Literasi Kebencanaan Rendah, Akar Masalah Penanganan Bencana Alam

Pemerintah dianggap cenderung tiba masa tiba akal

Makassar, IDN Times -  Di penghujung tahun 2020, sejumlah daerah di Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan, mengalami cuaca ekstrem. BMKG sudah memprediksi sejak jauh hari potensi bencana seperti angin kencang, longsor, dan banjir.

Namun yang terlihat, pemerintah seperti tidak punya upaya pencegahan yang memadai. Sehingga penanganan bencana sering kali terkesan serampangan. Umumnya, terlihat ada tindakan saat sudah terjadi bencana dan telah mengorbankan masyarakat.

Ketua Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Adi Maulana, menilai akar permasalahan utama dari hal tersebut adalah rendahnya literasi kebencanaan. 

"Literasi kebencanaan rendah karena aspek kebencanaan itu tidak dijadikan sebagai salah satu parameter utama di dalam pembangunan," kata Adi kepada IDN Times, Sabtu (19/12/2020).

Baca Juga: 2.841 Bencana Alam Landa Indonesia Selama 2020, 368 Meninggal Dunia

1. Literasi kebencanaan rendah berujung pada mental pasrah

Literasi Kebencanaan Rendah, Akar Masalah Penanganan Bencana AlamIlustrasi Daerah Rawan Longsor (IDN Times/Sukma Shakti)

Rendahnya literasi kebencanaan, Adi menerangkan, menjadi kontradiksi. Sebab posisi Indonesia yang secara geologi terletak di pertemuan tiga lempeng dan di garis Khatulistiwa, membuat negara ini rentan terkena bencana alam.

Dengan berkaca pada kondisi itu, konsep pembangunan sejak dulu seharusnya memang menjadikan aspek kebencanaan sebagai salah satu parameter utama. 

"Itu bedanya kita dengan Jepang, kemudian dengan negara-negara yang memang secara natural menjadi negara yang sangat rentan terhadap bencana alam," jelasnya.

Adi mengatakan literasi kebencanaan rendah karena budaya masyarakat yang cenderung permisif terhadap sesuatu. Maksudnya, tidak ada persiapan untuk menghadapi bencana alam yang seperti kata pepatah 'sedia payung sebelum hujan'. Jika terjadi, maka terjadilah.
 
"Mental pasrah seperti itu yang mengatakan bahwa bencana alam adalah takdir yang kita harus menerima, itu sebenarnya secara tidak langsung juga mempengaruhi penanganan atau juga pengelolaan kebencanaan yang ada di Indonesia," kata Adi.

2. Literasi kebencanaan harus ditanamkan sejak dini

Literasi Kebencanaan Rendah, Akar Masalah Penanganan Bencana AlamIlustrasi simulasi bencana. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Rendahnya literasi kebencanaan ini, kata Adi, memang masih menjadi 'PR' besar. Makanya salah satu program yang paling utama beberapa ahli kebencanaan, terutama Pusat Studi Kebencanaan Unhas adalah bagaimana meningkatkan literasi kebencanaan. 

Hal inilah yang coba diupayakan di mana anak-anak SD sudah diperkenalkan mengenai kondisi negaranya. Misalnya, mereka diajarkan bahwa negara tempat mereka hidup memang subur tapi di saat yang sama juga merupakan negara yang rentang terhadap bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung api dan sebagainya.  

"Banyak yang tidak tahu 60 persen wilayah Indonesia adalah wilayah dengan tingkat kerentanan sangat tinggi. Artinya, 140 juta orang tercancam di situ," katanya.

Kesadaran pemerintah baru muncul belakangan saat terjadi tsunami Aceh 2004 lalu. Pasalnya, peristiwa itu membuat pemerintah menerbitkan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sebelum tsunami Aceh, Indonesia belum punya BNPB. 

"Seandainya mungkin tidak ada tsunami Aceh, sampai sekarang kita belum punya BNPB. Jadi, itu gambaran betapa sebenarnya literasi kita dalam konteks kebencanaan itu sangat rendah," katanya.

3. Dibutuhkan kerja sama semua stakeholder

Literasi Kebencanaan Rendah, Akar Masalah Penanganan Bencana AlamPosko siaga bencana Brimob Polda Sulsel / Istimewa

Adi mengakui Pusat Studi Kebencanaan Unhas lebih menekankan aspek literasi kebencanaan di sektor formil. Karena itu banyak dibangun kerja sama dengan pemerintah daerah untuk membuat kurikulum tentang kebencanaan di sekolah mulai dari SD, SMP.

"Alhamdulillah untuk SMA, kita sudah punya pergub. Pergub kemarin sudah ditandatangan dan ke depannya nanti pusat studi kebencanaan akan bekerja sama dengan ahli-ahli pendidikan untuk membuat semacam kurikulum kebencanaan," kata Adi.

Dia mencontohkan bahwa di Jepang anak-anak sudah dikenalkan bagaimana kondisi daerahnya. Jika terjadi bencana, mereka sudah tahu apa yang harus mereka lakukan seperti bagaimana caranya evakuasi dan sebagainya. Hal inilah yang masih kurang di Indonesia. 

"Belum lagi kita berbicara tentang tata ruang. Artinya, daerah yang notabene harusnya tidak boleh dibangun karena misalnya merupakan tempat air ketika terjadi banjir tetapi karena literasi kebencanaan pemerintah kurang sehingga mereka main keluarkan izin saja," katanya.

Adi menyebut hal-hal itulah yang ujungnya bermuara ke penanganan kebencanaan yang sporadis dan tidak sistematis. Ujung-ujungnya cenderung jika terjadi bencana jadi tiba masa tiba akal. 

"Jadi ke depannya memang dibutuhkan kerja sama semua stakeholder karena bencana itu tidak akan mengenal ras, tidak mengenal geografis, dan tidak mengenal batas wilayah, sehingga memang semua harus kerja sama," katanya. 

Baca Juga: Menjelang Puncak Musim Hujan, BNPB: Waspadai Bencana Hidrometeorologi

Topik:

  • Aan Pranata
  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya