Kematian Diam-Diam Pengungsi Asing di Indonesia

Pengungsi merasa hak hidup sebagai manusia utuh dicabut

PERINGATAN: Artikel ini mengandung konten eksplisit yang dapat memicu tekanan emosional dan mental bagi pembaca. Kami menayangkan cerita utuh dari para pengungsi asing untuk mengabarkan secara jernih kondisi yang mereka alami.

Makassar, IDN Times - Amanullah Husaini (43), pengungsi asal Afganistan, sejak 2014 lalu, menetap di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam rentang waktu yang cukup lama itu, dia semakin fasih berbahasa Indonesia dengan dialek khas Kota Daeng.

“Keluarga saya masih di Afghanistan, anak pertamaku sewaktu saya tinggalkan Afghanistan masih umur 4 tahun, yang kedua masih 1 tahun, jadi dia tidak tahu (kalau) saya (bapaknya),” kata Sahil-sapaannya, saat berbincang dengan IDN Times di lokasi pengungsiannya di Kecamatan Tamalate, Makassar, Sabtu, 29 Januari 2022.

Sahil meninggalkan negaranya karena kecamuk perang dan perebutan kuasa yang dimotori ekstremis Taliban. Kelompok itu menyasar orang-orang, khususnya laki-laki, yang kontra pada mereka.

Dalam upaya mencari perlindungan di negara lain, Sahil berharap bisa mendapat jatah resettlement atau penempatan ke negara ketiga. Namun, bertahun-tahun menunggu, Sahil serta seluruh pengungsi asing diminta bersabar. Pada masa menunggu itu, mereka dikekang aturan hingga tidak bisa mengekpresikan diri sebagai manusia utuh.

Sahil mengatakan, kerinduan pada keluarga dan kebebasan sebagai manusia yang telah lama hilang, membuat sebagian pengungsi mengalami depresi berkepanjangan. Karenanya, tidak sedikit dari pengungsi ini memilih mengakhiri hidup karena tidak tahan dengan beban pikiran.

1. Masuk ke Makassar dan terdaftar sebagai pengungsi asing karena UNHCR

Kematian Diam-Diam Pengungsi Asing di IndonesiaDua pengungsi Afghanistan di Makassar, Habib (kiri) dan Sahil (kanan) saat ditemui di Community House di Kecamatan Tamalate. IDN Times/Sahrul Ramadan

Pada laman resmi UNHCR, tercatat ada sekitar 13.100 pengungsi asing dan pencari suaka yang terdaftar di kantor UNHCR di Indonesia. Sebanyak 27% dari jumlah total orang yang terdaftar di UNHCR Indonesia adalah anak–anak. Hingga akhir November 2021, kebanyakan pengungsi di Indonesia datang dari Afganistan (57%), Somalia (10%), dan Irak (5%). Penyebab mereka mencari perlindungan di negara lain, pada umumnya, karena situasi keamanan di negara asal yang mengancam nyawa mereka.

Sahil bercerita, ia terpisah dengan keluarganya saat kelompok ekstremis Taliban menyerang kota-kota di Afganistan pada awal 2013 lalu. Karena kelompok ini cenderung menarget laki-laki yang kontra terhadap mereka, Sahil akhirnya memilih mengamankan diri sementara. Sedangkan keluarganya, istri dan dua anaknya terpaksa mengungsi ke tempat yang aman. Sampai akhirnya mereka berpisah dan kehilangan kabar. 

Sahil dan beberapa kelompok pria lainnya saat itu, berupaya sebisa mungkin untuk mencari perlindungan meskipun harus meninggalkan negaranya. Sampai suatu ketika, ia mencari referensi di internet tentang negara yang bisa melindungi mereka sementara. Namun sebelum masuk ke negara penampung, mereka mesti terdaftar sebagai pengungsi di bawah naungan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).

Setelah melalui serangkaian proses pendataan, Sahil akhirnya memenuhi syarat sebagai pengungsi asing di bawah naungan UNHCR dan ditanggung oleh International Organization for Migration (IOM) atau organisasi internasional untuk migrasi. Kedua institusi itu mengirim Sahil mengungsi sementara di Indonesia, sampai akhirnya masuk ke Makassar. “Setelah itu di sini didata lagi kembali bahkan sempat saya lebih satu bulan juga di Rudenim (Rumah Detensi Imigrasi Makassar) di Gowa sana,” ungkap Sahil.

2. Tekanan batin memicu serangkaian percobaan bunuh diri

Kematian Diam-Diam Pengungsi Asing di IndonesiaSahil pengungsi Afghanistan di Makassar. IDN Times/Sahrul Ramadan

Seiring berjalannya waktu saat berada di Makassar, Sahil akhirnya mendapat kabar bahwa keluarganya masih hidup. Ia pun bersyukur dan saat itu intens berkomunikasi dengan keluarganya di Afganistan. Tapi sekian lama, ia mengaku semakin khawatir karena istri, dua anaknya dan ibunya masih harus terlunta-lunta di negaranya sendiri karena teror Taliban.

“Sampai yang tahun kemarin (2020), sempat mau kuasa lagi kan Afganistan itu Taliban makanya saya pikir bagaimana caranya supaya saya dideportasi saja,” ujarnya. 

Sahil sebelumnya juga sudah berupaya dan mencoba beragam cara untuk meminta agar UNHCR segera memberikan kejelasan kapan bisa dideportasi. Namun organisasi pengungsi dunia itu tak memperbolehkan Sahil kembali ke negaranya dengan alasan keamanan.

“Saya email berapa kali sampai email saya itu diblokir sama mereka. Saya punya buktinya sampai akhirnya saya stres, depresi karena banyak pikiran, keluarga saya di sana,” jelas Sahil.

Situasi semakin parah bagi Sahil karena di lokasi pengungsian di Makassar, seluruh pengungsi dikekang oleh aturan. Mereka tidak boleh leluasa bersosialisasi dan bekerja. Padahal menurut Sahil, aktivitas seperti itu bisa bisa berdampak positif terhadap pengungsi untuk menghilangkan kecemasan dan beban pikiran.

“Sampai suatu waktu itu saya duduk di samping kanal dari jam 4 sore sampai 11 malam sampai saya mau bunuh diri turun ke kanal,” aku Sahil. 

Namun beruntung ia mengurungkan rencananya itu dan kembali ke lokasi pengungsian. Setibanya di kamar, rasa putus asa itu kembali mendekap Sahil. Ia, masih dalam kondisi terguncang, masuk ke kamar mandi lalu hendak melukai diri dengan silet. Syukur, suara dering handphone langsung membuatnya sadar.

“Saya dihubungi sama suaminya adik saya di Eropa akhirnya dia temani saya cerita dari malam itu sampai pagi lagi. Dia minta saya untuk tidak matikan telepon dan dia VC (video call) terus supaya dia bisa lihat saya,” ungkap Sahil.

3. Kondisi serupa dialami sebagian besar pengungsi di Makassar

Kematian Diam-Diam Pengungsi Asing di IndonesiaPengungsi Afghanistan di Makassar berharap diresettlement atau deportasi. IDN Times/Sahrul Ramadan

Sahil mengaku kecewa karena sudah bertahun-tahun tinggal di Makassar, namun UNHCR belum juga memberikan kejelasan terkait status para pengungsi kapan akan diberangkatkan ke negara tujuan. Dia menyatakan, kondisi serupa dialami banyak pengungsi lain di Makassar.

“Mereka stres, depresi sampai bunuh diri. Itu sudah ada 12 orang totalnya di Makassar. Hanya dua dari itu katanya (divonis rumah sakit) karena COVID-19, sisanya stres,” kata Sahil. 

Sahil mencatat sejumlah kasus bunuh diri yang dialami rekan sesama pengungsi sejak tahun 2018 sampai dengan 2020 lalu. Di tahun 2020, salah satu pengungsi Afganistan berinsial A (22) bunuh diri di kamarnya. “Dia juga depresi, itu kasus terakhir di Makassar. Belum kalau dihitung di semua daerah di Indonesia itu yang ada pengungsinya. Khusus Afganistan yah, belum barangkali dengan pengungsi dari negara lain,” terangnya. 

Kini, lanjut Sahil, empat orang Afganistan masih dirawat di salah satu rumah sakit pemerintah di Kota Makassar karena depresi. Sahil berharap UNHCR segera merespons kondisi ini. Dia khawatir semakin lama pengungsi terkatung-katung, maka akan semakin banyak nyawa yang terancam hilang di lokasi pengungsian karena depresi.

Sebagai pelarian untuk menghilangkan beban pikirian, Sahil menyibukkan diri dengan banyak aktivitas. Khususnya yang berhubungan dengan jejaring pengungsi asing lain yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Selebihnya, dia banyak berolahraga dan sesekali berinteraksi dengan warga lokal di kawasan pengungsiannya. Sebab hanya dengan begitu, para pengungsi ini bisa melewati hari-hari membosankan.

“Biasa dalam satu minggu dua kali juga kita demonstrasi di kantor UNCHR supaya mereka bisa kasih kita di sini kejelasan, kalau pun bukan resettlement, deportasi saja kita,” ucapnya. 

4. Pengungsi harap dunia mendengar derita mereka

Kematian Diam-Diam Pengungsi Asing di IndonesiaPengungsi Afganistan di Makassar saat berunjuk rasa menuntut kejelasan proses resettlement di kantor UNHCR di Gedung Menara Bosowa, Jalan Jendral Sudirman. IDN Times/Sahrul Ramadan

Demonstrasi para pengungsi asing di Makassar, kerap digelar di depan kantor UNHCR perwakilan Kota Makassar yang berada di Menara Bosowa, Jalan Jenderal Sudirman. Unjuk rasa terakhir dilakukan pada 6 Januari 2022. Kala itu, seorang pengungsi nyaris membakar diri di tengah-tengah aksi. “Itu untung dibubarkan sama polisi, sama pemerintah, sama Satpol PP kalau tidak mungkin sudah terbakar dirinya itu (rekannya),” jelas Sahil. 

Tindakan nekat rekannya itu, menurut Sahil, merupakan tanda bahaya karena hampir sebagian besar pengungsi mengalami kondisi mental yang sama di lokasi pengungsian. Kondisi ini menurutnya tak bisa dipandang remeh.

“Daripada kita mau apalagi. Karena kita seperti hidup juga sudah tidak bisa berguna apa-apa. Kita tidak bisa bantu keluarga. Padahal kalau dipulangkan saya pasti mati, tapi biar saya mati yang jelas di depan keluargaku sendiri,” ucapnya terisak. 

Sahil mengaku tak ingin mati sia-sia di lokasi pengungsian tanpa melihat keluarganya yang kini bertahan hidup di negara sendiri meski terlunta-lunta karena kekerasan kelompok Taliban. Dia berharap ada bantuan dari negara lain, bukan hanya pemerintah Indonesia, agar tuntutan dan desakan mereka bisa didengarkan. “Tapi dunia, karena kondisi ini hampir semua pengungsi alami. Ini masih di Makassar belum daerah lainnya lagi,” imbuh Sahil. 

5. Aturan bagi pengungsi ibarat penjara

Kematian Diam-Diam Pengungsi Asing di IndonesiaSelebaran dalam kampanye kemanusiaan pengungsi Afghanistan di Makassar. IDN Times/Sahrul Ramadan

Habibullah Ranjebar, rekan Sahil sesama pengungsi Afganistan di Makassar, merasakan hal yang sama. Pria 26 tahun ini masuk ke Indonesia sejak Oktober 2013, dua tahun berselang dia ditempatkan di Makassar. “Saya waktu pertama datang berangkat sendiri dari Afganistan ke Indonesia pas lagi konflik di sana karena Taliban itu juga. Mereka menguasai di sana jadi saya cari tempat aman di Indonesia,” ungkap Habib saat ditemui di tempat tinggalnya di Kecamatan Tamalate. 

Habib mengetahui Indonesia dari informasi di internet. Mengingat jauh sebelum dia mengungsi, sudah ada banyak pengungsi asing dari berbagai negara lainnya yang juga masuk ke Indonesia. Bagi Habib, Indonesia adalah salah satu negara yang paling aman di dunia dan ramah terhadap para pengungsi. Hanya saja karena beragam aturan, mereka selama ini terkekang.

“Jangankan kerja, bersosialisasi saja dilarang,” ujarnya. 

Habib mengatakan, di Afganistan, hanya tersisa dua saudaranya. Orangtuanya telah meninggal dunia akibat kecamuk Taliban. Meski saudaranya masih hidup, namun mereka harus menjadi nomaden di negeri sendiri karena teror kelompok ekstremis terus menghantui. “Komunikasi dengan keluarga di sana paling dua kali seminggu atau satu kali seminggu karena jaringan kan di sana juga kurang bagus,” imbuhnya. 

6. Tak ada pilihan lain selain terus mendesak UNHCR

Kematian Diam-Diam Pengungsi Asing di IndonesiaDemontrasi pengungsi asing di Makassar. IDN Times/Sahrul Ramadan

Di Makassar, Habib bersama banyak pengungsi lainnya juga masih menunggu kejelasan kapan akan diberangkatkan ke negara tujuan. Dia tak banyak berharap selain terus mendesak agar UNHCR memberikan kejelasan status resettlement. Habib mengaku selama di pengungsian, situasi kejiwaannya sama halnya berada di dalam penjara. Sebab aturan yang sangat ketat mengikat para pengungsi. 

“Jadi kerjanya kita selama di sini, makan-tidur saja terus. Tidak ada bedanya dengan binatang. Kerja dilarang, bawa kendaraan juga dilarang. Kami jamin kalau pun kami bersosialisasi sebagi manusia, ngapain juga kami misalnya bikin keributan di negaranya orang. Itu tidak mungkin, kami justru terima kasih karena sudah mau dikasih tinggal sementara di sini,” ucapnya. 

Habib menegaskan, bila situasi ini tak segera dicarikan jalan keluar oleh UNHCR, maka pengungsi tak akan tinggal diam. Mereka sudah lelah diminta bersabar bertahun-tahun. “Sudah hampir 10 tahun nanti kita ini, tidak ada pilihan lain selain terus mendesak supaya kami ini diberikan kejelasan. Kalau tidak bisa di-resetlement kembalikan saja kami ke negara asal biar kami bisa berjuang di sana dengan keluarga kami,” Habib berharap.

7. Pilihan antara resettelement atau dideportasi secepatnya

Kematian Diam-Diam Pengungsi Asing di IndonesiaSelebaran dalam kampanye kemanusiaan pengungsi Afghanistan di Makassar. IDN Times/Sahrul Ramadan

Habib mengaku, setiap bulan mereka menerima uang untuk biaya hidup sebesar Rp1.250.000 dari IOM. Namun, bukan itu yang menjadi prioritas para pengungsi. “Karena bukan ini yang kami mau, yang kami mau adalah kejelasan kapan kami diberangkatkan atau sekalian dipulangkan saja kembali ke negara asal. Lagian di sini kami juga menderita karena diperlakukan seperti bukan manusia dengan aturan,” jelasnya. 

Kondisi itu pula yang kadang membuatnya stres. Terlebih bila mengingat sudah banyak rekan seperjuangan sesama pengungsi yang meninggal dunia karena memilih bunuh diri. “Karena tidak ada lagi pilihan selain itu. Makanya saya kalau dengar kabar teman lagi meninggal, saya lebih baik menjauh dari orang sedih-sedih dulu karena saya pasti ikut sedih jangan sampai nanti terbawa suasana terus depresi juga,” ungkap Habib. 

Untuk menghindari hal-hal yang bisa membahayakan diri sendiri, Habib lebih banyak menggunakan waktu untuk berolahraga. Salah satunya bersepeda. Di sisi lain, dia dan rekan seperjuangannya juga terus mendesak agar pemerintah Indonesia dapat membantu pemulangan mereka. “Terutama UNHCR ini karena dari mereka semua kejelasannya mengenai status kami. Jadi sampai kapan pun kami akan terus menuntut itu,” harap Habib.

8. Pesan UNHCR untuk pengungsi yang menuntut kejelasan

Kematian Diam-Diam Pengungsi Asing di IndonesiaUnjuk rasa pengungsi asing di depan Menara Bosowa, kantor UNHCR di Makassar/Istimewa

Menanggapi desakan pengungsi, Communication Associate UNHCR Indonesia, Dwi Anisa Prafitria mengatakan, resettlement atau penempatan ke negara ketiga merupakan salah satu solusi jangka panjang bagi pengungsi yang ada di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

“Keputusan menerima pengungsi merupakan wewenang sepenuhnya negara-negara penerima, dan bukan wewenang UNHCR,” terang Dwi kepada IDN Times.

Dwi memaparkan, beberapa tahun belakangan ini, jumlah atau kuota resettlement menurun cukup signifikan bagi pengungsi di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia. Saat ini ada sekitar lebih dari 20 juta pengungsi di seluruh dunia yang berada di bawah mandat UNHCR. Namun setiap tahunnya hanya sekitar 1,5 persen pengungsi di seluruh dunia diterima oleh negara-negara ketiga dan berangkat ke negara tujuan. “Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua pengungsi bisa mendapatkan manfaat dari resettlement,” ucapnya. 

Saat ini, menurut Dwi, UNHCR terus menyediakan kesempatan bagi para pengungsi untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan keterampilan selama mereka berada di Indonesia. Dia juga menyampaikan keprihatinan pada kondisi kesehatan mental para pengungsi. 

“UNHCR sangat prihatin dengan kesehatan mental dan psikososial para pengungsi di Indonesia. Banyak pengungsi yang sudah menunggu lama untuk solusi jangka panjang dan pada saat bersamaan harus menghadapi berbagai tantangan di masa pandemi ini, termasuk tidak memiliki kesempatan untuk bekerja dan mengembangkan potensi diri,” terang Dwi. 

Dwi menegaskan, UNHCR terus berupaya dan berkoordinasi dengan pemerintah Indonesia dan para mitra dalam meningkatkan kesehatan mental para pengungsi. Termasuk melakukan advokasi secara terus menerus untuk meningkatkan kondisi pengungsi di Indonesia agar lebih baik serta mengupayakan dukungan solusi jangka panjang dan komprehensif bagi para pengungsi agar mereka dapat hidup bermartabat.

9. Rudenim Makassar akui tak bisa berbuat banyak

Kematian Diam-Diam Pengungsi Asing di IndonesiaKantor Rudenim Makasssar. IDN Times/Sahrul Ramadan

Rumah Detensi Imigrasi Makassar mencatat, sepanjang 2021, setidaknya 16 pengungsi asing dipulang secara sukarela atau Assisted Voluntary Returned (AVR) ke negara asal. Dari belasan orang itu, hanya satu warga Afganistan. Selebihnya berasal dari Irak, Srilanka, dan Sudan. Sementara yang mendapat resettlement di tahun itu berjumlah enam orang. Empat pengungsi asal Afganistan yang ditempatkan ke Australia dan dua warga Sudan ditempatkan di Kanada.

“Pemberangkatan pengungsi dalam rangka resettlement tahun 2021 ini memang berkurang karena kebijakan pengurangan penerimaan dari negara-negara suaka, ditambah adanya larangan bepergian karena pandemik COVID-19," kata Kepala Rudenim Makassar, Alimuddin.

Menurut Alimuddin, permintaan pemulangan sukarela atau AVR menjadi salah satu pilihan yang paling memungkinkan bagi pengungsi, ketimbang menunggu lama tanpa kejelasan dari negara yang bersedia menampung pengungsi. 

"Harapan kami, bagi pengungsi yang negaranya sudah aman, silakan untuk mengajukan AVR ke UNHCR dan IOM, daripada mereka mengharapkan resettlement yang trendnya selalu berkurang," ucap Alimuddin.

Mereka juga mencatat bahwa hambatan dan kendala dalam penanganan pengungsi karena jadwal resettlement tidak jelas. Rudenim tak bisa berbuat banyak karena kejelasan itu merupakan kewenangan UNHCR dan IOM. Rudenim mencatat, saat ini jumlah pengungsi yang ada dalam pengawasan mereka berjumlah 1.555 orang. Mereka semua tersebar di 20 lokasi pengungsian atau community house di Kota Makassar. 

10. Tuntutan para pengungsi adalah hal yang wajar

Kematian Diam-Diam Pengungsi Asing di IndonesiaFinahliyah Hasan, dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Bosowa, Makassar/universitasbosowa.ac.id

Proses resettlement di masa sekarang, yang sudah memakan waktu bertahun-tahun justru kian lama. Terlebih beberapa negara tujuan menyebut pandemik COVID-19 sebagai dalih mengurangi jumlah pengungsi yang diterima. Trennya cenderung meningkat.

"Terkait dengan mekanisme, banyak negara yang kemudian kewalahan, khususnya negara yang banyak menampung pengungsi, seperti Indonesia. Kewalahan karena negara-negara yang menjadi tujuan pengungsi menerapkan kebijakan pembatasan (restriction policy) yang cenderung ketat saat menerima pengungsi dari luar," ujar Finahliyah Hasan, dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Bosowa, Makassar, saat berbicara dengan IDN Times, Jumat, 11 Februari 2022.

Ia menjelaskan bahwa berdasarkan data UNHCR, proses resettlement tetap dilakukan. Tapi progresnya sangat lama. Alhasil, ada beberapa negara yang selama ini sudah menampung banyak pengungsi didesak untuk segera memberi proteksi permanen.

"Karena pada dasarnya, sebagian besar menampung pengungsi yang sebenarnya tidak berkewajiban menerima. Tapi, kondisinya yang terpaksa membuat mereka menerima pengungsi dalam jangka waktu yang lama," kata Fina.

Kombinasi sulitnya proses resettlement dan tantangan yang datang dari dalam negara tujuan, membuat Indonesia didesak untuk menampung saja selama mungkin. Itu disebut sebagai solusi terbaik.

"Ibaratnya, mereka ditampung di Indonesia dulu sebelum pindah ke negara ketiga (tujuan). Nah, masalahnya resettlement tidak memiliki peluang yang besar untuk dilakukan. Makanya perlu ada alternatif lain yang ditempuh," ungkap Fina.

Ia pernah berbicara dengan pihak IOM terkait sampai kapan para pengungsi di Indonesia harus menunggu berkas resettlement mereka diberi stempel persetujuan. Jawabannya? Abu-abu, tanpa titik terang.

"Mereka cuma bilang harus menunggu. Saya tanya 'sampai kapan?' Ternyata tidak ada jawaban yang jelas. Jadi, pada intinya mereka tidak punya bayangan tentang proses dan peluangnya akan seperti apa," sambungnya.

Sebagai gambaran, Indonesia memilih tidak menandatangani Konvensi PBB 1951 tentang Pengungsi. Sikap ini juga ditempuh oleh mayoritas negara-negara Asia Tenggara. Hanya tiga anggota ASEAN yang menandatangani. Antara lain Kamboja, Filipina dan Timor Leste. Selain itu, lima negara anggota blok ekonomi G20 (termasuk Indonesia) juga tak melakukannya. Semuanya dari Asia: Indonesia, India, Arab Saudi, Korea Selatan dan Singapura.

Selain itu, kondisi yang serba terbatas di negara kedua (negara penampung, host country) membuat para pengungsi merasa jengah. Mereka tak bisa bekerja, leluasa bepergian, mendapat pendidikan, mengembangkan kapasitas diri, mencari penghasilan, dan lain-lain. Akses pada hak-hak dasar sebagai manusia bisa disebut nyaris nihil. Ditambah proses resettlement yang sangat lama, tak heran mereka memilih turun ke jalan untuk menyuarakan tuntutan.

"UNHCR menyebut bahwa peluang mereka diterima cuma satu persen. Maka, tuntutan-tuntutan itu secara normal kemudian muncul. Mereka tentu jengah berlama-lama di negara sementara," kata perempuan yang saat ini menempuh studi doktoral di Universitas Gajah Mada tersebut.

Maka muncul keinginan untuk membuat organisasi yang selama ini memberi proteksi pada pengungsi untuk mengadvokasi. Hal tersebut dilakukan untuk mencari jalan keluar selama jalani masa penuh ketidakpastian. Meski begitu, Indonesia disebut wajar menolak tuntutan para pengungsi karena tidak memiliki kewajiban.

Dengan ruang gerak serba terbatas, mereka terpaksa memutar otak. Segala aktivitas dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Mulai dari belajar bahasa, mengasah keterampilan, hingga menambah pemasukan. Pagar tinggi rumah detensi seakan bukan penghalang.

Tak lengkap berbicara tentang nasib pengungsi tanpa menyinggung hukum internasional. Sebelumnya, sudah ada Konvensi PBB 1951 tentang pengungsi. Menurut Fina, arah nasib mereka ada dua yakni dipulangkan secara sukarela ke negara asal (voluntary repatriation) atau ditempatkan ke negara tujuan (resettlement). Tapi, serangkaian persyaratan yang harus dipenuhi seorang pengungsi sebelum sah mendapat kartu dari UNHCR juga cenderung rumit.

"Untuk diproses sampai negara tujuan, harus ada beberapa syarat yang harus mereka penuhi. Yang pertama, mereka harus punya dokumen Refugee Status Determination sebagai bahwa mereka sudah sah disebut pengungsi. Ini agar mereka punya hak menuntut ditempatkan ke negara tujuan," ungkap Fina.

"Tapi, untuk mendapat RSD ini sangat susah. Mereka harus membuktikan kalau mereka betul-betul seseorang yang terancam hidupnya dan ketika kembali ke negara asal bisa lebih parah keamanannya. Ketika terbukti, baru kemudian diproses hingga mereka mendapatkannya," imbuhnya.

Terkait deportasi, hal tersebut juga terlarang di mata hukum internasional. Ada non-refoulement, prinsip yang mengikat seluruh negara, di mana sebuah pemerintah tidak boleh mengembalikan secara paksa pengungsi atau orang asing yang meminta bantuan dan pertolongan.

"Kalau kemudian misalnya ada orang Afganistan yang ke Indonesia untuk meminta bantuan, pemerintah Indonesia tidak berhak mendeportasi. Terlebih jika orang Afghanistan ini bisa membuktikan bahwa keselamatan mereka terancam. Jadi, pemerintah Indonesia harus memfasilitasi dan mengakomodir," tuturnya.

"Kecuali, kalau memang setelah ditelusuri, orang yang meminta perlindungan ke Indonesia ini ternyata penjahat atau buronan. Baru Indonesia melakukan deportasi secara paksa, berbeda dengan yang secara sukarela," sambungnya.

Fina sudah melakukan penelitian terkait refugee sejak tahun 2015, dengan politik migrasi jadi topik disertasinya. Termasuk Makassar, ia sudah menyambangi lima kota untuk melihat dari dekat seperti apa kehidupan para pengungsi. Dari segala observasi, ia mengatakan bahwa keterbatasan ibarat jadi makanan sehari-hari mereka.

Serangkaian demonstrasi serta kasus bunuh diri para pengungsi mulai marak terjadi. Indonesia sebagai negara kedua, menurut Fina, sebenarnya bisa melakukan hal-hal untuk meredam hal ini. Dan semuanya juga sudah dipraktikkan negara-negara lain yang bernasib sama.

"Pertama adalah pembuatan economic zone, di mana para pengungsi dan para pencari suaka bisa melakukan aktivitas ekonomi secara bebas. Tempatnya terpusat dan tidak tersebar. Ini agar menekan narasi bahwa mereka akan mengancam ekonomi masyarakat lokal," jelas Fina.

Ini agar para pengungsi dapat mengembangkan kapasitas yang mereka miliki. Tak cuma mengasah bakat dan kreativitas, mereka mendapat lokasi tertentu untuk menunjukkan hasil keterampilan mereka.

Kedua yakni preference matching, di mana para pengungsi dikelompokkan berdasarkan negara tujuan. Kemudian negara tujuan menyebutkan kriteria dan keteramilan pengungsi yang mereka bisa terima. Entah itu dari segi bahasa, teknologi, budaya, dan lain-lain.

"Semuanya ini bisa dicocokkan. Indonesia kemudian membuat kebijakan melibatkan organisasi internasional dan komunitas yang terlibat di bidang HAM untuk membangun sistem preference matching. Setelah cocok, baru disalurkan," papar Fina.

"Terakhir adalah pemberian humanitarian visa. Visa ini digunakan untuk mengakses hak-hak mereka yang mendapat visa kerja atau visa tinggal," sambungnya.

Visa kemanusiaan memang punya durasi waktu berlaku, sama seperti visa lain. Tapi, Fina menganggap ini adalah langkah bijak ketimbang pengungsi di Indonesia terikat rantai tak terlihat bernama keterbatasan.

"Tanpa aktivitas rutin, kondisi psikologis mereka bisa terpengaruh. Akhirnya banyak yang bunuh diri, melakukan tindakan kriminal seperti pencurian dan penipuan," tegas Fina.

Baca Juga: Demo Pengungsi Asing di Kantor UNHCR Makassar Berakhir Ricuh

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya