Menjadi Minoritas dan Pernah Merasakan Hidup Bertahun-tahun tanpa KTP 

Mereka harus menanggung beban psikologis karena stigma

Makassar, IDN Times - Menjadi orang berbeda itu seringkali tidak mudah. Stigma hingga diskriminasi masih kerap dialami oleh mereka yang memilih jalan tidak sama dengan pilihan orang pada umumnya.

Pernyataan itu menjadi awal perbincangan saya dengan Gege, perempuan dengan ekspresi maskulin. Kami berbincang di salah satu tempat tongkrongan millennials di Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, akhir November 2020. 

Lokasi itu dipilih dengan alasan keamanan dan kenyamanan. Bagi Gege, dua alasan itu hanya sebagian kecil representasi stigma dan diskriminasi yang mengakibatkan begitu sulitnya mendapat ruang di tengah-tengah masyarakat. Alasan itu pula yang membuat Gege memilih menjalani hidup tanpa identitas. Khususnya menyoal kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dampak traumatik yang berkepanjangan membuatnya tidak mau dibebani dengan persoalan administrasi kependudukan. 

“Waktu itu, umur 17 tahun. Sebenarnya saya tidak mau karena semua orang yang menunggu dibuatkan KTP waktu itu melirik ke saya. Itu yang membuat saya risih. Mereka lirik karena lihat penampilanku. Saya belum bicara apa-apa, saya sudah dikasih perasaan yang tidak nyaman,” kata Gege menjelaskan alasannya saat pertama kali mengikuti proses pembuatan KTP di kampungnya, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Diskriminasi diawali dengan ekspresi

Gege terpaksa mengurus seluruh kelengkapan identitas pertama kalinya di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Polman, Sulbar. Pengurusan administrasi dijalani setelah dia berdiskusi panjang dengan kedua orangtuanya. Meski dengan berat hati, mau tidak mau, dia harus mengurusnya. Gege bercerita, saat dalam antrean, seorang anak berusia sekitar 6 tahun yang ikut bersama ibunya bertanya, “Kak, kita laki-laki atau perempuan?,” kata Gege tertawa mengingat pertanyaan itu. 

Setelah menunggu beberapa saat, giliran teknis pembuatan KTP pun tiba. Gege mengaku ditanyai oleh petugas soal identitas dan ekspresinya. “Rambut sempat diprotes. Karena pendek. Terus ditanya lagi, ini laki-laki atau perempuan,” ujar Gege. 

Pertanyaan aneh terus dilontarkan petugas. Kata Gege, dia juga sempat ditanya soal nama aslinya. Setelah menyebut namanya, petugas heran. “Dia (petugas) bilang, kenapa tidak cocok sekali nama dengan gayanya. Mestinya yang gagah-gagah sedikit,” ungkap Gege. Tahun itu, kata Gege, adalah kali pertama dia mendapat perlakuan tidak menyenangkan saat mengurus kartu identitas dengan proses yang rintangannya luar biasa. “Bahkan saya sempat pikir, saya tidak mau lagi urus kalau ada apa-apa,” ucap Gege.

Diskriminasi menimbulkan trauma

Gege mesti bersabar menahan perasaan hingga usianya 18 tahun. Pada 2009, dia akhirnya memiliki kartu identitas. KTP itupun dibuatkan oleh orang lain karena Gege trauma pada beberapa pengalaman saat mengurus sendiri. Dalam perjalanannya, kartu identitas itu kemudian hilang. “Saya lupa hilangnya kapan, hilangnya itu beberapa kali. Kembali buat sendiri dua kali tapi yah, begitulah sampai trauma. Terakhir dibuatkan di 2016 kayaknya, terus di 2018 sampai 2020 saya tidak pernah lagi pegang KTP,” ungkap Gege. 

Tanpa KTP secara otomatis akan membuat seluruh aktivitasnya saat mengurus berkas administrasi lainnya terganggu. Seperti mendapat pelayanan kesehatan, mengurus tiket pesawat hingga membuka rekening bank. Untuk mengatasi kondisi tersebut, dia harus menggunakan Surat Izin Mengemudi (SIM). SIM digunakan sebagai pengganti identitas sementaranya yang hilang. Gege enggan mengurus surat kehilangan karena masih khawatir akan tekanan dari orang-orang soal ekspresinya. 

Gege kini masih dibayangi kecemasan karena masa berlaku SIM-nya berakhir tahun 2020. “Misalnya kalau saya mau ke Bali, mesti pakai SIM supaya bisa dapat tiket pesawat. Kalau pelayanan kesehatan saya kurang tahu karena BPJS saja tidak ada. Hanya dua kemungkinan, ditolak atau dirawat dengan jalur umum. Atau mau tidak mau saya tunggu saja donasi dari orang-orang kalau kondisinya sangat sulit,” ucap Gege.

Menjauhi tempat-tempat yang rawan razia KTP

Saat ini, Gege bekerja di suatu organisasi yang fokus pada isu kemanusiaan dan keadilan gender. Gege mengaku sebenarnya masih punya niat untuk mengurus KTP. Namun dia enggan mengurusnya sendiri. Paling tidak, dia harus menggunakan jasa orang lain agar KTP dengan mudah didapatkan. Hal paling fundamental dirasakan Gege adalah tekanan melalui stigma. Menurut Gege, menjadi bagian dari kelompok minoritas dan rentan dengan identitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), penuh dengan rintangan. Pada dasarnya orang-orang masih sulit memberikan ruang ekspresi bagi mereka.

Tanpa KTP, Gege membatasi diri kemana-mana. Minimal dia dapat menghindari lokasi-lokasi yang dianggap rawan razia identitas. “Jadi teman-teman LGBT yang tidak punya KTP ini ada-ada saja akal-akalnya. Atau minimal kita urus saja KTP dengan menggunakan relasi kuasa (aksesnya dimudahkan). Relasi kuasa itu mematahkan segalanya. Apalagi kalau banyak uang, punya keluarga turunan, dan bentuk relasi kuasa lainnya,” jelas alumnus jurusan Ekonomi Perbankan di salah satu kampus di Kota Makassar ini. 

Gege menuturkan menjadi LGBT adalah sesuatu yang tidak gampang. Selain berseberangan dengan corak berpikir sebagian besar masyarakat, persoalan lain yang dihadapi adalah tekanan psikis dari lingkungan sekitar, khususnya keluarga. Namun dalam internal keluarganya, kata Gege, kondisinya cukup dipahami. “Kalau teman-teman sekolah SMP dulu menjauh satu-satu. Apalagi kalau dia tahu kalau saya biseksual sampai sekarang. Jadi menjadi LGBT itu tidak gampang. Ketakutan sangat besar,” terangnya.

Menjadi Minoritas dan Pernah Merasakan Hidup Bertahun-tahun tanpa KTP Ilustrasi Wanita-Pria (IDN Times/Arief Rahmat)

Transpuan juga merasakan pengalaman buruk yang sama

Pengalaman hidup bertahun tanpa KTP juga pernah dirasakan Rossa. Seorang transpuan yang sudah tiga tahun terakhir berdomisili di Kota Makassar. Di usia 17 tahun, Rossa yang sedianya telah memenuhi syarat administrasi pembuatan kartu identitas, juga mendapat rintangan. Kesulitan dialami saat proses perekaman, seperti foto diri. Rossa kala itu diharuskan berpenampilan layaknya laki-laki. “Umumnya seperti itu,” kata Rossa, saat berbincang dengan saya di suatu tempat di Kecamatan Biringkanaya, 14 Desember 2020 lalu.

Setahun sebelumnya, Rossa berangkat ke Surabaya untuk keperluan pribadi. Termasuk soal pekerjaan. Karena usianya kala itu masih 16 tahun, identitasnya terpaksa dipalsukan melalui kartu keluarga salah seorang temannya di Makassar agar bisa berangkat. Rossa meninggalkan kampung halamannya di Polman, Sulbar pada 2013. Empat tahun di Surabaya, Rossa memutuskan untuk kembali ke kampung pada 2017. Rossa berkeyakinan bahwa sudah bisa mendapatkan kartu identitas di kampungnya. 

Rossa memberanikan diri mengurus KTP didampingi saudaranya. Proses perekaman KTP dilalui dengan sekelumit pertanyaan oleh petugas Dukcapil yang, menurutnya, tidak begitu penting. “Pertanyaan begitu, dari mana selama ini, kenapa baru mau buat KTP, kenapa tidak dibuat sebelum-sebelumnya dan beberapa pertanyaan yang sebenarnya membuat risih dan tidak nyaman,” ungkap Oca,-sapaan akrabnya. Pertanyaan itu kata Oca, menyoal ekspresinya.

Bukannya mendapat KTP dalam beberapa hari, dia justru diminta untuk menunggu. Alasan petugas Dukcapil saat itu, katany Oca, karena blanko KTP tidak tersedia. Sebagai penggantinya, dia hanya diberikan kartu identitas sementara, yaitu salinan berkas bahwa dia telah merekam pembuatan KTP di kantor pemerintahan setempat. Salinan bukti rekaman KTP itu hanya berlaku selama enam bulan. Berat bagi Oca untuk beraktivitas tanpa identitas resmi. Terlebih karena dia sebagai seseorang yang mengekspresikan diri sebagai perempuan.

Pernah hampir ketinggalan pesawat karena pemeriksaan KTP

Enam bulan di kampung halaman sembari menunggu KTP resminya selesai, Oca memutuskan untuk berangkat ke Jayapura pada pertengahan 2017. Dia merantau untuk suatu pekerjaan. Di bandara, sebelum berangkat, dia mengaku kembali mendapat perlakuan kurang nyaman. “Ditanya lagi mau ke mana, mana KTP-nya. Jadi saya perlihatkan kalau saya sementara urus dengan surat keterangan bukti perekaman. Saya ikutkan juga kartu keluarga (KK) dan akta kelahiranku. Itu yang sering saya bawa-bawa,” ungkapnya.

Bahkan, kata Oca, pernah suatu ketika, dia hampir ketinggalan pesawat karena terlalu lama diperiksa identitasnya oleh petugas bandara di Makassar. Petugas mencocokkan identitas sementara yang dimiliki Oca dengan penampilannya. Mau tidak mau, dia mesti bersabar hingga pemeriksaan selesai. Oca kemudian bergegas mengambil semua barang bawaannya kemudian masuk ke dalam pesawat. “Makanya itu sulit karena kan bukan identitas asli. Jadi saya berusaha untuk jelaskan,” kata Oca. 

Di Jayapura, Oca mengaku sempat mengurus kembali KTP. Dia juga sudah melewati serangkaian proses teknis, seperti foto diri. Oca bilang, petugas Dinas Dukcapil setempat menyampaikan, jika data kependudukannya telah didaftarkan di Polman. Sebaliknya, saat mempertanyakan kembali KTP di Polman, petugas memintanya untuk bersabar menunggu proses hingga selesai. Tiap enam bulan sekali, dia memperbaharui kartu tanda bukti perekaman KTP. Dia harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk pengurusan karena masih tinggal di Jayapura. 

Kendala lain selama beraktivitas di perantauan tanpa KTP, kata Oca, adalah kekhawatiran saat pemeriksaan. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, dia membatasi diri keluar rumah. Hingga akhir 2019, dia memutuskan untuk kembali ke Kota Makassar. Dia kembali berupaya menghubungi petugas Dinas Dukcapil di kampungnya soal perampungan KTP. Lagi-lagi dengan alasan yang sama, ketiadaan blanko, Oca terpaksa membatasi ruang geraknya selama di Makassar. Pada akhirnya, dia mendapatkan pekerjaan di suatu tempat meski tanpa KTP. 

Akhirnya, pada 12 Desember 2020 lalu, Oca menerima kartu identitasnya. Dia mengaku KTP pertamanya itu dia peroleh pada usia 23 tahun. Oca pun merasa bersyukur. Khusus untuk fasilitas kesehatan, Oca mengaku punya kartu BPJS. “Karena masih pakai KK dengan orangtua. Sejauh ini alhamdulillah tidak ada kendala kalau fasilitas kesehatan selain KTP yang sebelum-sebelumnya sulit memang karena saya tidak punya,” imbuh Oca.

Tertekan psikologis dan pikiran karena perlakuan diskriminatif

Transpuan lainnya, Dhewy Srie, mengaku mendapat perlakukan diskriminatif dan stigma dari lingkungannya di Polman, Sulbar, saat pertama kali mengurus KTP. Bukan hanya dari petugas Dinas Dukcapil, melainkan dari orang-orang terdekatnya. Diskriminasi yang didapatkan berupa cibiran soal ekspresinya. Dhewy mengaku 90 persen dari jiwanya adalah perempuan. “Jadi pas mau urus disuruh potong rambut, tidak bisa pakai softlens dan segala macam. Kalau pas mau perekaman KTP, diminta saja untuk diikat rambutnya sama tidak boleh makeup,” ucap Dhewy. 

Hal itu diceritakan Dhewy dalam perbincangan di suatu tempat di Kecamatan Biringkanaya, Makassar. Lokasinya tidak begitu jauh dari tempat pertemuan awal saya dengan Oca, di malam yang sama, 14 Desember. Dhewy bercerita mengenai pengalaman begitu sulitnya hidup tanpa KTP. Terlebih karena dia adalah seorang transpuan. Bagi Dhewy, beraktivitas tanpa identitas merupakan kendala yang berat. Apalagi ketika harus mengurus sesuatu yang berbenturan dengan administrasi. 

Contohnya disebutkan Dhewy, seperti mengurus tiket untuk penerbangan keluar daerah. Pernah suatu waktu, dia hendak berangkat ke Jayapura. Petugas di bandara Makassar memintanya untuk menunjukan tanda pengenal. Itu karena petugas melihat ekspresinya. “Saya dipersulit di situ, karena dia minta KTP, saya belum punya. Terus saya kasih lihat KK juga, sama identitas sementara, bukti perekaman,” ungkapnya. 

Lama menunggu, dia meminta bantuan ke rekan-rekannya di Jayapura agar dicarikan solusi. Saat itu, rekannya membantu Dhewy untuk menambah pembayaran ke oknum petugas supaya bisa diberangkatkan. Meskipun sebenarnya, dia sudah punya tiket resmi untuk naik ke pesawat. Masalah tidak berhenti di situ. Di atas pesawat, dia bahkan ditanya kembali soal identitasnya. “Hal-hal seperti itu yang kadang saya merasa paling terbebani. Makanya memang banyak kesulitan kalau tidak ada identitas,” aku Dhewy.

Baca Juga: Komnas HAM Desak Wali Kota Depok Cabut Kebijakan Merazia LGBT 

Keinginan besar membuat KTP karena dorongan dan dukungan moral terhadap sesama

Setelah sekitar dua tahun merasakan hidup tanpa KTP sebagai seorang transpuan, barulah di awal Januari tahun ini, Dhewy memberanikan diri kembali ke kampung dan mengikuti semua prosedur pembuatan. Dengan berat hati, dia mengubah penampilannya sejenak menjadi laki-laki pada umumnya agar bisa dibuatkan kartu identitas. Pertimbangan itu, kata Dhewy, diambilnya berkat dukungan moral dari rekan-rekan seperjuangannya di komunitas transpuan. Dhewy memilih berkompromi sebentar dengan aturan. “Bulan November 2020 baru jadi selama dua tahun saya tidak punya KTP,” ujarnya.

Selama ini dia hanya menggunakan KK sebagai pengganti identitas sementara sembari mempertimbangkan waktu yang tepat untuk mengurusi semua administrasi kependudukannya. Setelah punya KTP, Dhewy mengaku cukup lega karena aktivitasnya tidak lagi dibatasi. Dhewy dan Oca kini mulai merasakan terdaftar dengan kartu identitas resmi kependudukan. Berbeda dengan Gege yang dilanda kerisauan karena SIM sebagai pengganti identitas sementara akan berakhir masa berlakunya di penghujung tahun 2020. Ketiganya berharap mendapatkan ruang dan hak yang setara sebagai warga negara. Bagi mereka, ekspresi gender seharusnya tidak menjadi masalah meski mereka sadar bahwa harapan itu akan sulit didapatkan.

Diskriminasi masih kerap dialami LGBT

Wakil Direktur Internal Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Abdul Azis Dumpa mengungkapkan, perlakuan diskriminatif masih kerap dialami oleh kelompok LGBT dalam ranah sosial. Salah satu kasus yang pernah ditangani LBH Makassar adalah, tindakan sewenang-wenang Polda Sulsel yang tidak memberikan izin pelaksanaan Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Waria-Bissu se-Sulsel. Menyusul, sikap Polres yang membubarkan secara paksa kegiatan yang berlangsung di Kabupaten Soppeng, pada Kamis 19 Januari 2016. Selain polisi, kata dia, aktornya pun beragam mulai dari segelintir individu, aparatur pemerintahan, hingga kelompok intoleran lainnya.

Menurutnya, contoh kasus tersebut merupakan bentuk diskriminasi yang lahir dari stigma. Ia kemudian langgeng di tengah-tengah kondisi masyarakat. Tidak ada upaya dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi itu. “Stigma itu kan pada dasarnya, hanya berbasis kebencian. Dia tidak bisa diukur dalam konteks ilmiah. Prasangka negatif. Dan itu terjadi di semua level di dalam ranah sosial khususnya,” kata Azis saat saya temui di kantornya, Senin, 28 Desember 2020.

Lebih lanjut diterangkan Azis, menyoal ruang-ruang pekerjaan hingga aktualisasi ekspresi.  “Misalnya kalau dia LGBT dikecualikan, kemudian kalau buat kegiatan dibubarkan dan dilarang. Seharusnya negara bisa hadir di tengah-tengah kondisi seperti ini. Memberikan jaminan atas kebebasan dan hak yang dialami warga negara tanpa melihat statusnya,” ungkap alumnus Universitas Hasanuddin Makassar ini. 

Kondisi itu, lanjut Azis, semakin menegaskan bahwa prinsip konstitusional yang tertuang di dalam undang-undang tidak diterapkan dengan baik oleh aparatur negara. Di antaranya, UUD 1945, terutama terhadap pasal 28C (1) tentang; setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Kemudian pasal 28E ayat (3) tentang; setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Menyusul, UU Nomor 39 tentang HAM, UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik. Menurut Azis, persoalan ini harusnya sejak dulu sudah dievaluasi pemerintah. “Tapi sampai sekarang nyatanya fakta yang terjadi di lapangan masih tetap terjadi,” ucap Azis.

Baca Juga: [OPINI] 4 Cara Hargai Temanmu yang LGBT, Mereka Juga Manusia

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya