LBH Ungkap Kejanggalan Polisi Hentikan Kasus di Lutim

Proses penyelidikan dianggap tidak berpihak ke korban

Makassar, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum Makassar membeberkan sejumlah kejanggalan pada proses penyelidikan kasus dugaan pencabulan tiga anak oleh ayah kandungnya di Luwu Timur.

Kasus itu dilaporkan ibu korban pada Oktober 2019. Namun penyidik Polres Luwu Timur menghentikan penyelidikan dua bulan berselang dengan dalih tidak cukup bukti.

"Kami sejak awal menilai penghentian penyelidikan yang dilakukan penyidik Polres Luwu Timur adalah prematur serta di dalamnya ditemui sejumlah pelanggaran prosedur," kata Direktur LBH Makassar Muhammad Haedir saat ditemui di kantornya, Sabtu (9/10/2021).

Baca Juga: LBH Minta Kasus Pencabulan Anak di Lutim Dibuka Kembali

1. Kejanggalan dimulai dari pemeriksaan pelapor dan korban

LBH Ungkap Kejanggalan Polisi Hentikan Kasus di LutimIlustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Sukma Shakti)

Haedir menyebut kejanggalan dalam proses penyelidikan dimulai dari awal laporan pada Oktober 2019. Pertama, saat proses pengambilan keterangan para anak korban, pelapor selaku ibu mereka dilarang untuk mendampingi. Ibu korban juga tidak dibolehkan membaca berita acara pemeriksaan (BAP).

"Penyidik minta pelapor untuk tandatangani BAP. Bahwa proses tersebut juga tidak melibatkan pendamping hukum, pekerja sosial, atau pendamping lainnya. Hal ini menyalahi ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 23," kata Haedir.

Kejanggalan berikutnya adalah pengambilan keterangan para anak korban yang hanya dilakukan satu kali dan tidak didampingi dalam pemeriksaan. "Itu mengakibatkan keterangan para anak korban tidak tergali dan terjelaskan utuh dalam berita acara interogasi pada berkas perkara," ujar Haedir.

2. Polisi dianggap tidak berpihak kepada korban

LBH Ungkap Kejanggalan Polisi Hentikan Kasus di LutimKantor LBH Makassar. IDN Times/Sahrul Ramadan

Haedir menjelaskan, dasar penghentian penyelidikan oleh penyidik kepolisian adalah dua dokumen yang dikategorikan sebagai bukti petunjuk. Yakni hasil asesmen pihak Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lutim dan juga asesmen dari Puspaga Lutim.

"Kedua petunjuk tersebut pada pokoknya menyatakan para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan terlapor (SA) selaku ayahnya. Sementara keduanya berasal dari proses yang berpihak pada terlapor," jelas Haedir.

Haedir bilang, keberpihakan itu ditunjukkan saat petugas P2TP2A mempertemukan para korban dengan terlapor saat pelapor datang meminta perlindungan.

"Petugas yang menerima laporan memiliki konflik kepentingan karena pertemanan dengan terlapor sebagai sesama ASN," ujarnya.

3. Penyelidikan di kepolisian melalui rekomendasi P2TP2A Sulsel dianggap janggal

LBH Ungkap Kejanggalan Polisi Hentikan Kasus di LutimIlustrasi. P2TP2A Makassar / Sahrul Ramadan

Selanjutnya, kata Haedir, dalam berkas perkara penyelidikan yang dipaparkan pada gelar perkara khusus di Polda Sulsel pada Maret 2020, terdapat dokumen yang semestinya didalami penyidik tapi diabaikan. Salah satunya bukti hasil Visum et Psychiatricum (VeP). Para anak korban juga telah menceritakan peristiwa kekerasan seksual oleh terlapor.

"Terdapat kejanggalan juga dalam dokumen tersebut sebab penyidik kepolisan memasukkan hasil pemeriksaan P2TP2A Lutim yang menerangkan bahwa para anak korban tidak memperlihatkan tanda-tanda trauma dan tetap berinteraksi dengan terlapor selaku ayahnya," Haedir menerangkan.

Haedir menilai ada upaya penyidik mendelegitimasi kesaksian pelapor lewat tindakan pemeriksaan kejiwaan. Menurutnya, pemeriksaan tersebut tanpa dasar yang kuat serta tanpa persetujuan dan pemberitahuan kepada pelapor.

"Kami menilai hal ini justru menunjukkan ketidakberpihakan penyidik pada korban," terangnya.

4. Pelapor memiliki bukti kekerasan seksual namun diabaikan penyidik

LBH Ungkap Kejanggalan Polisi Hentikan Kasus di LutimIlustrasi Kekerasan pada Anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Haedir melanjutkan, berdasarkan hasil pemeriksaan lanjutan dalam penganan P2TP2A Makassar, ditemukan bahwa kondisi psikologis anak korban berpengaruh akibat kejadian tersebut. Tes dilaksanakan pada 20 Desember 2019. Bukti itu juga yang telah diajukan kepada tim pendamping hukum dalam gelar perkara di Polda Sulsel.

"Dalam laporan dinyatakan bahwa para anak korban mengalami kecemasan akibat kekerasan seksual yang dialami yang dilakukan oleh ayah kandung korban beserta dua temannya. Adapun tidak ditemukannya tanda-tanda trauma pada para anak tidak berarti kekerasan seksual tersebut tidak terjadi," kata Haedir.

Menurut Haedir, temuan itu, berbeda dengan dua surat Visum et Repertum (VeR) yang disebut penyidik kepolisian, bahwa tidak terdapat tanda kekerasan. Padahal, pelapor memiliki bukti foto dubur dan kemaluan anak korban yang memerah. Foto diambil pada Oktober 2019. Sepanjang waktu itu, para anak korban terus mengeluhkan sakit pada area yang dimaksud.

"Bahwa pelapor melakukan pemerikaaan terhadap para anak korban di Puskesmas Malili dan mendapatkan surat rujukan untuk berobat yang dikeluarkan oleh dokter lain, tertulis hasil diagnosa bahwa para anak korban mengalami kerusakan pada bagian anus dan vagina, serta child abuse," Haedir melanjutkan.

Haedir menambahkan, bukti-bukti dan argumentasi hukum tersebut sudah disampaikan dalam gelar perkara. Namun hasil seluruhnya tidak dipertimbangkan oleh Polda Sulsel. Pada 14 April 2020 Polda Sulsel mengeluarkan Pemberitahuan Perkembangan Hasil Pengawasan Penyidikan (SP2HP2) dengan nomor: B/ 338/ IV/ RES.7.5/ 2020/ Ditreskrimum.

"Surat tersebut pada pokoknya memberitahukan bahwa proses penyelidikan terhadap perkara a quo dihentikan penyelidikannya karena tidak ditemukan dua alat bukti yang cukup dan memberikan rekomendasi kepada penyidik agar menghentikan proses penyelidikan dan melengkapi administrasinya."

5. Polda Sulsel hentikan penyelidikan karena tak cukup bukti

LBH Ungkap Kejanggalan Polisi Hentikan Kasus di LutimKabid Humas Polda Sulsel Kombes E Zulpan memberikan penjelasan soal klaim hoaks berita 3 anak diperkosa ayah kandung di Lutim. IDN Times/Sahrul Ramadan

Sebelumnya Kepala Bidang Humas Polda Sulsel Kombes Endra Zulpan menegaskan bahwa semua proses penyelidikan sudah sesuai prosedur. Kasus itu dianggap tidak cukup bukti sehingga dihentikan prosesnya."Penghentian kasus itu bukan sembarangan ada dasar hukumnya," kata Zulpan.

Zulpan bilang, kasus bisa dibuka kembali bila pelapor punya bukti baru. Kepolisian juga mempersilakan pelapor dan pendamping hukum menggugat jika merasa tidak puas dengan kinerja penyidik.

"Apabila mereka menilai penyidik tidak profesional, langkah hukum itu bisa dan ada di dalam aturan kita, dalam KUHAP kita, yaitu praperadilan," ucapnya.

Baca Juga: Tiga Anak Diperkosa, Saya Lapor Polisi. Polisi Hentikan Penyelidikan.

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya