Cerita dari Kampung Pemulung Makassar: Solidaritas di Atas Derita

Pemerintah nyaris tidak pernah hadir membawa bantuan

Makassar, IDN Times - Matahari baru saja terbit saat Halima Daeng Tene, 54 tahun, membopong sebuah karung besar kosong keluar dari rumah semi permanen. Ya, sepagi itu, ibu delapan anak tersebut harus mulai berjuang mencari nafkah di jalanan, di antara gedung-gedung bertingkat di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Halima bekerja sebagai pemulung barang bekas seperti gelas dan botol plastik.

Halima berasal dari Kabupaten Jeneponto di selatan Sulsel. Sejak 1991, dia bersama keluarga memutuskan pindah ke Makassar berharap agar penghidupan jauh lebih baik. Belakangan, beban Halima semakin bertambah usai sang suami meninggal dunia. Karena itu, dia lebih giat bekerja dari pagi buta hingga sekitar pukul 10 malam. Jeda istirahat hanya pada saat waktu salat tiba. Lokasi memulung sengaja tidak jauh-jauh dari rumah, agar dia bisa pulang untuk membersihkan badan sebelum beribadah.

"Di belakang Carrefour (Panakkukang). Biasanya saya ambil sampah botol plastik dan botol kaca, daun dos. Yang penting bisa jadi uang. Biasanya dapat 3 kantong hitam besar untuk yang botol," kata Halima saat berbincang dengan IDN Times, Minggu (13/6/2021).

Penghasilan Halima per hari sangat kurang, hanya berkisar Rp50 ribuan. Namun tidak ada pilihan lain baginya. Sebab perut dia dan anak-anaknya harus terisi setiap hari. Opsi pulang kampung pun dia buang jauh-jauh.

"Dulu saya tinggal di Desa Bangkala, Jeneponto. Karena tidak ada lagi keluarga di sana, jadinya pindah ke sini. Tinggal di sini dan mencari nafkah juga di sini," katanya. Saat ini, Halima tinggal di Kampung Pemulung Makassar. Daerah yang berada tepat di jantung kawasan niaga kelas satu Kota Daeng.

Kampung Pemulung telah ada sejak 20 tahun lalu

Lokasi Kampung Pemulung berada di Jalan Mirah Seruni, RT 5 RW 3, Kelurahan Pandang, Kecamatan Panakkukang. Letaknya bahkan berbatasan langsung dengan salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Makassar, yaitu Carrefour yang juga bersebelahan dengan Mall Panakkukang.

Kampung Pemulung dihuni sekitar 90 kepala keluarga (KK). Warga di sana tidak hanya berasal dari berbagai daerah di Sulsel, tapi juga dari luar Sulawesi. Antara lain perantau dari Pulau Jawa, Papua, bahkan dari Malaysia.

Nuraeni Daeng Sunggu, Ketua RT setempat, menuturkan mereka yang tinggal di sana memiliki persamaan nasib. Sama-sama perantau yang tidak punya tempat tinggal lagi sehingga semua berkumpul dan membangun identitas baru sebagai warga Kampung Pemulung.

"Di sini warganya kerjanya memang begitu, rata-rata pemulung. Jadi makanya disebut Kampung Pemulung," kata Nuraeni yang ditemui di rumahnya," Minggu (13/6/2021).

Warga diberi izin tinggal oleh pemilik tanah

Nuraeni mengaku tak tahu pasti kapan dan bagaimana Kampung Pemulung itu ada. Yang jelas, kata dia, kampung itu sudah ada jauh sebelum dia pindah ke sana sekitar 20 tahun lalu. Sebelumnya dia tinggal di Jalan Landak Makassar.

Kata Nuraeni, tanah yang ditempati warga Kampung Pemulung milik seseorang yang bernama Bau Sawah. Si pemilik tanah memercayakan tanah itu untuk ditempati oleh mereka.

"Jadi semua yang memang dari luar yang betul-betul membutuhkan kita tampung di sini. Alhamdulillah kita bersyukur ada dikasih tempat begini sama yang punya tanah," kata Nuraeni.

Hingga kini, warga tetap menempati rumah-rumah semi permanen di atas tanah tersebut. Mereka bekerja seperti biasa, sebagaimana warga pada umumnya. Yang membedakan hanyalah jenis pekerjaan mereka yang rata-rata pemulung. 

"Mayoritas memang pemulung. Kalau pun ada pekerjaan lain itu buruh bangunan, penarik bentor. Tapi setelah itu balik lagi memulung. Kalau dibilang pekerjaan lain, ya, tidak ada," kata Nuraeni.

Cerita dari Kampung Pemulung Makassar: Solidaritas di Atas DeritaPotret Kampung Pemulung di Jalan Mirah Seruni Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (13/6/2021). IDN Times/Asrhawi Muin

Warga Kampung Pemulung sulit mengajukan administrasi kependudukan

Nuraeni mengatakan warga di sana hidup rukun dengan semagat bergotong royong meskipun dalam kondisi serba kekurangan. Jika ada yang menggelar hajatan, maka seluruh warga kampung dengan senang hati turut membantu.

Permasalahan struktural paling pelik di kampung ini adalah, tidak semua warga memiliki Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dari 90 keluarga yang jumlahnya sekitar 1.000 orang, hanya 28 di antaranya yang mempunyai KK. 

Nuraeni sempat beberapa kali mengajukan perihal KK dan KTP untuk warganya. Rupanya, warga yang ingin mendapatkan KK dan KTP harus mempunyai surat keterangan domisili. Sayangnya, hal itu nyaris tidak mungkin lagi sebab mereka sebagian besar adalah perantau. Mau pulang juga tidak ada biaya.

"Taruhlah dia dari Malaysia sebelumnya, kan otomatis dia dibawa sama keluarganya. Kalau seumpama keluarganya sudah meninggal, masa dia mau kembali ke Malaysia lagi ambil keterangan berdomisili. Itu kan sudah tidak mungkin," jelas Nuraeni.

Warga tidak pernah dapat bantuan karena ketiadaan dokumen kependudukan

Persoalan dokumen kepependudukan berdampak pada hak warga Kampung Pemulung. Mereka nyaris tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Selama pandemik COVID-19 saja, kata Nuraeni, mereka sama sekali tidak pernah mendapatkan bantuan dalam bentuk apapun.

"Kurang lebih dari 2 tahun COVID-19, tidak pernah ada dari pemerintah datang ke RT 5 RW 3. Tidak pernah juga ada pemerintah datang yang semprot disinfektan," katanya.

Masker saja, kata Nuraeni, mereka kadang pakai kadang tidak. Jika ada pihak yang menyumbangkan masker mereka pasti akan memakainya. Jika tidak, mereka terpaksa tidak bermasker saat beraktivitas karena tidak punya uang untuk membelinya.

Anak-anak di sana pun, menurut Nuraeni, juga tak pernah mendapatkan imunisasi dan tak ada bantuan pemenuhan gizi. Demikian halnya dengan pendidikan, tak semua anak bisa bersekolah. Selain karena membutuhkan biaya, juga karena terkendala administrasi, tak ada KK. Jadi mereka yang bersekolah hanyalah mereka yang beruntung orangtuanya memiliki KK dan KTP. 

"Jadi, saya mohon sama pihak yang di atas (pemerintah) supaya warga di sini memang betul-betul kita butuh diperhatikan. Tolong turun ke RT 5 RW 3 Kelurahan Pandang ini supaya kita lihat langsung warganya bagaimana," kata Nuraeni.

Cerita dari Kampung Pemulung Makassar: Solidaritas di Atas DeritaPotret Kampung Pemulung di Jalan Mirah Seruni Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (13/6/2021). IDN Times/Asrhawi Muin

Dinsos akui data warga miskin di Makassar kacau balau

Menjawab soal ketiadaan bantuan yang diterima warga Kampung Pemulung, Plt Kepala Dinas Sosial Kota Makassar, Asvira Anwar Kuba, mengakui memang ada permasalahan pada pendataan penerima bantuan. Sementara Dinsos memprioritaskan penyaluran bantuan untuk warga yang sudah terdata.

Masalah data ini sudah menjadi persoalan klasik dalam penyaluran bantuan untuk warga kurang mampu. Hal ini diakui juga oleh Asvira. "Jadi ada memang pendataan yang kita akan perbaiki nanti. Tapi menunggu pengisian struktur di kelurahan karena basis data ini nanti kita mulai dari kelurahan yang namanya muskel," kata Asvira kepada IDN Times, Selasa (22/6/2021).

Setelah pengisian struktur pemerintahan di tingkat kelurahan, Asvira mengaku pihaknya akan segera mengadakan pendataan ulang tentang data terpadu kesejahteraan masyarakat. Dia pun meminta warga untuk bersabar menunggu.

"Inilah yang kami mau benahi, yang belum terjangkau, yang terlewat ini yang akan kami perbaiki ke depan. Mudah-mudahan itu bisa kita laksanakan nanti dalam waktu yang tidak terlalu lama," kata Asvira.

Disdukcapil berjanji akan bantu fasilitasi pembuatan dokumen kependudukan

Sementara itu, persoalan ketiadaan kartu identitas seperti KK dan E-KTP sebagian besar warga Kampung Pemulung, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Makassar, Aryati Puspasari Abady, menyebut pihaknya akan segera mengecek kampung tersebut. 

Disdukcapil harus mengetahui dulu apakah orang-orang yang tinggal di kampung tersebut tidak tercatat di daerah lain. Jika mereka sudah pernah tercatat di daerah lain maka harus dibuktikan dengan KTP lama, setelah itu akan dibantu untuk pindah ke Makassar. 

"Jadi kalau kasusnya seperti itu maka kalau misalnya memang dia tidak bisa mengurus langsung ke daerah asal, kami fasilitasi. Bisa dia buat permohonan untuk difasilitasi oleh Dukcapil Makassar nanti kami yang berhubungan dengan Dukcapil asalnya untuk menerbitkan pindahnya," kata Puspa.

Namun jika warga yang bersangkutan sudah benar-benar tidak memiliki kartu identitas, maka Disdukcapil akan membuatkan data baru. Yang jelas, kata Puspa, harus ada pernyataan dari RT/RW yang bisa menjadi pegangan bahwa warga yang bersangkutan memang tinggal di sana. 

"Jangan sampai dia hanya tinggal di rumah-rumah yang dibangun di tanah bukan miliknya. Karena harus juga ada alamat domisilinya. Kalau dia tinggal di sana terus itu berbahaya. Penduduk rentan namanya itu. Nanti kita akan akomodir karena memang wajib memang kita data," kata Puspa.

Baca Juga: Warung Sedekah Makassar Buka Puasa Bersama Warga Kampung Pemulung

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya