Perguruan Tinggi Harus Ciptakan Ruang Aman bagi Kesetaraan Gender

Perguruan tinggi harus sadar pentingnya kesetaraan gender

Makassar, IDN Times - Kesetaraan gender merupakan isu yang harus terus digulirkan, karena diskriminasi dan ketimpangan berdasar gender masih terjadi di berbagai aspek kehidupan.

Di banyak tempat, pendidikan anak perempuan masih dianggap tidak sama pentingnya dengan pendidikan anak laki-laki. Padahal, pendidikan sangat penting untuk pembangunan dan salah satu instrumen paling ampuh untuk memutus siklus dan rantai kemiskinan.

Belum lagi kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terus membayangi dunia pendidikan, termasuk di perguruan tinggi. Tidak sedikit dari mereka yang takut bersuara karena takut terhadap stigma di tengah masyarakat, terutama pada lingkungan yang masih menganut patron patriarki.

Pegiat Gender dan Pemerhati Perempuan, Andi Sri Wulandani, memandang perguruan tinggi atau kampus sudah seharusnya mampu menciptakan ruang berkeadilan bagi laki-laki dan perempuan. 

"Selebihnya adalah bagaimana memberikan ruang aman bagi perempuan dan juga laki-laki agar tidak terjadi lagi pelecehan seksual dan kekerasan seksual di ruang kampus. Bagaimana menciptakan ruang aman," kata Wulandani saat diwawancarai IDN Times di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (25/2/2022). 

1. Empat prinsip utama memastikan kesetaraan gender

Perguruan Tinggi Harus Ciptakan Ruang Aman bagi Kesetaraan Genderilustrasi kesetaraan gender (banyanmentalhealth.com)

Berbicara kesetaraan gender, kata Wulandani, tidak hanya berada pada aspek pendidikan. Ruang lingkupnya mencakup lingkungan sosial yang lebih besar.

Wulandani menyebutkan setidaknya ada empat prinsip utama untuk memastikan kesetaraan gender di suatu lingkungan. Keempat prinsip itu adalah akses, partisipasi, manfaat, dan mekanisme kontrol.

Pada prinsip akses misalnya, kampus harusnya menyediakan akses atau ruang bagi laki-laki, perempuan serta kelompok difabel yang sama besarnya. Hal ini tidak hanya berlaku bagi mahasiswa namun juga untuk tenaga pengajar.

Ketika menyinggung soal akses, salah satu yang paling sering disorot adalah akses sarana prasarana. Contoh paling dekatnya yang kerap dilupakan yaitu ketersediaan toilet yang umumnya digunakan oleh laki-laki dan perempuan.

Jika sebuah perguruan tinggi mempunyai prinsip keadilan, maka harusnya kampus menyediakan toilet khusus laki-laki, perempuan dan juga toilet yang bisa diakses penyandang difabel.

"Jadi misalnya di perguruan tinggi. Bagaimana peranan yang paling krusial sebenarnya adalah toilet atau kamar mandi. Biasanya ini kan disamakan toilet laki-laki dan toilet perempuan," kata Wulandani.

2. Diskriminasi gender dipengaruhi budaya patriarki

Perguruan Tinggi Harus Ciptakan Ruang Aman bagi Kesetaraan GenderIlustrasi kesetaraan gender (Pexels.com/Tim Mossholder)

Sebenarnya, ada banyak faktor yang menyebabkan masih terjadinya diskriminasi gender di perguruan tinggi, menurut Wulandani. Ia menyebutkan beberapa di antaranya.

Pertama, kesadaran yang masih minim karena faktor budaya. Faktor budaya patriarki yang kerap bias gender masuk ke ruang-ruang kampus tanpa bisa dibendung.

Kedua, masih minimnya kesadaran hukum. Padahal sudah banyak sekali undang-undang tentang antidiskriminasi. Salah satunya konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau Convention on the Elimination Againts Women (CEDAW).

CEDAW sendiri adalah sebuah perjanjian internasional yang ditetapkan pada tahun 1979 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

"Tidak ada juga input yang mengikat. Tidak ada regulasi yang betul-betul berlaku misalnya yang berlaku di konteks lokal masing-masing mungkin perlu lebih tajam lagi," kata Wulandani.

3. Kekerasan seksual menghantui perempuan di kampus

Perguruan Tinggi Harus Ciptakan Ruang Aman bagi Kesetaraan GenderIlustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Selain masalah diskriminasi gender, masalah kekerasan seksual juga kerap menghantui perempuan di kampus. Wulandani menekankan bahwa kekerasan seksual tidak memandang latar belakang.

Setali tiga uang dengan diskriminasi gender, kekerasan seksual juga dipengaruhi faktor minimnya kesadaran dan edukasi mengenai keadilan gender. Cara memandang perempuan cenderung masih bias.

"Jadi dipengaruhi faktor kultur yang masih menormalisasi adanya pelecehan seksual. Ada namanya red culture. Perkosaan atau pelecehan dianggap sebuah kemalangan biasa. Ketika mendengar kemalangan itu, itu [dianggap] biasa," katanya.

Faktor lainnya, tidak adanya pengamanan di seperti shelter atau ruang aman bagi korban kekerasan seksual di kampus. Korban tidak tahu harus mengadu ke mana yang berujung pada pelaku yang bisa bebas berkeliaran.

Relasi kuasa yang masih timpang lagi-lagi jadi pemicu. Pelaku kekerasan seksual umumnya adalah mereka yang memiliki jabatan atau punya kedudukan lebih tinggi dari korban. 

"Aturan hukum yang lemah. Tidak adanya penegakan hukum yang jelas di perguruan tinggi memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku sehingga ketika terjadi, pelakunya itu cenderung berulang-ulang," katanya.

Baca Juga: Satpam UNM Makassar Intip dan Rekam Mahasiswi di Kamar Mandi

4. Kampus harus punya aturan internal

Perguruan Tinggi Harus Ciptakan Ruang Aman bagi Kesetaraan GenderIlustrasi Perguruan Tinggi (unplash.com/Vasily Koloda)

Untuk meningkatkan kesetaraan gender, kata Wulandani, perguruan tinggi harus punya kesadaran hukum mengingat negara menjamin hidup semua warga negara. Artinya, tidak ada diskriminasi untuk mendapatkan akses pendidikan.

Kemudian, perguruan tinggi harus mengimplementasikan aturan terkait bagaimana partisipasi yang adil serta akses yang setara untuk laki-laki dan perempuan. Implementasinya juga masih harus dimonitor dan dievaluasi terus-menerus.

"Jadi lebih kepada kebijakan internal perguruan tinggi dan dikembalikan lagi sebenarnya siapa rektor atau pemimpin di universitas itu. Karena kan ada namanya peraturan rektor. Kampus itu ibaratnya miniatur, sama seperti kota atau wilayah," jelasnya.

Begitu pula untuk mencegah kasus kekerasan seksual di kampus. Menurut Wulandani, perguruan tinggi bisa saja membuat peraturan rektor yang bisa menguatkan pencegahan kekerasan seksual.

Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dianggap sudah baik. Namun menurutnya, akan lebih baik jika ada peraturan internal di dalam lingkup perguruan tinggi itu sendiri.

"Itu terdiri dari banyak elemen. Meskipun itu pro dan kontra, kenapa tidak berani membuat peraturan rektor. Karena kalau peraturan rektor itu merupakan peraturan internal. Kalau Permendikbud itu aturan nasional. Jadi lebih detail aturannya," katanya.

Baca Juga: Seorang Dosen Fakultas Hukum Unsrat Manado Diduga Cabuli Mahasiswi

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya