MUI Sulsel Bakal Terbitkan Fatwa Uang Panaik, Ini Pertimbangannya

MUI Sulsel menekankan uang panaik beda dengan mahar

Makassar, IDN Times - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan segera menerbitkan fatwa tentang persoalan biaya pernikahan di masyarakat Bugis-Makasar, yakni uang panaik. 

Ketua Bidang Fatwa MUI Sulsel, KH Ruslan Wahab mengatakan, pihaknya telah merumuskan fatwa soal itu. Perumusan fatwa dibahas di Kantor MUI Sulsel, Jalan Masjid Raya Makassar, pekan lalu.

"Sudah dirumuskan dan selesai disidangkan. Insyaa Allah dalam waktu dekat ini terbit (fatwanya)," kata KH Ruslan kepada IDN Times via WhatsApp, Senin (27/6/2022).

Dalam perumusan itu, hadir ketua MUI Sulsel, Prof Dr KH Najamuddin Abduh Shafa, Sekretaris MUI Sulsel Dr KH Muammar Bakry, Wakil Ketua MUI Sulsel Prof Dr KH Muh Ghalib, dan Wakil Ketua MUI Sulsel Dr KH Mustari Bosrah dan pengurus MUI Sulsel.

Baca Juga: MUI Sulsel Sebut Hewan Terjangkit PMK Tidak Bisa Dikurbankan

1. Uang panaik beda dengan mahar

MUI Sulsel Bakal Terbitkan Fatwa Uang Panaik, Ini PertimbangannyaSuasana sidang rumusan MUI Sulsel tentang fatwa Uang Panai di kantor MUI Sulsel Jl Masjid Raya, Makassar, Rabu (22/6/2022). Istimewa/Dok.MUI Sulsel

KH Ruslan menjelaskan, secara garis besar dalam perumusan fatwa, dinyatakan bahwa uang panaik itu merupakan tuntutan budaya. Ditekankan bahwa uang panaik berbeda dengan mahar dalam pernikahan yang ditetapkan dalam islam.

"Uang panaik dapat saja diadakan selama tidak bertentangan dengan aturan agama," kata KH Ruslan.

KH Ruslan mencontohkan, uang panaik semestinya tidak bertentangan dengan ajaran agama. Misalnya memberatkan pihak laki-laki hingga menyebabkan lahirnya tindakan kriminal.

"Kalau sudah begitu (kriminal) dan menggagalkan pernikahan atau putus silaturahim dan sebagainya. Jadi tujuan fatwa ini untuk menciptakan kemaslahatan," Ruslan menerangkan.

"Dan mengawal kehidupan masyarakat dalam bingkai syariat, hendaknya pernikahan itu dijadikan ibadah bukan komoditas perdagangan," dia menambahkan.

2. Fatwa uang panaik tidak mengatur nominal

MUI Sulsel Bakal Terbitkan Fatwa Uang Panaik, Ini Pertimbangannyailustrasi memberi dan menerima uang (IDN Times/Aditya Pratama)

KH Ruslan memastikan dalam fatwa yang diterbitkan nanti, tidak diatur tentang jumlah atau nominal uang panaik yang disediakan mempelai laki-laki. Sebab itu dianggap merupakan kesepakatan bersama pengantin.

"Fatwa (uang panai) tersebut kita sesuaikan dengan kesepakatan tanpa memberatkan dan menyusahkan salah satu pihak," katanya.

3. Poin pertimbangan fatwa uang panaik

MUI Sulsel Bakal Terbitkan Fatwa Uang Panaik, Ini PertimbangannyaIDN Times/Galih Persiana

Sebelum menerbitkan fatwa tentang uang panaik, MUI Sulsel menguraikan beberapa poin pertimbangan dan latar belakang masalah. Berikut ini penjelasannya, dikutip dari laman MUI Sulsel.

  • Pemberian uang panai’ telah menjadi adat di kalangan masyarakat Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.
  • Uang Panai’ merupakan pemberian uang yang berasal dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai wanita sebagai rasa penghargaan dengan memberikan sejumlah untuk prosesi pesta pernikahannya. Uang panai’ pada suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja digunakan sebagai uang pesta pernikahan atau biasa juga disebut dengan uang belanja sebagai bentuk keseriusan pihak laki-laki menjadi calon kepala rumah tangga.
  • Uang panai‘ berbeda dengan mahar. Mahar adalah kewajiban agama yang menjadi mutlak dalam prosesi nikah. Sementara uang panai‘ adalah tuntutan adat yang mentradisi pada masyarakat bugis, makassar, mandar toraja sebagai biaya yang disediakan oleh pihak laki-laki untuk prosesi acara pesta dan nikah. Jumlahnya variatif sesuai dengan kesepakatan antara keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan.
  • Beberapa jenis pemberian dalam pernikahan dalam tradisi Bugis-Makassar seperti uang panai‘, leko, erang-erang (seserahan), sompa atau sunrang (mahar) dan passio (pengikat).
  • Beberapa realitas yang terjadi di tengah masyarakat terkait uang panai’ antara lain:
    • Terjadinya pergeseran budaya uang panai’ yang awalnya dimaksudkan untuk memberikan penghargaan kepada keluarga mempelai wanita, menjadi ajang prestise dan pamer di tengah masyarakat.
    • Sebagian masyarakat menjadikan anak perempuan sebagai komoditas untuk mendapatkan uang panai’ yang setinggi-tingginya.
    • Menjadikan uang panai yang derajatnya sebagai pelengkap (tahsiniyat) menjadi hal yang paling utama (dharuriyat) dalam perkawinan dibandingkan dengan mahar yang hukumnya adalah wajib.
    • Menjadikan uang panai’ sebagai penentu realisasi sebuah perkawinan dibandingkan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam.
    • Terjadinya berbagai bentuk kejahatan (riba, mencuri dll) untuk memenuhi uang panai’.
    • Terjadinya kasus perzinaan yang dilakukan oleh muda-mudi karena ketidaksanggupan untuk menikah karena tingginya uang panai’.
    • Terjadinya kawin lari (silariang) dan nikah siri yang dilakukan oleh kedua mempelai karena laki-laki tidak sanggup memenuhi uang panai’.
    • Banyaknya pria dan wanita lajang yang tidak menikah karena ketidaksanggupan untuk memenuhi uang panai’.
    • Munculnya dampak psikologis yang dirasakan oleh laki-laki seperti stress dan kecemasan karena tingginya uang panai’.
  • Bahwa dengan hal itu, MUI Provinsi Sulawesi Selatan perlu menetapkan fatwa dan memberikan rekomendasi seputar fenomena uang panai’.

Baca Juga: MUI Sulsel Haramkan Jual Beli Mystery Box di Marketplace

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya