[OPINI] Digital, Kata Kunci 2024

Bagaimana digitalisasi bekerja pada Pemilu 2024?

Penulis:

Edy Junaedy Syaf,
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik,
Universitas Hasanuddin

Beberapa hari yang lalu, tepatnya 14 Juni 2022, Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi
memulai tahapan PEMILU SERENTAK 2024. Momen peluncuran ini tepat 20 bulan sebelum hari pemungutan suara di TPS. Hal ini sudah menjadi amanat konstitusi bahwa Pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali. Dengan dimulainya tahapan Pemilu, wacana penundaan Pemilu berakhir.

Sebelumnya, KPU bersama Komisi II DPR, Mendagri, bawaslu dan DKPP menyetujui
peraturan KPU (PKPU) tentang tahapan pemilu 2024. Salah satu kesepakatan penting dalam tahapan pemilu serentak ini adalah penetapan masa kampanye. Usulan awal KPU yang merencanakan masa kampanye 120 hari (4 bulan) direvisi menjadi hanya 75 hari. Masa kampanye ini bahkan lebih pendek dibanding Pemilu edisi sebelumnya, yang mana berlangsung selama 90 hari.

Dampak berkurangnya masa kampanye

Berkurangnya masa kampanye ini tentu berimplikasi kepada berbagai hal. Dari sisi
pemerintah, hal ini dapat menurunkan anggaran pemilu dan secara strategis akan mengurangi masa keterbelahan rakyat. Pemerintah khawatir, masa kampanye yang terlalu lama berpotensi melahirkan polarisasi sebagaiamana yang terjadi pada pemilu sebelumnya. DPR dan kementrian juga memandang bahwa pemangkasan masa kampanye ialah langkah rasional dalam adaptasi transisi pandemi covid-19 ke endemi.

Pada Pemilu serentak 2024 akan datang, masa kampanye ditetapkan pada 28 November
2023 s/d 10 februari 2024 (75 hari), terdiri dari 60 hari masa kampanye fisik (luring) dan 15 hari masa kampanye virtual (daring). Merujuk pada PKPU 3 tahun 2022 disebutkan bahwa Kampanye adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Berbagai medium dapat digunakan baik itu menggunakan alat peraga fisik maupun iklan pada media daring.

Adaptasi teknologi informasi dalam ranah politik

Tentu menarik untuk melihat partai politik, calon Presiden, calon Legislatif dan calon
Kepala Daerah dalam memanfaatkan waktu dan membagi strategi di antara dua model
kampanye ini. Begitupula dengan KPU sebagai Penyelenggara pemilu, memerlukan strategi khusus dalam mengelola pelaksana dan petugas kampanye sebagai wujud dari pendidikan politik masyarakat, yang dilaksanakan secara bertanggung jawab dan dialogis.

Sejak lama, dunia telah memasuki era digital di mana segala aktivitas dapat dilakukan
dengan memanfaatkan Teknologi Informasi. Terlebih, pandemi covid-19 telah mempercepat adaptasi teknologi di segala bidang, termasuk politik. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2020 memperkirakan, penetrasi pengguna internet Indonesia mencapai 196,7 juta atau 73,7% populasi Indonesia telah mengakses Internet. Profil penggunanya didominasi oleh generasi milenial dan generasi Z pada rentan umur 20-40 tahun.

Menarik untuk melihat angka statistik ini dari kacamata geopolitik. Indonesia adalah
Negara kepulauan yang terbagi menjadi dua poros geografi, barat dan Timur. Beberapa
pengamat politik sering menempatkan perkawinan antara tokoh dari barat dan timur
merupakan pasangan ideal calon presiden dan wakilnya. Representasi geopolitik ini telah kita saksikan dalam dua periode kepemimpinan berbeda, SBY-JK dan JKW-JK. Sayangnya, sulit menempatkan representasi Timur diposisi 01, salah satu faktornya adalah sebaran penduduk yang menempatkan pulau jawa sebagai episentrum DPT-nya.

Kesenjangan teknologi

Setali tiga uang dengan sebaran kependudukan, penetrasi teknologi juga mengalami
kesenjangan yang dalam. Studi Alpha JWC Ventures and Kearney (2021) berhasil membagi wilayah Indonesia dalam pendekatan berbeda. Dengan menggabungkan berbagai parameter, studi ini menempatkan sebagaian besar kota di Indonesia timur dalam kategori tier-3, tier-4. Sementara itu kategori tier-1 dan tier-2 didominasi oleh kota-kota yang ada di pulau jawa seperti Jakarta, Surabaya & Bandung. Sistem tiering (tingkatan) didasarkan pada pengeluaran per kapita, ukuran populasi, penetrasi internet, pertumbuhan PDB provinsi, dan kepadatan populasi.

Makassar sebagai Barometer Indonesia Timur, masuk kategori kota tier-2 dengan
tingkat early adopter penduduknya terhadap teknologi berkisar 17%. Menyisakan 83%
penduduk yang yang jauh lebih berhati-hati mengikuti tren dan cenderung skeptis dengan
pemakaian teknologi. Sementara kota/kabupaten kategori tier-3, hanya 11% penduduknya
mampu dengan cepat beradaptasi teknologi digital. Tantangan inilah yang harus dihadapi oleh calon kepala daerah dan calon anggota legislatif, khususnya di indonesia timur.
Iklan kampanye (konten) berbasis teknologi tentu akan kesulitan menembus geografi
yang adaptasi digitalnya rendah. Belum lagi masalah blank spot jaringan 4G yang masih
terdapat di wilayah pedesaan. Suka tidak suka, wilayah blank spot ini harus tersentuh
kampanye fisik jika tidak ingin kehilangan suara. Jika demikian kondisinya, maka sebaran
kampanye digital masih akan terpusat di wilayah urban dan suburban yang relatif mudah
jangkau secara fisik oleh kandidat.

Tentu, asumsi di atas ada benarnya. Namun, dengan format pemilihan serentak antara
legislatif dan eksekutif, penentuan jadwal dan wilayah kampanye fisik tiap kandidat akan semakin ketat dan bersinggungan. Tingkat Efisiensi waktu dan pemanfaatan ruang sebaran alat peraga berpotensi tumpang tindih. Kelemahan ini harus disiasati dengan teknologi yang dapat menembus batasan ruang geografis dan waktu kampanye yang rapid. Terlebih, DPT akan didominasi oleh generasi dengan level adaptasi teknologinya semakin baik seiring infrastruktur teknologi akan semakin merata 2 tahun mendatang.
Pemanfaatan digital live meeting, social media & messaging, portal berita, serta
algoritma mesin pencari (search engine) dan applikasi konten digital lainnya akan mengambil peran lebih dibanding pemilu sebelumnya. Bahkan untuk kampanye “transaksional” sekalipun, teknologi financial (fintech) membuka ruang pemanfaatan e-money dan e-wallet melalui QRcode. Saat waktu dan ruang kampanye kian menyempit, maka strategi digital adalah kata kunci yang perannya harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya