan baru. Hampir semua negara, baik itu negara maju, berkembang maupun negara miskin mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi menuju resesi terburuk pasca-depresi ekonomi tahun 1930 akibat pandemik ini.

Situasi ekonomi global yang rentan akan semakin meluas ke berbagai negara dengan dampak yang sulit untuk dibayangkan, pandemik COVID-19 tidak hanya mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat, tetapi pada akhirnya juga menyebabkan gangguan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap ekonomi global dan pasar tenaga kerja. Dan para pekerja di seluruh dunia yang sedang memperingati Hari Buruh Internasional harus berhadapan dengan situasi dan tantangan tersebut.

Pandemik krisis ketenagakerjaan global

[OPINI] Gerakan Buruh Melawan Pandemik  Buruh pabrik di Cikupa Tangerang (ANTARA FOTO/Fauzan)

Data International Labour Organization (ILO) terbaru tentang dampak pandemik COVID-19 terhadap pasar dunia kerja menunjukkan, pandemik menyebabkan gangguan ekonomi sosial dan mengancam mata pencaharian sumber penghidupan dan kesejahteraan jutaan orang. ILO melansir rilis laporan pemantauan Infeksi COVID-19 terhadap dunia kerja global pada tanggal 29 April 2020, memperkirakan akan lebih banyak orang kehilangan pekerjaan karena pandemik virus corona. Sayangnya, risiko tersebut tidak dibarengi dengan hadirnya mata pencaharian ekonomi alternatif. Tanpa sumber penghasilan alternatif ataupun intervensi negara secara tepat, maka para pekerja dan keluarganya tidak memiliki sarana apapun untuk bertahan hidup.

ILO menujukkan data bahwa diperpanjangnya karantina wilayah di berbagai negara, telah meningkatkan laju kehilangan lapangan kerja di sektor yang paling terkena imbas pandemik. Menurunnya jam kerja secara global akibat wabah COVID-19 menyebabkan 1,6 miliar pekerja, terutama di sektor informal, berada dalam situasi krisis lapangan kerja dan sumber penghidupan. Angka tersebut hampir setengah dari tenaga kerja yang tersebar di berbagai negara di seluruh dunia yang berkisar dua miliar di seluruh dunia dan 3,3 miliar angkatan kerja global. 

Situasi ini serasa hendak menunjukkan kerapuhan dunia kerja global. Hampir 60 persen tenaga kerja global bekerja informal dengan segala keterbatasan hak, upah minimum, perlindungan sosial, serta perlindungan hukum yang dimilikinya. Tantangannya adalah, semoga setelah pandemik COVID-19 mereda, kita punya kesempatan untuk memikirkan ulang sebuah tatanan ekonomi global yang lebih manusiawi dan mampu menunjukkan jaminan atas pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Nasib buruh di era omnibus law

[OPINI] Gerakan Buruh Melawan Pandemik  Ilustrasi aksi buruh. Ribuan buruh di Makassar berunjukrasa menolak Omnibus Law Cilaka di depan Kantor Gubernur Sulsel. IDN Times/Sahrul Ramadan

Di Indonesia, selain karena pandemik yang memaksa ratusan industri besar hingga ribuan UMKM harus merumahkan karyawannya tanpa gaji atau tutup usaha, nuansa hari buruh juga semakin suram dengan omnibus law RUU Cipta Kerja yang terus dirapatkan di parlemen. Ada banyak hal yang dikritisi dalam rencana undang-undang sapu jagat ini yang dianggap tak berpihak kepada buruh, petani, masyarakat adat hingga menjadi ancaman terhadap lingkungan hidup. Beragam persoalan ketentuan hukum yang dinilai bermasalah dalam RUU Cipta Kerja juga menjadi perhatian publik terutama terkait urusan tumpang tindih teknis dan substansi perundang-undangan.

RUU Cipta Kerja bagi sebagian besar gerakan buruh di Indonesia dianggap sebagai upaya menunjukkan watak dan komitmen buruk Pemerintah terhadap perlindungan buruh, lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Bagi gerakan buruh, RUU berpotensi melanggengkan kondisi krisis ekonomi, tidak menjadi jaminan terbukanya lapangan kerja yang layak, memudahkan investasi yang eksploitatif, dan menempatkan rakyat di bawah ancaman bencana industri dan perebutan ruang hidup yang berkepanjangan.

Meski dalam pernyataan resmi Presiden Jokowi yang menyatakan penundaan pembahasan Klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja, akan tetapi persoalan lain belum tentu tidak menjadi ancaman nyata. Kritik paling umum dari gerakan buruh terhadap RUU Cipta Kerja ialah adanya potensi hilangnya kedaulatan atas lapangan kerja yang layak, serta semakin jauhnya perbaikan kesempatan atas hak dan kesejahteraan buruh yang selama ini masih terasa timpang dalam berbagai sektor pekerjaan di Indonesia.

Mendorong tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas keselamatan pekerja

[OPINI] Gerakan Buruh Melawan Pandemik  Dok. Biro Pers Kepresidenan

Situasi hari ini serasa hendak memberikan pilihan bahwa negara dipaksa memilih antara ekonomi dan rakyatnya. Menyelamatkan industri atau menyelamatkan pekerja seharusnya bukanlah pilihan, meski kita tahu bahwa ada urusan perbedaan kapasitas, ideologi politik dan sumber daya negara yang berbeda-beda akan sangat menentukan ke mana arah kebijakan negara dalam menyelamatkan ekonomi dan pekerjanya. Tetapi jika harus menjadi pilihan maka harapan terbaik yang dimiliki adalah negara memilih rakyatnya.

Pelajaran penting bagi negara atas COVID-19 adalah semakin terangnya persoalan rumitnya tautan antara kesehatan, ekonomi dan kesenjangan sosial, terutama bagi massa pekerja. Isu yang kemudian mencuat adalah perlunya menguatkan jaring pengaman sosial bagi pekerja, terutama pekerja informal dan masyarakat miskin terbawah yang selama ini sering kali terpinggirkan dalam sederet skema kebijakan kesejahteraan oleh negara. Harapannya, pada ujungnya nanti lahir sebuah skema jaring pengamanan sosial yang inklusif bagi seluruh rakyat Indonesia, bagi siapapun rakyat yang membutuhkannya, bukan melalui kebijakan kartu Pra-Kerja yang masih sangat prematur untuk diterapkan di saat krisis ini.

Bersolidaritas pada pekerja garis depan di masa pandemik

[OPINI] Gerakan Buruh Melawan Pandemik  ANTARA FOTO/Fauzan

Hari Buruh Internasional 2020 juga adalah kesempatan untuk menunjukkan solidaritas terhadap para pekerja garis depan dalam pencegahan dan penanggulangan COVID-19 di Indonesia yang, sampai hari masih terus bekerja dengan segala keterbatasan jaminan perlindungan yang ada di Indonesia. Para pekerja di bidang kesehatan, pekerja logistik dan transportasi, para pekerja penyedia kebutuhan pokok, serta kepada para pekerja yang mesti tetap bekerja untuk bisa bertahan hidup dan menjaga kelangsungan hidup banyak orang, meski menempatkan hidup mereka dalam ancaman risiko.

Selamat Hari Buruh Internasional 2020, semoga solidaritas membawa kekuatan melawan pandemik ini.

*Penulis adalah peneliti pada Pusat Studi Desentralisasi dan Kerja Sama Global, Universitas Bosowa, Makassar.

Baca Juga: [OPINI] Menyemai HAM di Indonesia, Memetik Kebanggaan di Dunia 

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya