[Wansus] Aditya Ahmad: Film Independen Lebih Dihargai di Luar

Sineas muda yang menggebrak lewat kancah film independen

Makassar, IDN Times - Sutradara asal Makassar, Sulawesi Selatan, Aditya Ahmad kembali menorehkan prestasi. Dia meraih penghargaan Indonesia Up and Coming Director pada Sundance Film Festival 2021: Asia.

Ini menambah panjang prestasinya sebagai sutradara film independen, baik di kancah nasional maupun internasional. Sebelumnya dia sudah meraih beragam penghargaan, terutama lewat dua filmnya: Sepatu Baru (2013) dan Kado (2018).

Film Kado menceritakan kisah Isfi yang bersemangat menyambut ulang tahun Nita. Dia yang terbiasa nyaman memakai celana di antara teman-temannya, harus mengenakan rok panjang dan hijab di rumah Nita.

Kado yang di luar sana dikenal judul A Gift, diputar di Sundance Film Festival 2018. Film itu kemudian meraih antara lain Venice Horizons Award di Venice Film Festival 2018 dan jadi nominasi Short Film Grand Jury Prize di Sundance Film Festival 2019. Lewat film itu Adit juga memborong tiga penghargaan dari Singapore International Film Festival 2018.

Jika ingin menoleh lebih jauh ke belakang, film Sepatu Baru tak kalah sukses. Diputar di berbagai festival, film itu menang berbagai penghargaan. Sebut saja Film Pendek Terbaik di Piala Maya 2014 hingga Special Mention Award, Gendeeration Section, di Berlin International Film Festival 2014. 

Adit juga tercatat sebagai Sutradara Film Pendek Asia Tenggara Terbaik di Festival Film Internasional Singapura 2014. Film Sepatu Baru yang sebenarnya tugas untuk syarat kelulusan kelulusan kuliah di Institut Kesenian Makassar (IKM) mengantarkan dia menggebrak kancah perfilman hingga ke mancanegara.

IDN Times menghubungi Aditya Ahmad lewat telepon pada pertengahan September 2021 ini. Kami menanyainya seputar perjalanan karier sebagai sineas. Dia menceritakan inspirasinya terjun ke dunia film, tantangan membuat film independen, hingga dukungan Mira Lesmana dan Riri Riza (nama terakhir sama-sama berasal dari Makassar).

Adit mengisahkan pengalamannya membuat film sejak sekolah di pesantren IMMIM Putra Makassar di tahun 2016. Dia kemudian terus aktif hingga kuliah dan tumbuh pada sebuah komunitas film di Makassar. Film Sepatu Baru yang mengiringi kelulusannya dari kampus pada 2013 pun mengantarkan dia hijrah ke Jakarta sampai sekarang.

Di sesi wawancara ini Adit juga punya 'wejangan' buat kamu yang sedang atau berencana menapaki karier sebagai sineas.

Berikut ini petikan wawancaranya.

Baca Juga: Daftar Lengkap Pemenang Penghargaan Sundance Film Festival: Asia 2021

1. Bisa diceritakan apa saja kesibukannya sekarang? Lagi garap apa?

Kemarin baru selesai ada satu project film pendek interaktif. Judulnya Smash. Film itu sebenarnya bentuknya interaktif dan film itu untuk edukasi, terutama untuk pelajar SMP tentang bahaya minum alkohol. Tapi itu bukan project personal. 

Kalau project personal belum ada. Kemarin-kemarin ada seri dokumenter Maestro Indonesia, tapi di situ saya bukan sebagai sutradara, tapi sebagai sinematografer.

(Maestro Indonesia digarap Miles Film bekerja sama dengan PT Pembangunan Jaya, mengangkat dua tokoh, yakni komponis Cornel Simanjuntak dan budayawan islam Nurcholish Madjid atau Cak Nur)

2. Tahun lalu Anda menggarap video musik Mulan untuk Disney. Bagaimana sih prosesnya sampai dapat project itu?

[Wansus] Aditya Ahmad: Film Independen Lebih Dihargai di LuarInstagram

Awalnya saya dapat kabar kalau Disney lagi mencari beberapa director untuk project barunya. Waktu itu dirahasiakan project apa. Dia cuma bilang mau bikin music video

Saya diundang untuk datang ke Disney Indonesia untuk pitching di sana. Mereka menceritakan mereka ingin bikin video klip, kita dikasih tahu penyanyinya siapa saja. 

Waktu itu kalau tidak salah sempat ada lima orang sebelum jadi sekarang empat orang. Katanya ini untuk film Mulan. Sebenarnya saya juga sempat lihat trailer-nya sebelum saya diajak untuk pitching di Disney. Jadi sudah ada bayangan mau dibikin apa.

Lalu saya pitching. kita dikasih tahu seperti apa, terus saya bawa pulang. Saya disuruh bikin konsep. Nanti semua kandidat sutradara presentasi konsepnya tapi tidak berbarengan. Disney Indonesia memilih konsep saya untuk digarap. Waktu itu saya tidak bawa bendera sama sekali. 

Prosesnya sampai kita produksi kira-kira satu bulan dari saya bikin konsep. Pendek sih waktunya. Terus kita produksi. Waktu itu musim hujan. Jadi saya juga tidak mau ambil risiko syuting di luar meski pun sebenarnya ingin.

Makanya saya pilih studio. Syutingnya dua hari. Kita ngerjain itu sekitar satu bulan karena visual effect-nya banyak kan. Kita deliver, ternyata mereka belum bisa rilis karena COVID-19 masuk ke Indonesia. Semua jadi di-hold. Nanti tahun kemarin baru rilis.

3. Bagaimana awalnya Anda bisa masuk ke ranah sutradara? Kenapa sih mau jadi sutradara?

https://www.youtube.com/embed/1FAR4lCkruU

Saya sebenarnya tidak pernah kebayang kalau akhirnya dikenal sebagai sutradara atau kebanyakan job yang saya ambil menjadi posisinya sutradara. Sebenarnya dulu saya tumbuh di komunitas kecil itu, apa pun saya kerjakan.

Saya justru awalnya tertarik dengan kamera, jadi director fotografi atau sinematografer. Karena memang basic saya suka gambar. Saya lebih ke visual, makanya saya dulu mau sekali jadi sinematografer.

Saya tumbuh di komunitas kecil, di mana kita itu dituntut harus bisa semua. Bisa ngedit, bisa bikin film sendiri. Walau pun juga di film pertama saya dibuat tahun 2006 ketika saya SMA, itu saya juga yang pegang kamera, saya juga direct tapi bukan saya yang menulis.

Di komunitas itu sistemnya gotong royong dan saya juga di IKM begitu mau lulus harus men-direct sendiri. Karena kita hanya ada sembilan orang waktu itu. Satu angkatan yang mau lulus harus bikin film masing-masing.

Mungkin kayak filmmaker. Apa pun yang berhubungan dengan audio visual. Tapi memang saya dikenal sebagai sutradara karena dua film pendek saya yang terakhir yang dapat exposure kan saya sebagai sutradara.

Tapi saya juga senang dengan menjadi sutradara. Saya bisa kontrol semua aspek teknis pun saya juga tahu. Kita kan bekerja dengan sinematografer, diskusinya tentang teknis termasuk bukan juga soal konsep penataan visual tapi juga ada sedikit teknis.

Kalau mau bikin gerakan kamera kayak gini harus pakai apa, akhirnya bisa ikut diskusi sama sinematografer. Saya juga beberapa kali ngedit sendiri, jadi pas saya menyutradarai, saya tidak terlalu lama shot karena saya sudah ngedit sendiri. Mungkin menyutradarai dengan editorial thinking. Jadi saya sudah tahu yang mana yang mau saya ambil. 

Karena dulu saya tumbuh seperti itu, menguntungkan sekali buat saya jadi sutradara.

Baca Juga: Festival Film Mampu Mengubah Karier Para Sutradara, Ini 5 Faktanya

4. Anda lebih banyak bergelut di film independen, seperti apa tantangannya?

[Wansus] Aditya Ahmad: Film Independen Lebih Dihargai di LuarIlustrasi bioskop (IDN Times/Panji Galih Aksoro)

Sampai sekarang saya memang belum pernah mengerjakan project film panjang komersil, maksudnya yang duduk sebagai sutradara. Tapi saya sering terlibat.

Dulu awal-awal di Jakarta saya sempat di beberapa project menjadi asisten sutradara mengerjakan beberapa video promo dari film-film komersil ini.

Tantangannya adalah film itu kan butuh biaya yang juga tidak murah walau pun tergantung juga dari tuntutan ceritanya seperti apa. Saya beruntung dua film terakhir saya punya banyak support system, baik tenaga sama alat.

Yang di Sepatu Baru kan kita semua pinjam. Tenaga, kru, itu teman-teman mau membantu. Ada spirit gotong royongnya. Itu yang buat saya merasa beruntung sekali. Paling kita keluar duit buat makan. Kalau memang harus ada alat yang kita tidak bisa pinjam dan harus sewa, maka itu kita sewa. 

Menurut saya kita dituntut menulis cerita yang paling sesuai dengan budget. Sesuai dengan sumber daya yang kita punya dihitung sejak kita menulis. Kayak saya mau bikin scene di perumahan. Perumahan yang tidak ribet dan tidak bayar itu di mana, itu harus saya tahu dulu atau cukup nggak kalau syuting pakai handphone. Jadi saya tidak pusing lagi kan soal biaya sewa alat seperti kamera. 

Tapi kan syuting juga tidak semua rasanya susah di pendanaan. Kan juga kita udah mulai kayak pitching forum, pendaan film pendek. Kayak di Jogja mereka punya dana istimewa. Setiap tahun kalau nggak salah ada 10 pembuat film dikasih dana satu project Rp300 juta. 

Tapi sebagai filmmaker independen harus punya daya jelajah yang tinggi. Cari sumber-sumber dana. Sebenarnya juga tidak harus di Makassar atau di Indonesia, di luar juga sebenarnya banyak. 

Kadang-kadang kita belum sempat menjelajah jauh, cari informasi segala macam, sudah mengeluh. Sebenarnya kan kalau sudah punya ide, proposal siap untuk diproduksi, kan banyak tuh di beberapa festival. Bahkan yang paling dekat seperti Singapura kan juga ada. Mereka punya grant (pendanaan) untuk film pendek. 

Kadang-kadang yang saya lihat dari teman itu kurang jelajah padahal kita hidup di era digital yang semua serba mudah. Bahkan produksi secara virtual pun sekarang sudah bisa.

5. Lalu bagaimana Anda melihat tanggapan publik terhadap film alternatif, seperti film independen?

https://www.youtube.com/embed/ClZwrqL745E

Sebagian besar masyarakat Indonesia melihat film itu belum seperti kebanyakan budaya yang tumbuh dengan film. Masyarakat kita kan cenderung baru mengenal film. Tapi kalau di Jerman, mereka punya kategori khusus (misalnya) untuk anak-anak, eksperimental film. Ketika ada festival film, mereka merayakan.

Di sini mungkin kebanyakan orang masih melihat film semata-mata cuma sebagai hiburan. Yang sebenarnya adalah potret hidup yang juga isinya bukan cuma hiburan tapi ada tawaran perspektif, ide, ada bahan untuk diskusi, bahan renungan.

Ruang teman-teman yang memproduksi film indie akhirnya selalu begitu, dibawa ke festival. Yang apresiasi justru orang-orang di luar. Kalau teman-teman juga daya jelajahnya kurang, tidak punya informasi untuk bawa filmnya ke festival, ya sudah paling ujung-ujungnya ke Youtube.

Sebenarnya tidak masalah ke Youtube, itu juga pilihan sebenarnya. Distribusi memperkenalkan ke masyarakat lewat platform Youtube sebenarnya juga tidak masalah sih. 

Cuma kan itu pilihan, kalau film udah masuk di Youtube, chance-nya untuk ikut festival jadi tidak ada. Karena semua orang sudah bisa akses. Kalau di festival kan film kita bisa dibicarakan lebih jauh.

Kita bisa bertemu dengan filmmaker yang lain, kesempatan kita diskusi, film kita dibicarakan, digali. Selain itu menjadi jembatan dan kita dapat next project. Kita bisa ke festival. Kesempatan-kesempatan lain masuk seperti kesempatan bertemu co-producer, investor dan sebagainya. 

6. Anda debut dengan film Sepatu Baru, bagaimana awal pembuatan film tersebut?

[Wansus] Aditya Ahmad: Film Independen Lebih Dihargai di LuarSepatu Baru (cinemapoetica.com)

Sebenarnya, mungkin bisa dibilang itu film saya yang baru dikenal orang. Saya bikin film kan dari 2006. Kayaknya hampir tiap tahun. Waktu itu saya bikin film di pesantren, pas kuliah juga saya bikin judulnya Delusi. Ikut produksi juga dengan teman-teman di Makassar.

Sebenarnya saya tidak pernah membayangkan diri saya sampai ke festival. Saya dulu bayangkan paling kayak di Indonesia. Saya juga tidak punya ambisi karena memang tidak tahu.

Akhirnya yang saya niatkan Sepatu Baru itu sebagai tugas untuk lulus kuliah, supaya tidak ada lagi beban. Karena sebelumnya itu saya sempat galau karena ada tawaran untuk magang oleh Miles Film di Jakarta.

Saya berada di antara dua pilihan. Saya lulus, tapi juga saya belum punya cerita sementara teman-teman saya sudah siap bahkan sudah ada yang produksi. Pilihannya antara ikut magang atau lulus kuliah.

Akhirnya keputusan saya lulus kuliah dulu supaya bisa kerja dan masuk ke industri. Gimana sih orang Makassar. Terus dapat tawaran magang di industri di Jakarta. Jadi rasanya yang kayak "wow", siapa yang tidak mau.

Tidak pernah saya bayangkan sebelumnya film yang tadinya cuma buat lulus kuliah, dilirik sama programmer. Awalnya kan diputar dulu pas dilirik sama programmer, ditawarkan ke Berlin dan lolos seleksi.

Di sana pun tidak cuma ikut kompetisi tapi juga dapat bonus kita menang Special Mention Award. Nah itu, sih yang kayak wow kok bisa ya sampai sejauh ini perjalannya.

Umurnya Sepatu Baru juga lumayan panjang sih. Dia travel ke banyak festival, bahkan di Indonesia dapat banyak apresiasi. 

7. Anda bekerja sama dengan Mira Lesmana dan Riri Riza dalam film Kado, bagaimana dukungan kedua sosok ini untuk perkembangan karier Anda?

[Wansus] Aditya Ahmad: Film Independen Lebih Dihargai di LuarDok. IDN Times

Orang yang 'paksa' saya untuk bikin film lagi itu mereka. Jadi saya tuh pernah di posisi mempertanyakan banyak hal, termasuk karier saya. Adalah fase-fase kritis. Waktu itu saya galau sekali dan bingung.

Pertanyaan kenapa saya mau jadi filmmaker tuh kayak berat sekali di kepala saya waktu itu. Apa sih yang saya cari, kenapa saya mau bikin film. Dulu kan kayak keren kalau bikin film, terus saya berhenti saat itu dan saya pertanyakan kembali.

Setelah saya lumayan lama sekolah, saya sempat masuk ke Asian Film Academy di Korea, akhirnya saya pulang ke Makassar, berhenti dulu, saya tidak ambil semua kerjaan yang berhubungan dengan film. 

Di saat yang sama, ketika saya di Makassar, Mira Lesmana dan Riri Riza hubungi saya. Katanya 'saya ngerti kegalauanmu sekarang, cuma jangan terlalu lama. Boleh gak kegalauan kamu itu sampaikan lewat karya. Bikin film lagi untuk yang terakhir. Terserah film apa'. 

Tiba-tiba saya dikasih duit untuk produksi dulu. Akhirnya mau tidak mau saya harus jalan dulu cari inspirasi. Itu satu Sulawesi hampir saya kelilingi. Saya ajak beberapa teman, naik mobil dari Makassar sampai ke Bitung, pulang balik, hanya untuk cari cerita. Saya juga sempat ke Wakatobi, Kendari (Sulawesi Tenggara) naik kapal. 

Di jalan itu, banyak sekali cerita yang saya temukan. Tapi rasanya belum ada urgensi dari diriku sendiri. Kenapa cerita yang saya temukan di jalan-jalan ini bukan itu yang saya bikin.

Sampai akhirnya saya ketemu Isfi (tokoh di film Kado). Kita udah lumayan lama kan tidak ketemu. Karena saya di Jakarta jadi kontak lewat telepon. Kita sharing banyak hal tentang kegelisahan saya.

Biasa kalau orang lama tidak ketemu jadi curhat. Dari curhatan itu kayak ada sesuatu yang bagaimana Isfimelihat dirinya sekarang. Ini sesuatu yang penting untuk disampaikan. 

Saya bilang 'Isfi, gimana kalau kita bikin film lagi'. Dia bilang 'oh harus sekali'. Akhirnya kita memutuskan untuk bikin film sama-sama. Isfi dengan kegelisahannya, saya bagaimana melihat hidup manusia.

Akhirnya kita bikin Kado dan prosesnya pun lumayan panjang juga sih. Tidak seperti saya biasanya bikin film Sepatu Baru. Jadi kayak dokumenter, saya observasi. Karena semua orang memainkan dirinya sendiri.

Saya ikuti Isfi dan teman-temannya. Saya lihat bagaimana teman-temannya melihat Isfi, bagaimana orang-orang melihat Isfi. Saya lihat bagaimana diriku kembali. Bagaimana saya melihat Isfi, bagaimana saya melihat manusia dan banyak pertanyaan saya tentang hidup.

Biasalah pertanyaan-pertanyaan galau manusia kayak untuk apa sih kita hidup. Akhirnya dari semua pertanyaan itu saya kemas ke dalam film. Bahkan di dalam film pun saya bawa banyak pertanyaan. 

Lalu saya tahu alasan saya. Dalam prosesnya itu saya memang harus bikin film. Inilah jalan saya yang paling saya sukai untuk mengerti diri saya, mengerti hidup selain untuk survive.

Tapi memang maksudnya kita harus bicara, kita harus menyampaikan apa yang kita temukan. Kita harus menceritakan itu. Kita kan biasanya kalau habis jalan melihat sesuatu, enak rasanya kalau kita ceritakan ke orang. Film media saya untuk itu. 

Kado itu menjadi kayak semacam obat dan tidak disangka-sangka juga. Saya bikin itu untuk lepas dari banyak pertanyaan. Akhirnya dapat apresiasi yang banyak juga. Saya juga gak pernah kepikiran bahwa film ini bakal ikut festival.

8. Bagaimana prosesnya film Kado ini bisa menembus ajang internasional?

[Wansus] Aditya Ahmad: Film Independen Lebih Dihargai di LuarFilm Kado. (milesfilms.net)

Sebenarnya pas Kado selesai, saya tidak pikir film ini mau dibawa festival atau kampus-kampus, atau di Youtube, terserah produser. Mbak Mira memilih untuk coba masukkan dulu ke festival. 

Waktu itu di pertengahan tahun submission, Maret buka Cannes Film Festival, kita sempat daftar tapi tidak lolos. Terus kita daftar lagi di Venice akhirnya lolos. Tahu-tahu menang.

Setelah itu kita tidak daftar lagi filmnya kalau festival. Banyak sekali programmer yang hubungi kita minta film itu masuk ke festival, termasuk Sundance. 

Jadi tahun ini kan kalau kita daftar festival harus bayar. (Waktu) itu semua lewat jalur khusus, tidak pakai bayar lagi dan daftar lagi. Waktu itu semua programmer mau ambil. 

Biasanya memang begitu sih untuk film yang sempat diputar di festival, termasuk Sundance waktu itu. Sundance itu festival yang berasa sekali independennya. 

9. Pesan apa yang mau disampaikan dalam film Kado?

[Wansus] Aditya Ahmad: Film Independen Lebih Dihargai di LuarFilm Kado garapan Aditya Ahmad. (YouTube Miles Films)

Sebenarnya saya tidak pernah mencoba kasih pesan dalam setiap karya. Karena saya yakin penonton bisa melihat film itu berdasarkan perspektifnya masing-masing. Penonton bebas melihat filmnya seperti apa.

Tapi apa yang saya temukan di dalam prosesnya ternyata kita ini adalah kado dari tuhan. Semestinya kita menjadi kado bukan cuma ke sesama manusia tapi semua ciptaan.

10. Indonesia mengadakan Sundance Festival Film Asia tahun ini. Menurut Anda, bagaimana festival ini nantinya akan berefek untuk perfilman?

[Wansus] Aditya Ahmad: Film Independen Lebih Dihargai di LuarSundance Film Festival Asia 2021 (Dok. Sundance)

Saya gembira sekali ada Sundance Film Festival Asia ini karena ini harusnya menjadi semangat yang besar untuk kita penikmat film, terutama pembuat film. Di Indonesia tidak banyak festival film.

Adanya Sundance ini menambah ruang lagi untuk kita pembuat dan penonton. Justru ini yang kita butuhkan, bahkan sekolah film di Indonesia. Festival film cuma lima, di Amerika punya ribuan film festival.

Senang sekali sih karena Sundance punya perhatian yang segitu besarnya dan bisa diadakan di Jakarta. Mestinya Sundance ini akses bagi kita untuk melihat film-film yang tidak biasa kita lihat. Sundance dikenal sebagai film independen dan suaranya penting.

11. Anda berasal dari Makassar, bagaimana Anda melihat perfilman di kota ini?

[Wansus] Aditya Ahmad: Film Independen Lebih Dihargai di LuarWarga melintas di area Pantai Losari saat matahari terbenam di Makassar, Sulawesi Selatan. (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Perkembangan film di Makassar menurut saya bertumbuh. Sekarang masih sedang berkembang menuju industri. Seimbanglah dengan project-project yang independen dan juga komersil.

Makassar sebenarnya bisa menjadi potensi yang sangat besar, kota dengan industri film. Perlu sinergi antara filmmaker dengan penonton. Tapi pemerintah mau gak ya bikin. Saya juga tidak bisa terlalu berharap. 

Cuma beruntungnya di Makassar ada inisiatif-inisiatif kayak SEAScreen Academy yang hampir tiap tahun dan memang fokus ke pembuatan film dari Indonesia Timur. Potensinya besar sekali. Anak Makassar itu jago-jago bikin film. 

Kadang-kadang mesti berani kolaborasi. Bisa sama sinematografer di Jakarta atau penulis dari Jogja. 

12. Apa kiat-kiat supaya sineas muda Makassar tidak jalan di tempat?

[Wansus] Aditya Ahmad: Film Independen Lebih Dihargai di LuarIlustrasi bioskop. (Pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Memang mesti sering-sering keluar sih. Tidak harus juga terlalu sering. Manfaatkan teknologi yang sekarang. 

Di awal bikin film, saya malah pakai kamera DGV. Saya kirim film Sepatu Baru ke festival itu pakai CD. Sekarang tinggal kasih link. Kamera juga sudah canggih sekali, kamera handphone pun bisa.

Yang orang cari dari menonton film indie itu cerita, bukan persoalan bagus sekali gambarnya. Harus belajar dan belajar sekarang bisa di mana-mana. Banyak kelas online, ikut workshop, datang ke festival-festival, dan berteman. Harus menjelajah mencari teman baru.

Dulu saya belajar editing, visual effect itu semua dari internet. Saya tidak ambil kelas khusus. Saya ikuti tutorial misalnya ngedit lebih cepat. Agak sedih sih kalau masih ada yang ngeluh di zaman sekarang karena semua aksesibel. Mau belajar apa saja semua bisa.

Cerita juga banyak sekali. Cobalah datangi satu suku saja, itu bahasanya saja sudah beda. Pasti punya cerita beda juga.

13. Jika pandemik ini selesai, apa rencananya ke depan?

[Wansus] Aditya Ahmad: Film Independen Lebih Dihargai di LuarIlustrasi virus corona (IDN Times/Arief Rahmat)

Selama pandemik ini, saya memang tidak memproduksi film saya sendiri. Saya ngerjain beberapa project tapi juga karena pandemik, saya malah memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain.

Bercerita. Tetap mediumnya audio visual. Tapi virtual. Virtual reality atau documenter reality. Teknologi-teknologi itulah yang saya juga lagi jelajahi. Atau video games. Games-games sekarang kan ceritanya bagus-bagus. Saya buka segala macam kemungkinan untuk bercerita.

Kalau bikin film panjang mungkin saya masih santai sih. Ada rencana tapi saya belum tahu kapan saya bikin film panjang pertama saya. Mungkin ada project series yang lagi sementara kita garap sekarang. Intinya berkarya sih.

Baca Juga: 5 Pesan dari Diskusi Film Dokumenter Sundance

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya