Bertemu Pawang Hujan di Gowa: Sang Penerus Tradisi Kesaktian Leluhur

Daeng Lusing terpilih jadi pawang hujan sejak usia 20 tahun

Makassar, IDN Times - Pada umumnya, orang bekerja dengan harapan mendapat imbalan berupa uang atau sesuatu yang setimpal sebagai bentuk kompensasi atas waktu dan tenaga yang tercurah. Namun, itu tidak berlaku bagi Daeng Lusing, seorang Patakkuallo atau pawang hujan asal Desa Pao di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Pria 45 tahun yang selalu ceria dan senang guyon itu mengatakan, pekerjaan sebagai pawang hujan bukan semata untuk mencari keuntungan. Tapi lebih dari itu, ada tanggung jawab moral untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Juga, sebagai cara mengingat keagungan budaya leluhur yang kian hari semakin tergerus gelombang modernitas.

"Sejak masih muda, di umur 20 tahun sudah jadi pawang," kata Daeng Lusing saat berbincang dengan IDN Times di markas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Gowa, Minggu, 13 Juni 2021.

Pada kesempatan itu, Daeng Lusing menceritakan pengalaman panjang membantu masyarakat yang membutuhkan cuaca cerah untuk menggelar kegiatan. Lalu, bagaimana awal mula dia memperoleh kemampuan yang, hingga kini masih menjadi kabut tebal dalam semesta sains? Simak penuturannya!

1. Daeng Lusing mewarisi kemampuan pawang hujan dari sang nenek

Bertemu Pawang Hujan di Gowa: Sang Penerus Tradisi Kesaktian LeluhurDaeng Lusing, pawang hujan di Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulsel. IDN Times/Sahrul Ramadan

Daeng Lusing mengatakan, kemampuannya membaca dan memahami tanda-tanda alam terkait kondisi cuaca, dipelajari dari sang nenek. Kata dia, setiap generasi dalam garis keturunan keluarganya memiliki seseorang dengan anugerah istimewa tersebut.

"Tapi tidak semua di dalam keluarga saya bisa. Saya dapat itu (kemampuan sebagai pawang hujan) dari nenek," ujarnya.

Daeng Lusing remaja kala itu, dipercaya oleh sang nenek untuk meneruskan ilmu pawang hujan. Dalam tradisi masyarakat Bugis-Makassar, kemampuan itu disebut sebagai pangngissengang atau pengetahuan yang menjadi pegangan. "Ada semacam ilmu batin yang nenek lihat di saya mungkin, makanya langsung dipercaya," ucapnya.

2. Bisa melaksanakan ritual tanpa harus datang ke lokasi target

Bertemu Pawang Hujan di Gowa: Sang Penerus Tradisi Kesaktian LeluhurDaeng Lusing, pawang hujan di Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulsel. IDN Times/Sahrul Ramadan

Setiap pawang hujan, kata Daeng Lusing, memiliki cara berbeda saat melaksanakan ritual doa. Biasanya, dia meminta kepada pengguna jasanya untuk menyediakan beberapa syarat. Antara lain bawang putih, bawang merah, dan rokok. Dia menggunakan asap dari rokok yang dibakar sebagai zat perantara penyampai doa-doa. Namun, dia enggan menjelaskan secara rinci doa apa yang dirapalkan. Daeng Lusing khawatir jika orang berhati jahat memiliki kemampuan itu, maka bisa saja disalahgunakan.

"Kemudian ada juga khusus bacaannya. Intinya kita meminta dan berdoa kepada Allah. Karena atas izinnya, kita bisa diberikan petunjuk," jelasnya.

Daeng Lusing mengatakan, dirinya bisa melaksanakan ritual dari jarak jauh, tanpa harus berada di lokasi yang menjadi target pemindahan hujan. Hal ini tentu berbeda dari metode umum para pawang hujan, yang harus hadir di lokasi dengan membawa media atau barang-barang yang digunakan saat ritual.

Pengalaman dengan metode jarak jauh itu diceritakan Daeng Lusing. Suatu ketika dia pernah diminta menahan hujan untuk pesta pernikahan yang berlokasi di luar desanya. "Tapi sesuatunya (bahannya) itu saya simpan di rumah. Alhamdulillah bisa. Tapi hujannya pindah ke tempat lain. Setelah acaranya selesai, hujannya turun lagi," ungkapnya.

Kemampuan Daeng Lusing sudah banyak membantu berbagai macam kegiatan masyarakat. Tentu saja dia tidak menghitung penggunaan jasanya itu yang dia mulai sejak masih remaja. "Berapa kalinya saya tidak bisa hitung karena sudah banyak sekali. Apalagi kan saya dari waktu masih muda sampai sekarang," ucapnya.

3. Kendala yang dihadapi pawang hujan

Bertemu Pawang Hujan di Gowa: Sang Penerus Tradisi Kesaktian LeluhurIlustrasi Hujan. IDN Times/Sukma Shakti

Usaha Daeng Lusing tidak selalu berjalan mulus menahan dan memindahkan lokasi hujan. Katanya, ada beberapa hal yang membuat ritualnya terkendala. Salah satunya karena gangguan dari sesuatu yang tidak kasat mata. "Biasanya ada gangguan, tapi saya ulangi lagi, biasa sampai 3 kali sampai bisa. Dan alhamdullillah jadi lagi," jelasnya.

Sesekali, kemampuan istimewa itu juga dimanfaatkan Daeng Lusing untuk keperluan pribadi. Seperti yang baru-baru ini dilakukannya saat panen padi di sawahnya. Dia melaksanakan ritual agar hujan tidak turun selama tiga hari. Pada hari kedua memanen, urusannya pun tuntas di sawah. "Jadi kan masih tersisa satu hari," katanya.

Karena merasa cukup, dia kemudian menanggalkan syarat ritual yang membuat hujan turun deras di hari ketigas masa panen. Pengalaman itu membuat Daeng Lusing merasa lucu sekaligus kasihan karena beberapa warga setempat masih ada yang belum sempat memanen padi.

"Sebelumnya saya kan sampaikan memang, kalau saya mau panen nanti selama 3 hari, yang mau ikut silahkan, yang tidak, juga tidak apa-apa," ucapnya.

4. Daeng Lusing mengerti tidak semua orang memahami praktik pawang hujan

Bertemu Pawang Hujan di Gowa: Sang Penerus Tradisi Kesaktian LeluhurIlustrasi hujan. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Daeng Lusing mengaku memahami betul bahwa tidak semua orang dapat menerima secara rasional praktik pawang hujan. Dia pun mengatakan, tidak ingin memaksa orang untuk percaya. Karena itu pula, dalam bekerja menahan hujan Daeng Lusing tidak pernah mematok bayaran tertentu.

"Kalau ada dikasih, Alhamdulillah saya syukuri, kalau tidak, tidak apa-apa juga," ungkapnya. "Kalau ada yang panggil biasa minta tolong, ya kita bantu lagi. Alhamdullilah ada-ada saja yang didapat," katanya.

5. Daeng Lusing berharap kemampuan pawang hujan sebagai warisan leluhur dapat dilestarikan

Bertemu Pawang Hujan di Gowa: Sang Penerus Tradisi Kesaktian LeluhurDaeng Lusing, pawang hujan di Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulsel. IDN Times/Sahrul Ramadan

Bagi Daeng Lusing, pawang hujan merupakan warisan kekayaan budaya Nusantara yang harus dilestarikan. Baik sebagai profesi, maupun hanya untuk membantu orang lain yang membutuhkan. "Sekaligus ini juga bukti kekuasaan Allah. Kalau Allah berkehendak, jadi maka jadilah," imbuhnya.

Saat ini, dia belum menemukan pewaris ilmunya dari lingkaran keluarga. Hal itu tidak mudah, kata Daeng Lusing. Dia harus melihat dan memahami dengan baik jiwa sang penerus. "Itu semacam ilmu batin kalau niatnya baik membantu sesama, Insyallah dimudahkan sama Allah," ucapnya.

6. Dikenal masyarakat sebagai spesialis tanaman herbal hingga membantu warga yang hendak melahirkan

Bertemu Pawang Hujan di Gowa: Sang Penerus Tradisi Kesaktian LeluhurDaeng Lusing, pawang hujan di Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulsel. IDN Times/Sahrul Ramadan

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Gowa, Muhlis Paraja, mengatakan, Daeng Lusing dikenal sebagai seorang sanro atau tabib di Desa Pao. Selain mampu menahan hujan, Daeng Lusing juga banyak membantu mengobati warga yang sedang sakit. "Hampir semua pengobatan beliau (Daeng Lusing) itu bisa. Bahkan sampai tanaman-tanaman herbal, beliau itu spesialisnya," kata Muhlis.

Beberapa tanaman obat yang berada di halaman markas AMAN, kata Muhlis, merupakan rekomendasi dari Daeng Lusing. "Jadi kalau ada anak-anak di sini yang sakit atau apa, pasti langsung konsultasi ke beliau, baru diarahkan minum air rebusan tanaman ini. Setelahnya langsung baikan," imbuhnya. Kemampuan lain yang dimiliki Daeng Lusing adalah keahliannya membantu proses persalinan ibu-ibu di Desa Pao.

"Saat ini kita lagi upayakan bagaimana caranya supaya orang-orang seperti beliau ini, bisa betul-betul jasanya itu dihargai. Karena kan tidak enak juga orang kalau sekedar dibantu saja baru tidak ada yang diberikan," jelasnya.

7. Cerita warga yang pernah meminta bantuan pawang hujan

Bertemu Pawang Hujan di Gowa: Sang Penerus Tradisi Kesaktian LeluhurIlustrasi. IDN Times/Gregorius Aryodamar

Masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya akrab dengan praktik pawang hujan. Jasa pawang hujan digunakan oleh banyak orang. Seperti yang diceritakan Asniati Fitriah, warga sekitar Kelurahan Kalukubodoa, Kecamatan Tallo, Makassar. Dia pernah satu kali menggunakan jasa pawang hujan saat menggelar pesta pernikahan. "Adikku itu hari nikah, bulan dua itu kan puncak-puncaknya juga musim hujan jadi kita panggil itu orang (pawang hujan)," kata Asniati kepada IDN Times.

Kala itu, dia meminta bantuan pawang hujan dari Kabupaten Pangkep. Asniati mengaku sempat menyaksikan saat sang pawang melaksanakan ritual di dalam rumahnya. "Karena pestanya kan di depan rumah. Jadi disediakan khusus dia tempat untuk itumi, yang dia pakai tahan hujan," ungkapnya.

Selain menggunakan dupa, gula, hingga rokok, saat itu sang pawang juga memegang semacam buku catatan khusus. Dia menyaksikan buku itu digenggam erat ole pawang. "Merokok juga. Karena dia (minta itu hari) rokok, sampai selesai acara nda hujan. Tapi langit gelap sekali, nanti selesai acara sebelum salat Ashar orang, langsung hujan juga satu kali kayak tertumpah," katanya.

Sebagai tanda terima kasih, Asniati memberi sang pawang uang kurang lebih Rp1 juta. Dia mengaku bersyukur karena berkat jasa pawang, pesta pernikahan adiknya berjalan lancar. "Itu baru pertama kali karena saya lihat sendiri toh, gelap langit di luar baru yang dari arah lain kayak hujan begitu, tapi di sini (lokasi pesta) tidak," tambahnya.

8. Anak-anak muda pekerja event menggunakan jasa pawang hujan

Bertemu Pawang Hujan di Gowa: Sang Penerus Tradisi Kesaktian LeluhurIlustrasi Konser K-Pop (IDN Times/Besse Fadhilah)

Ippang, pekerja salah satu event organizer di Kota Makassar, juga memiliki kisah serupa. Berkat jasa pawang hujan kegiatan pentas seni yang digelarnya Januari 2020 lalu di kawasan Food Court Antang, Kecamatan Manggala, berjalan sukses. "Awalnya anak-anak (rekannya) pesimis bahkan hampir batal," katanya saat dihubungi IDN Times.

Sehari sebelum kegiatan berlangsung, kata Ippang, kondisi cuaca memang sangat tidak menentu. "Kan musim hujan juga toh. Itu hari mendung baru kencang angin. Malamnya begitu, pas masuk dini hari kalau nda salah ingat hujan terus mi, baru alat semua apa di panggung sudah diset (atur)," tuturnya.

Pagi harinya, dia diminta oleh pamannya untuk menghubungi salah seorang pawang hujan yang juga tinggal di Kabupaten Pangkep. "Tapi bukan saya yang jemput, ada anak-anak. Terus dibawa ke lokasi (kegiatan)," kisahnya.

Sepanjang berlangsungnya kegiatan musik itu, sang pawang disiapkan tempat khusus di di samping panggung utama. Hanya saja Ippang tak menyaksikan langsung ritual sang pawang. "Intinya itu hari tiba-tiba nda hujan ji. Sampai selesai acara malam itu. Ada dikasih juga (uang) pawangnya tapi saya nda tahu berapa," ucapnya.

9. Kolaborasi BBMKG dengan pawang hujan, mungkinkah?

Bertemu Pawang Hujan di Gowa: Sang Penerus Tradisi Kesaktian LeluhurIlustrasi petugas BBMKG. IDN Times/Sahrul Ramadan

Kepala Bidang Data dan Informasi BBMKG IV Makassar, Hanafi Hamzah menjelaskan, aktivitas pawang hujan pada umumnya sulit dijelaskan oleh kacamata sains. Sebab disiplin ilmu yang dipraktikkan dalam proses rekayasa cuaca, biasanya menggunakan pola atau rumus fisika yang erat kaitannya dengan ilmu alam.

"Disiplin ilmunya adalah meteorologi, klimatologi dan geofisika, basic-nya ilmu fisika. Ditambah lagi dengan ilmu-ilmu terapan yang lain dan semua di seluruh dunia metodologinya pasti sama dalam merekayasa cuaca," jelas Hanafi kepada IDN Times, Sabtu (3/7/2021).

Menurut Hanafi, pawang hujan dalam dunia sains memang cukup asing. Berbeda halnya ketika dikaitkan dengan disiplin ilmu lainnya. Dia menilai aktivitas pawang hujan hanya bisa dijelaskan dengan pendekatan spiritual dalam konteks kepercayaan. "Makanya mesti dipahami dengan bijak. Sebab memang ada orang yang dikaruniai, dianugerahi kemampuan seperti itu," ungkap Hanafi.

Hanafi mengatakan, dalam beberapa kesempatan lalu, pihaknya bahkan sempat bertemu dengan sejumlah pawang hujan untuk mendiskusikan kondisi cuaca saat ini. "Nah ternyata kalau kita pertemukan antara ilmu yang kita pelajari dengan mereka punyai, itu muaranya ke satu arah semua dan itu relevan," imbuhnya.

Hanafi mengaku, dalam praktiknya, rekayasa cuaca seperti mendatangkan hujan saat kemarau ekstrem biasa dilakukan oleh BBMKG. Seperti memanfaatkan sisa gumpalan awan untuk mendatangkan hujan saat kemarau ekstrem. "Jadi rekayasa-rekayasa seperti itu sudah banyak kita lakukan di saat tertentu untuk menyiasati kondisi cuaca saat kemarau," ucapnya.

Antara pawang hujan dan ahli cuaca yang mengantongi legitimasi akademik, menurut Hanafi, hanya dibedakan oleh metodologi. Menurutnya, pawang hujan adalah orang-orang yang istimewa karena punya kemampuan khusus. "Jadi memang kita anggap luar biasa orang-orang seperti itu," katanya.

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya