Kekerasan Seksual: dari Relasi Kuasa hingga Budaya Patriarki

Perempuan dan anak jadi kelompok paling rentan

Makassar, IDN Times - Kekerasan seksual masih terus terjadi. Pelakunya kadang orang asing namun tak jarang pula orang dekat. Perempuan menjadi kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan seksual, meskipun laki-laki juga bisa menjadi korban. 

Belakangan ini, kasus kekerasan seksual kian banyak yang mencuat ke permukaan, tak terkecuali di Sulawesi Selatan (Sulsel). Masih teringat jelas kasus dugaan pemerkosaan tiga anak di Kabupaten Luwu Timur yang terjadi 2019 dan sempat ditutup. 

Kasus tersebut kembali viral di media sosial dan membuat publik mendesak pihak kepolisian mengusutnya sampai tuntas. Kemarahan publik itu juga dipicu karena pelaku diduga merupakan ayah kandung ketiga korban.

Lalu, ada juga kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi di sebuah pesantren di Kabupaten Pinrang. Tersangka yang merupakan pimpinan pondok pesantren diduga melecehkan santriwatinya dengan mencium jidat, pipi bahkan bibir.

Kasus kekerasan seksual ini kontras dengan perkembangan teknologi informasi. Seharusnya, perkembangan teknologi informasi membuat masyarakat semakin melek karena banyaknya informasi mengenai betapa bejatnya pelaku kekerasan seksual.

Lalu, apa yang sebenarnya mengakibatkan kekerasan seksual masih terus terjadi?

Baca Juga: Penanganan Kasus Anak di Luwu Timur Salah dari Awal

1. Kasus kekerasan seksual terus meningkat

Kekerasan Seksual: dari Relasi Kuasa hingga Budaya PatriarkiKepala UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sulsel, Meisy Papayungan. IDN Times/Asrhawi Muin

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), yang diakses pada Minggu (14/11/2021), hingga saat ini kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sulsel mencapai 1.038 kasus. Sebanyak 228 korban laki-laki dan 842 korban perempuan.

Kota Makassar menyumbang kasus terbanyak dengan 624 kasus. Angka ini sangat kontras dengan angka kasus di daerah lain. Di urutan kedua saja, yaitu Kabupaten Gowa, hanya ada 68 kasus.

Berdasarkan jenis kekerasannya, kekerasan fisik menempati urutan pertama yaitu 660 kasus. Kekerasan seksual berada di urutan kedua yaitu 272 kasus dan menyusul di urutan ketiga ada kekerasan psikis berjumlah 233 kasus.

Kemudian, penelantaran dan lainnya masing-masing sebanyak 49 kasus. Selanjutnya ada trafficking sebanyak 17 kasus dan 1 kasus eksploitasi.

Kepala UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sulsel, Meisy Papayungan mengatakan, laporan tentang kekerasan seksual memang cenderung naik. Setidaknya ada tiga faktor yang membuat laporan kekerasan seksual meningkat. 

Pertama, kasus yang memang meningkat. Kedua, akses pelaporan yang lebih banyak tersedia. Ketiga, keberanian masyarakat untuk melapor juga meningkat. Menurut Meisy, orang-orang dulu, utamanya di daerah pedesaan, umumnya takut melapor ketika mengalami kekerasan seksual. 

Dengan penyebaran informasi yang kian berkembang dan didukung tersedianya tempat pelaporan, membuat korban-korban mulai memberanikan diri untuk melaporkan kejadian yang dialaminya.

"Mungkin ketiga poin itu menjadi faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kasus yang terlaporkan," kata Meisy.  

Perempuan dan anak merupakan kelompok paling rentan mengalami kekerasan seksual. Meski tak menutup kemungkinan laki-laki juga bisa menjadi korban. Umumnya, korban laki-laki adalah anak. Meisy mengaku pihaknya sejauh ini belum pernah menerima laporan kekerasan seksual terhadap laki-laki dewasa.

"Kasus juga yang terlaporkan ke laki-laki walaupun tidak masuk ke lembaga seperti kami, ada juga kok kasus sodomi anak, sepanjang dia anak. Memang belum ada laporan lelaki dewasa, pelecehan seksual atau kekerasan seksual. Jadi bukan cuma perempuan," katanya.

Hal itu menunjukkan bahwa kekerasan seksual bisa menyerang siapa saja. Meisy mengatakan, kekerasan seksual umumnya terjadi karena adanya relasi kuasa. Korban yang dominan perempuan dan anak menunjukkan bahwa kelompok ini kerap dipandang sebagai kelompok lemah.

"Karena biasanya orang yang pelakunya adalah orang yang dikenal, orang yang punya hubungan. Jarang kasus orang yang tidak kenal. Hampir 90 persen di antaranya adalah orang yang dikenal oleh korban," kata Meisy.

2. Pencegahan dimulai dari rumah

Kekerasan Seksual: dari Relasi Kuasa hingga Budaya PatriarkiIlustrasi pelecehan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

P2TP2A selama ini sudah cukup konsen memberikan layanan pendampingan kepada korban kekerasan seksual. Biasanya korban datang sendiri melapor, ada juga yang dilaporkan oleh kerabat maupun lembaga, hingga diminta langsung oleh pihak kepolisian untuk mendampingi korban. 

"Ada juga yang sudah dari rumah sakit pemeriksaan di kepolisian. Itu biasanya kalau setelah kejadian langsung dilaporkan. Ada yang telepon melalui hotline. Ada yang jejaring rujukan dari daerah, rujukan organisasi, LSM lingkup provinsi. Biasanya tergantung dari kasusnya," kata Meisy. 

P2TP2A siap memberikan pendampingan, mulai dari pendampingan psikologis hingga pendampingan saat proses hukum jika memang dibutuhkan. Petugas akan melakukan asesmen kebutuhan secara bertahap mulai dari laporan, BAP hingga menghadirkan saksi-saksi. 

"Ini semua kan dikuatkan. Untuk mengingat saja, itu perlu sekali. Kemudian kalau butuh layanan psikologi lanjut. Itu akan dilakukan asesmen psikologis dan pendampingan psikologis oleh psikolog," katanya.

Meisy mengakui hal-hal yang dilakukan oleh P2TP2A memang lebih banyak ke penanganan. Itu karena P2TP2A lebih mirip klinik yang siap melayani orang sakit. 

Pencegahan kekerasan seksual memang masih sulit karena butuh edukasi yang lebih banyak lagi ke masyarakat. Pemerintah harus lebih giat mengedukasi masyarakat perihal bahaya kekerasan seksual. Pemerintah harus turun langsung bersosialisasi ke masyarakat.

Namun menurut Meisy, pencegahan kekerasan seksual sebenarnya bisa dimulai dari rumah. Hal ini mengingat pelaku kekerasan seksual didominasi orang dekat. Apalagi jika korbannya adalah anak.

Pemerintah memang wajib melindungi anak apalagi ada UU Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak. Namun pemerintah hanya struktur terluar dari bagian perlindungan anak. 

Dia mengibaratkan sistem perlindungan anak seperti lapisan kulit bawang di mana anak berada di inti bawang. Setiap lapisan berfungsi melindungi anak. Lapisan terdekat dengan inti diibaratkan sebagai orang tua. Lalu ada keluarga besar, lingkungan dan lapisan terluar adalah pemerintah. 

"Yang paling bertanggung jawab jika terjadi apa-apa dengan anak adalah keluarga," katanya.

3. Dorong pengesahan RUU TPKS

Kekerasan Seksual: dari Relasi Kuasa hingga Budaya PatriarkiKetua Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Makassar, Rosmiati Sain. IDN Times/Istimewa

Kasus kekerasan seksual di ranah pidana kerap berakhir menguap begitu saja. Hal ini membuat kesan bahwa kasus kekerasan seksual kerap dipandang remeh. Ini tentu menjadi kendala tersendiri dalam penanganan kasus kekerasan seksual.

Ketua Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Makassar, Rosmiati Sain, mengakui hal itu. Salah satu kendala terberat saat proses hukum kasus kekerasan seksual ketika harus menghadirkan saksi. 

"Kalau kita bicara proses hukum selalu ada saksi yang melihat secara langsung, bukti. Kalau perkosaan, bisa jadi ada visum et repertum. Tapi kalau pelecehan seksual raba-raba, sulit, apalagi kalau orang dewasa korbannya," katanya.

Padahal, kata dia, saksi tak melulu harus orang yang melihat, mengetahui atau mendengarkan secara langsung. Saksi juga bisa orang yang melihat rentetan kejadian sebelum dan sesudah.

Misalnya dalam kasus perkosaan, seseorang melihat laki-laki masuk ke rumah perempuan tapi seseorang itu tidak melihat apa yang terjadi di dalam. Namun seseorang ini melihat laki-laki yang tadinya masuk kini sudah keluar dari rumah dan dia juga melihat perempuan itu menangis.

"Orang yang melihat ini bisa menjadi saksi. Tapi kadang diabaikan. Jadi intinya ketika kasus kekerasaan seksual, perempuan dewasa didorong, maka bukti dan saksi juga harus dilengkapi dan yang pasti aparat penegak hukum harus punya perspektif korban di dalam menangani kasus" kata Ros.

Tidak adanya payung hukum yang kuat untuk kasus kekerasan seksual, membuat tak banyak kasus yang akhirnya tidak berlanjut ke proses hukum. Kalaupun ada, itu sangat jarang.

"Kalau misalnya sampai ke proses hukum, biasanya banyak mandek di proses kepolisian atau tingkat pertama. Kalau tingkat pertama sudah lepas, masuk ke proses kejaksaan, lega. Artinya kita menunggu persidangan. Tetapi ini sangat jarang sampai ke sana," kata Ros.

Karena itu, LBH APIK termasuk pihak yang getol mendorong pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Karena hanya RUU PKS yang dianggap bisa menjadi payung hukum untuk korban kekerasan seksual.

"Apalagi kita yang dampingi juga bisa menjadikan itu sebagai regulasi yang betul-betul bisa melindungi korban. Karena bukan hanya penjeraan terhadap pelaku tapi juga ada pemulihan yang bisa dilakukan terhadap korban secara komprehensif," kata Ros.

4. Budaya partiarki yang mengakar kuat

Kekerasan Seksual: dari Relasi Kuasa hingga Budaya PatriarkiDosen Sosiologi Universitas Hasanuddin, Musrayani Usman. IDN Times/Asrhawi Muin

Dosen Sosiologi Universitas Hasanuddin, Musrayani Usman, memandang maraknya kekerasan seksual tak lepas dari budaya patriarki yang masih mendarah daging. Dalam budaya patriarki, perempuan menempati posisi lebih rendah dibandingkan laki-laki.

"Yang menjadi penghalang adalah masih kuatnya budaya patriarki. Apapun yang dilakukan oleh laki-laki itu yang jadi persoalan bahwa dia memiliki sifat superior. Menindas perempuan adalah sesuatu hal yang biasa," kata Yani, sapaannya.

Dia menilai bahwa selama ini pemerintah telah melaksanakan sedemikian rupa mulai dari pencegahan hingga penanganan. Namun perilaku kekerasan seksual masih sulit dihilangkan karena seolah sudah dianggap menjadi kebiasaan.

Walaupun ada regulasi tentang kekerasan seksual tapi jika tidak ketat untuk menjatuhkan pelaku, maka itu sama saja. Apalagi jika tidak ada payung hukum kuat untuk menjerat pelaku kekerasan seksual. Ditambah lagi dengan mengakarnya budaya patriarki.

"Kita di sini khususnya di daerah Makassar bahkan mungkin ada daerah tertentu ketika mengerasi istri itu dianggap hal biasa. Padahal itu kan salah satunya konsep kekerasan seksual juga," kata Yani.

Selama ini, masyarakat cenderung memahami kekerasan seksual hanya pemerkosaan saja. Namun ada banyak sekali jenis kekerasan seksual. Disiuli atau cat calling, kata Yani, juga masuk kategori kekerasan seksual. 

Bahkan yang paling riskan adalah ketika kekerasan seksual itu terjadi di ranah rumah tangga. Misalnya ketika suami memaksa istri untuk memasang alat kontrasepsi atau ketika suami mengajak istri yang sedang menstruasi untuk berhubungan intim. 

"Itu termasuk kekerasan seksual. Jadi banyak sekali jenisnya," imbuh Yai.

Senada dengan pernyataan Meisy, langkah pencegahan kekerasan seksual seharusnya dimulai dari keluarga. Ketika anak sudah beranjak remaja, mereka harusnya diberikan pembelajaran dini tentang seksualitas tapi nyatanya tidak begitu. 

"Kekerasan seksual juga bentuknya begitu karena si korban tidak pernah diajarkan edukasi tentang itu. Makanya biasa ada korban yang diam saja. Apalagi kalau yang melakukan itu keluarga," kata Yani.

Menurut Yani, RUU PKS juga harus dipertegas dan segera disahkan supaya menjadi payung hukum bagi korban. Namun RUU PKS tak akan berguna jika tidak ada edukasi ke masyarakat dan tidak ada pencegahan dari rumah.

"Kembali lagi ke kultur. Seandainya kita betul-betul paham aturan yang dibuat pemerintah mengupayakan tentang hal itu. Mungkin bisa diminimalkan di pencegahan karena banyak keluarga yang tidak paham tentang hal itu," kata Yani.

Baca Juga: Empat Kasus Kekerasan Seksual yang Disorot Sepanjang 2021

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya