Dari Ramsiah Kita Paham: Polisi Gowa Bisa Memaksakan Tersangka UU ITE

Kejaksaan berkali-kali tolak berkas prematur Polres Gowa

"Saya temukan ruang baru yang bisa saling memberi dukungan, saling menguatkan. Saya niatkan, setelah urusan (hukum) saya selesai, saya akan mewakafkan diriku untuk membantu orang," kata Ramsiah sembari menyeka air mata. Dua tahun terakhir, dia berstatus tersangka UU ITE. Empat kali Kejaksaan menolak berkas perkara dari Polres Gowa karena bukti tak cukup. Karenanya, kasus ini terindikasi kuat dipaksakan oleh polisi.

Makassar, IDN Times - Ramsiah Tasruddin tak pernah menyangka percakapannya dalam grup WhastApp internal sesama dosen di Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan, akan membawanya tersangkut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hanya karena menyampaikan pendapat pribadi saat diskusi persoalan akademik, dia menjadi tersangka kasus dugaan pelanggaran UU ITE. Ramsiah dilaporkan oleh Nur Syamsiah, Wakil Dekan III FDK UIN Alauddin saat itu. Laporan terkait dugaan pencemaran nama baik dilayangkan pada 5 Juni 2017. Dua tahun setelah dilaporkan, tepatnya September 2019, Ramsiah ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik Satuan Reserse Kriminal Polres Gowa.

"Diskusi soal penutupan Radio Syiar FDK," kata Ramsiah, mengawali perbincangan dengan IDN Times di rumahnya di Kota Makassar, Rabu, 27 Oktober 2021.

"Innalillahi wainnailaihi rajoiun, lagi-lagi ibu itu berulah." Kalimat itu dikirim pimpinan laboratorium radio FDK UIN Makassar ke grup WhatsApp "SAVE FDK UIN ALAUDDIN", yang beranggotakan sekitar 30-an dosen. Dia menyinggung tindakan Nur Syamsiah yang sekonyong-konyong menutup radio praktik bagi mahasiswa. Kalimat itu langsung direspons oleh sebagaian besar anggota Grup WA.

"Kami juga resah dengan penutupan itu, khususnya kami kajur-kajur (ketua jurusan) yang memang menjadikan radio itu sebagai laboratorium untuk anak-anak kami," jelasnya. Di grup WA, sejumlah dosen meminta dekan FDK UIN saat itu--yang juga ada dalam grup--untuk mengambil sikap. Diskusi itu berlanjut ke persoalan tugas pokok dan fungsi jabatan pelapor yang menutup radio tersebut. "Ini kan masuk dalam akademik, pembelajaran jadi otomatis masuk di wilayahnya wadek (wakil dekan) satu," ucap Ramsiah.

Ramsiah mengatakan, aturan internal FDK UIN memang hanya mengijinkan laboratorium radio digunakan dari pagi hingga sore hari. Namun, saat itu mahasiswa sedang mempersiapkan pembelajaran kelas lanjutan untuk pagi hari. "Makanya mereka masih stay di situ di fakultas. Oleh ibu itu dikiranya mungkin mereka masih on (siaran) radionya," jelas Ramsiah.

Akibatmya, seluruh aktivitas kemahasiswaan untuk persiapan pembelajaran lanjutan terganggu, bahkan sempat terhenti. Mengingat pintu utama yang menghubungkan radio, laboratorium dan beberapa ruangan praktikum lainnya dikunci oleh Nur Syamsiah. "Seminggu bahkan sebulan tidak beroperasi itu radio," ujar Ramsiah.

1. Surat panggilan pemeriksaan dari Polres Gowa

Dari Ramsiah Kita Paham: Polisi Gowa Bisa Memaksakan Tersangka UU ITEUIN Makassar/uin-alauddin.ac.id

Beberapa hari setelah peristiwa penutupan laboratorium radio FDK UIN Makassar itu, pembicaraan di dalam grup WA "SAVE FDK UIN ALAUDDIN" bocor. Seorang dosen muda anggota grup WA itu mengirimkan tangkapan layar grup WA ke Nur Syamsiah. "Karena dia waktu itu memang polos sekali dan tidak pernah juga komentar di grup," kata Ramsiah.

Sang dosen muda, kata Ramsiah, mengaku ditekan oleh Nur Syamsiah agar mengirim tangkapan layar seluruh percakapan di grup WA itu. Bukti itulah yang jadi rujukan Nur Syamsiah melaporkan kasus ini ke Polres Gowa. "Dan apesnya lagi, ibu dosen (baru) ini menjadi saksi," ucap Ramsiah.

Ramsiah menyebut, ada dua saksi saat pemeriksaan awal polisi. Yakni, dekan FDK UIN dan si dosen muda.

"Waktu 30 orang (anggota grup WA) itu juga sempat disamaratakan semua, bahkan ada yang hanya kirim emoji tersenyum di grup dan tidak terkait dengan diskusi kami, itu juga dipanggil (jadi saksi)," Ramsiah tertawa.

Polisi pun mulai memeriksa sejumlah dosen FDK UIN Alauddin Makassar. Meski, sebagian di antaranya menolak bersaksi dengan alasan diskusi yang mereka lakukan bersifat tertutup di dalam grup WA. Ramsiah sendiri adalah dosen kesepuluh yang diperiksa. "Dari situ akhirnya sekitar 28 orang itu kita buatlah lagi pertemuan-pertemuan internal," Ramsiah menerangkan.

Pertemuan-pertemuan yang digelar para saksi, kata Ramsiah, adalah upaya mereka agar laporan Nur Syamsiah bisa dimediasi oleh Rektor UIN. Apalagi, pemberitaan mengenai puluhan dosen yang diperiksa polisi masif tersebar.

"Anehnya juga setiap kita bikin pertemuan sama teman-teman, kok rasa-rasanya ada yang memata-matai kami begitu, kan agak lucu," katanya.

Setahun berselang setelah laporan itu, tepatnya 2018 lalu, Ramsiah dan para kolega dosennya kaget ketika kembali mendapat surat panggilan pemeriksaan polisi.

"Kita dipanggil lagi (diperiksa) dari 30 orang, menjadi 15 orang," sebutnya.
Penyidik yang memeriksa Ramsiah dan dosen lainnnya bahkan sudah berganti sejak laporan dan pemeriksaan awal. "Dari penyidik satu ke penyidik dua. Ini yang penyidik dua mungkin stagnan di situ (2017-2018), lalu kemudian digantikan oleh penyidik tiga dan kita 15 itu dipanggil lagi pada Desember 2018 kalau tidak salah."

Pada pemeriksaan kali ketiga oleh penyidik baru, pertanyaan-pertanyaan kepada Ramsiah selalu sama seperti pemeriksaan awal. Berulang-ulang. Khususnya tentang diskusi di grup WA yang menjadi satu-satunya bukti yang dibawa Nur Syamsiah melapor polisi. Karena itu, Ramsiah mengaku merasa janggal. Hingga akhirnya pada awal 2019 lalu, dia beberapa kali dapat panggilan pemeriksaan.

"Saya sudah mulai dipanggil (diperiksa) sendirian."

Dia pun merasa aneh, karena seiring dengan pemanggilan dirinya, pertemuan dengan rekan-rekannya sesama dosen tidak pernah lagi terjadi.

2. Ramsiah ditetapkan tersangka jelang pelantikannya sebagai wakil dekan

Dari Ramsiah Kita Paham: Polisi Gowa Bisa Memaksakan Tersangka UU ITEDosen FDK UIN Alauddin Makassar Ramsyiah Tasruddin (kiri) didampingi kuasa hukum LBH Makassar Abdul Azis Dumpa saat menghadiri pemeriksaan di Polres Gowa. IDN Times/Sahrul Ramadan

Pada September 2019, Ramsiah mendapat tawaran menjabat Wakil Dekan I di FDK UIN Makassar. Dia menerima. Namun, seminggu sebelum pelantikan, kabar yang tiba-tiba saja datang dari polisi meruntuhkan langit harapannya. Dua orang penyidik Satreskrim Polres Gowa mengantarkan surat ke ruangan Ramsiah.

"Penyidik bilang, 'bu nantipi saya pulang baru kita baca suratku'."

Ramsiah tercengang ketika membaca surat penetapan tersangkanya. Karena tak percaya, dia memanggil salah satu mahasiswa terdekat sekaligus anak angkatnya agar melihat ulang surat tersebut. "Terus dia bilang, 'kalau mami, kita di sini (surat) tersangka. Sendiri ta'. Jadi saya telepon bapak (suami) karena kan dia tugas di Jakarta."

Ramsiah baru betul-betul menyadari status genting dirinya dalam ranah hukum tiga hari setelah surat dari polisi itu diterima. Dia pun sempat mempertanyakan dasar hukum apa yang menjeratnya sendirian dari seluruh anggota grup WA. Dia juga menyampaikan ke penyidik bahwa tidak lama lagi akan dilantik sebagai Wakil Dekan I FDK UIN. Ramsiah pun heran setelah penyidik menyampaikan permintaan maaf karena surat penetapan tersangka diberikan sebelum pelantikan dirinya sebagai wakil dekan.

"Katanya, 'seandainya saya sampaikan lebih awal surat itu belum dikasih sama saya, tapi nanti setelah dilantik'. Jadi saya sempat beripikir, aduh kenapa ini? Ada skenario apa ini?. Setelah saya terima itu surat, saya sudah yakin di hati dan pikiran bahwa ini mungkin yang menandakan bahwa saya tidak bisa di situ (menjabat wakil dekan)," ungkap Ramsiah.

Menurut Ramsiah, sebenarnya tidak ada aturan internal kampusnya yang melarang pelantikan calon pejabat kampus bertatus tersangka. Tapi, dia sadar diri dan menyerahkan semua persoalan ini kembali ke internal kampus UIN Makassar. "Saya juga tidak mau membebani pikiranku dengan tanggung jawab di internal dengan status hukum saya ini," ujar Ramsiah.

Perjuangan Ramsiah pun dimulai. Dia bergerilya mencari keadilan. Upaya pertamanya yaitu melaporkan Nur Syamsiah ke komisi disiplin (komdis) kampus yang menuduhnya menghasut mahasiswa untuk unjuk rasa. Ramsiah mengaku pernah dituding menunggangi aksi demonstrasi hingga vandalisme mahasiswa FDK UIN yang memprotes kebijakan internal kampus.

3. Berjuang sendiri hingga bergabung dalam jaringan para korban dan penyintas UU ITE

Dari Ramsiah Kita Paham: Polisi Gowa Bisa Memaksakan Tersangka UU ITEDosen FDK UIN Alauddin Makassar Ramsiah Tasruddin (kiri) didampingi kuasa hukum LBH Makassar Abdul Azis Dumpa saat menghadiri pemeriksaan di Polres Gowa. IDN Times/Sahrul Ramadan

Enam bulan berproses, komdis UIN Makassar memenangkan gugatan Ramsiah. Gugatan itu diharapkan bisa jadi pertimbangan agar pihak kampus membantunya dalam proses hukum di kepolisian. Selain di komdis, Ramsiah juga berupaya melaporkan balik pelapor ke polisi.

"Tapi laporan saya itu ditolak penyidik karena katanya saya tidak punya minimal dua orang saksi."

Betapa kecewanya Ramsiah, ketika 30 orang rekannya sesama dosen termasuk dekan di dalam grup WA tak ada seorang pun yang bersedia menjadi saksinya. Padahal dia saat itu hanya ingin meminta pertolongan.

"Itu ketika saya sudah jadi tersangka, semua sibuk, katanya tidak ada waktu dan sebagainya. Saya kecewa," ucap Ramsiah.

Upaya Ramsiah untuk mencari keadilan atas statusnya sebagai tersangka UU ITE menemukan harapan, saat membuka komunikasi dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI-LBH) Makassar. Di sana dia mulai menceritakan situasinya ke advokat Azis Dumpa, yang hingga kini setia mendampinginya dalam proses hukum. Ramsiah juga berjejaring dengan seluruh penyintas korban UU ITE dari berbagai wilayah di Indonesia. Pada setiap kesempatan, dia selalu bersedia menjadi tamu undangan dialog untuk menceritakan kasus hukum yang menjeratnya.

Ramsiah mengaku, baru betul-betul sadar bahwa yang membantunya berjuang mendapatkan keadilan justru adalah pihak lain di luar lingkarannya sebagai seorang akademisi UIN Makassar.

"Saya temukan ruang baru yang bisa saling memberi dukungan, saling menguatkan. Saya niatkan, setelah urusan (hukum) saya selesai, saya akan mewakafkan diriku untuk membantu orang," Ramsiah tersedu menyeka air matanya.

4. Polres Gowa sudah empat kali mengganti penyidik

Dari Ramsiah Kita Paham: Polisi Gowa Bisa Memaksakan Tersangka UU ITEDosen FDK UIN Alauddin Makassar Ramsyiah Tasruddin (kiri) didampingi kuasa hukum LBH Makassar Abdul Azis Dumpa saat menghadiri pemeriksaan di Polres Gowa. IDN Times/Sahrul Ramadan

Februari 2021, Ramsiah kembali dihubungi penyidik Polres Gowa. Alasan penyidik keempat yang menghubunginya kala itu untuk menerbitkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dengan meminta tanda tangannya. Ramsiah pun mahfum, setiap pergantian penyidik menandakan bahwa polisi kesulitan melengkapi bukti dan berkas hingga kasus ini disetop sementara.

"Jadi ceritanya dia (penyidik keempat) tidak mau bola mental di dia. Akhirnya saya sambil bercanda sampaikan 'mudah-mudahan di kita' bisami SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) Pak dih," ujar Ramsiah.

Pada sekitar Juni 2021, Ramsiah mendapat informasi dari penyidik Polres Gowa terkait gelar perkara untuk mencari bukti baru terkait laporan Nur Syamsiah sejak 2017 lalu.

"Makanya saya kaget, loh kenapa data-data dan bukti lagi dikumpulkan. Di situ kami berpendapat bahwa kasus ini kok terkesan dipaksakan begitu."

Dua tahun berstatus sebagai tersangka, Ramsiah baru sekali memenuhi panggilan pemeriksaan dalam kapastias sebagai tersangka. Dia bersama pendamping hukumnya, Azis Dumpa memenuhi panggilan penyidik Polres Gowa pada 23 September 2021.

Saat ini, dengan status tersangka yang menggantung, Ramsiah tetap melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai dosen di UIN Makassar. Sebagian besar waktu luangnya kini dia habiskan untuk keluarganya yang terus dan tanpa henti mendukung perjuangannya mencari keadilan.

"Karena keluarga yang paling pertama dukung saya, kemudian teman-teman di jaringan dan semua yang membantu saya kembali keluar dari kekecewaan bertahun-tahun," imbuhnya.

5. Kasus terkesan dipaksakan karena SPDP sudah empat kali diperbarui

Dari Ramsiah Kita Paham: Polisi Gowa Bisa Memaksakan Tersangka UU ITEKepala Divisi Hak Sipil dan Keberagaman LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa. IDN Times/Sahrul Ramadan

Kuasa hukum Ramsiah, Azis Dumpa mengatakan penetapan tersangka terhadap Ramsiah terkesan dipaksakan. Hal itu dibuktikan dengan ketidakjelasan proses hukum yang berjalan di Polres Gowa.

"Berapa kali berkas perkara ini kan dianggap belum lengkap oleh kejaksaan sehingga dikembalikan ke penyidik," kata Azis saat ditemui di kantor LBH Makassar, 27 Oktober 2021.

Selama dua tahun terakhir, menurut Azis, Ramsiah berada dalam posisi tanpa kejelasan status hukum setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 2019 lalu. Kata Azis, penyidik juga sudah kali keempat menerbitkan SPDP. Terakhir pada 23 September 2021.

6. Polisi mengaku masih lengkapi berkas kasus, kejaksaan akui berkas tak pernah lengkap

Dari Ramsiah Kita Paham: Polisi Gowa Bisa Memaksakan Tersangka UU ITEIlustrasi Polisi Dok. IDN Times

Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Gowa AKP Boby Rachman, enggan berkomentar banyak mengenai kelanjutan kasus UU ITE yang menjerat Ramsiah. IDN Times juga sudah berupaya meminta pandangan Boby mengenai Surat Keputusan Bersama (SKB) 2021 antara Kominfo, Kejaksaan Agung dan Polri tentang Pedoman Penerapan Pasal Tertentu dalam UU ITE. SKB tersebut mestinya jadi rujukan polisi dalam menangani kasus Ramsiah Tasruddin.

"Penyidik masih melengkapi berkasnya," singkat Boby saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Senin, 1 November 2021.

Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri Gowa, Yeni Andriani mengungkapkan, pihaknya hanya bekerja sesuai dengan mekanisme dan prosedur hukum yang berlaku. Soal berkas perkara kasus Ramsiah, katanya, memang tidak pernah memenuhi syarat kelengkapan saat diserahkan oleh penyidik Polres Gowa.

"Iya itu kasus memang sudah lama sekali. Kami beberapa kali kembalikan, berkasnya tahap P-19 karena memang tidak lengkap," imbuh Yeni yang juga dihubungi lewat telepon WhatsApp.

7. Nur Syamsiah menolak upaya-upaya mediasi dan permintaan maaf

Dari Ramsiah Kita Paham: Polisi Gowa Bisa Memaksakan Tersangka UU ITEMantan WD III UIN Alauddin Makassar Nur Syamsiah sekaligus pelapor di Polres Gowa. IDN Times/Sahrul Ramadan

Nur Syamsiah yang ditemui di Polres Gowa pada September lalu, dengan keras mengatakan tidak sudi menemui Ramsiah yang hendak membicarakan perkara hukum yang telah lama menggantung ini.

"Mereka mau minta maaf, saya tidak mau temui karena sudah mencemarkan nama baik saya. Bahwa saya mengunci (pintu masuk ruangan radio) seolah-olah itu saya yang salah."

Syamsiah mengaku tak hanya namanya yang dicemarkan, pembahasan dalam grup WhatsApp itu juga, kata dia, membawa-bawa nama suaminya. "Itu sebenarnya yang paling saya tidak terima. Apa hubungannya suami saya dengan radio itu. Dan macam-macam, ada yang bilang saya minim etika dan arogan," jelasnya.

Bahkan kepada rektor UIN Alauddin Makassar pun yang pernah berupaya memediasi kasus ini, Syamsiah tetap saja menutup pintu damai. "Saya sampaikan kalau ini persoalan harga diri dan kehormatan saya. Jadi saya sampaikan mohon maaf (proses hukum) saya tetap jalan," terangnya.

Terkait alasannya menutup pintu radio saat itu, lanjut Syamsiah, karena dia tak ingin mendapat teguran dari pimpinan. Sebab setahunya, aktivitas mahasiswa di kampus tidak boleh sampai malam hari. "Saya WD III (saat itu) yang bisa kena batunya karena membiarkan anak-anak (beraktivitas) sampai malam," ucapnya.

Baca Juga: Wanita di Makassar Lolos dari Jeratan UU ITE

8. Polres Gowa harusnya berpijak pada pedoman UU ITE yang tertuang dalam SKB 2021

Dari Ramsiah Kita Paham: Polisi Gowa Bisa Memaksakan Tersangka UU ITEDeretan pasal di UU ITE yang multi tafsir atau karet (IDN Times/Arief Rahmat)

Azis Dumpa menilai, SKB 2021 antara Kominfo, Kejaksaan Agung, dan Polri, secara tidak langsung merupakan pengakuan terkait beberapa pasal dalam UU ITE yang multitafsir. Akibatnya, banyak orang yang menjadi korban kriminalisasi UU ITE. "SKB Implementasi UU ITE, jelas dimaksudkan agar penegakan hukum pascaditandatanganinya SKB oleh Jaksa, Polri, penerapannya tidak lagi menimbulkan multitafsir," jelasnya.

Dalam SKB itu disebutkan bahwa ketika suatu konten disebarkan dari grup tertutup dan terbatas, tidak akan masuk dalam kategori pelanggaran. "Baik itu penghinaan atau pencemaran nama baik. Baik itu di grup keluarga, grup kampus, dan institusi pendidikan. Jadi menurut kami memang SKB ini mempertegas bahwa dari dan sejak awal, kasus ini memang terkesan dipaksakan. Sebaiknya memang dihentikan," tegas Azis.

Selain itu, revisi UU ITE saat ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2021. Sehingga, kata Azis, SKB dianggap dapat memberikan jaminan perlindungan kepada masyarakat sambil menungggu hasil revisi UU disahkan oleh DPR.

"Jelas dalam kasus Ibu Ramsiah, Polri dan Jaksa tidak boleh melanggar komitmen itu apalagi kan memang sejak awal sangat kelihatan kasus ini dipaksakan," katanya.

Indikasi pemaksaan kasus Ramsiah oleh Polres Gowa, menurut Azis, bisa dibuktikan dengan proses hukum yang berlarut-larut. "Di mana klien kami telah menjalani proses hukum selama kurang lebih empat tahun, yakni sejak Laporan Polisi dibuat tanggal 5 Juni 2017 dan berstatus tersangka pada September 2019 atau selama lebih dari 2 tahun dan hingga saat ini penyidikannya belum juga dihentikan," heran Azis. Belum lagi, kata dia, berkas perkara sudah berulang kali bolak-balik dari penyidik Polres Gowa ke JPU Kejari Gowa.

Azis menegaskan, percakapan Ramsiah dalam grup WA bukanlah tindakan yang ilegal atau melanggar hukum. Melainkan pendapat dan atau ekspresi yang sah yang merupakan hak asasi manusia yang dijamin sebagai hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam UUD RI Pasal 28 F. Pasal tersebut menyatakan, bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Obrolan Grup WA yang membahas tentang masalah penguncian radio syiar dan sejumlah masalah internal FDK UIN Makassar, jelas Azis, adalah upaya bersama untuk mencari penyelesaian masalah. Substansi pembahasannya, kata Azis, adalah demi dan untuk kepentingan umum. Dalam hal ini mahasiswa dan sivitas akademik FDK UIN Makassar.

"Sehingga jelas merupakan pembahasan terkait dengan kepentingan umum dan bukan tindak pidana, sebagaimana ketentuan Pasal 310 Ayat (3) KUHPidana yang menyatakan bahwa: Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri," Azis mengurai.

Azis bilang, sepanjang 2019 hingga tahun ini pihaknya telah mengirim surat permohonan ke sejumlah lembaga dan institusi negara. Mulai dari Komnasham, Kemen PPA, Kemenkominfo hingga Kejaksaan Agung dan Mabes Polri. Surat bertujuan agar otoritas terkait dapat memberikan atensi dan pertimbangan dalam kasus UU ITE yang menjerat Ramsiah. "Itu yang kita harapkan sampai saat ini," ucapnya.

Dalam kasus ini, kata Azis, Ramsiah sedang menggunakan haknya sebagai warga negara dan dilindungi oleh aturan perundang-undangan.

"Seharusnya mendapatkan perlindungan dari negara bukan malah dikriminalisasi. Kasus Saiful Mahdi saja diberikan amnesty oleh Presiden dan dibebaskan, masa kasus yang sama seperti ibu Ramsiah dipaksakan," imbuh Azis.

Baca Juga: Kasus Dosen UIN Makassar Tersangka UU ITE Dinilai Terlalu Dipaksakan

9. Tidak ada jalan lain, kasus Ramsiah harus dihentikan!

Dari Ramsiah Kita Paham: Polisi Gowa Bisa Memaksakan Tersangka UU ITERamsiah saat menghadiri satu forum dikusi tentang para korban pasal karet UU ITE di Makassar, Sulawesi Selatan. Instagram.com/ruangantara

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Prof Hambali Thalib berpendapat, kewajiban penyidik dalam kasus Ramsiah adalah melimpahkan berkas perkara tersangka ke penuntut umum kejaksaan. "Sebelum P21, pada saat pelimpahan di situ ada namanya prapenuntutan," kata Hambali saat berbincang lewat sambungan telepon dengan IDN Times, Kamis (18/11/2021).

Hambali menjelaskan, prapenuntutan adalah proses bolak-baliknya berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum. "Jadi penuntut umum itu boleh saja menyatakan tidak cukup bukti menurut versinya dia, sehingga dikembalikan (ke penyidik) dan diberi petunjuk. Seberapa lama itu, itu tidak ada aturannya. Tapi dalam praktik biasanya dua sampai tiga kali," ujar Hambali.

Jika dalam proses itu penyidik belum juga mampu melengkapi petunjuk yang diberikan penuntut umum, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 184 KUHAP, maka polisi bertanggungjawab untuk menghentikan kasusnya dengan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

"Tidak ada jalan lain, prosesnya harus dihentikan," tegas Prof Hambali.

Menurut Hambali, penghentian penyidikan didasari karena perbuatan yang dilaporkan adalah bukan tindak pidana, tidak cukup bukti, dan terakhir adalah, demi alasan hukum. "Kemungkinannya di sini, jaksa menganggap ini bukan tindak pidana atau tidak cukup bukti. Sehingga versinya penasihat hukum bahwa kasus ini dipaksakan, kita bisa lihat nanti benar atau tidak," ucapnya.

Hambali menambahkan, perkara pidana menganut asas konten justice system atau proses peradilan pidana cepat, biaya murah dan sederhana. "Nah kalau sampai bolak-balik sampai digantung, berarti tidak memberi kepastian kepada pencari keadilan. Terutama dalam hal ini tersangka dan keluarganya," imbuh Hambali.

Baca Juga: Mengenal UU ITE dan 9 Pasal Karetnya, Ingin Direvisi Lagi oleh Jokowi

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya