BPJS Kesehatan Makassar Mengganjal Hak Anak Difabel

Anak-anak difabel tidak lagi mendapat layanan terapi optimal

Makassar, IDN Times – Hayati (bukan nama sebenarnya), tak kuasa menahan air matanya tatkala bertutur mengenai kelanjutan terapi anaknya usai tidak berlanjutnya kontrak kerja sama antara BPJS Kesehatan dengan Klinik Cerebellum Makassar. Pandangannya menerawang sembari sesekali terisak.

BPJS Kehatan memang tidak memperpanjang kontrak kerja sama dengan tiga fasilitas kesehatan sejak Desember 2022. Ketiga fasilitas itu termasuk Klinik Cerebellum, kemudian Klinik Rafi, dan Rumah Sakit Grestelina.

Hayati seolah mewakili kegundahan hati orang tua lainnya, khususnya orang tua yang memiliki anak penyandang difabel dan menjadi pasien di klinik tersebut. Bagaimana tidak, setelah tidak dilanjutkannya kontrak kerja sama tersebut, dia harus rela dialihkan ke rumah sakit yang bisa melayani pasien BPJS Kesehatan.

Menjalani terapi di klinik tersebut melalui jalur umum jelas memberatkan bagi Hayati. Biaya terapi jauh lebih mahal dibandingkan dengan iuran BPJS yang dia bayar setiap bulannya.

Hayati  bercerita bahwa perawatan anaknya dialihkan ke fasilitas kesehatan milik pemerintah, RSKD Dadi Makassar. Namun peralihan itu rupanya jauh dari harapan. Jika di klinik dia selalu dilayani dengan cepat maka hal itu tidak didapatkannya di rumah sakit.

“Saya harus menunggu antrian begitu panjang, untuk konsultasi saja di rumah sakit, saya menunggu dua minggu. Kalau di klinik, sama perlakuannya antara pasien BPJS, asuransi maupun umum,” kata Hayati kepada IDN Times.

Fasilitas di rumah sakit tidak lengkap

BPJS Kesehatan Makassar Mengganjal Hak Anak DifabelIlustrasi disabilitas (ANTARA FOTO)

Hayati merasa kecewa dengan tidak dilanjutkannya kontrak kerja sama Klinik Cerebellum dengan BPJS Kesehatan Makassar, sebab dinilai tidak memikirkan nasib anak-anak difabel. Menurutnya, anak difabel lebih susah beradaptasi di tempat yang baru.

Dia lantas menunjukkan beberapa foto kondisi ruangan tempat anaknya terapi di RS Dadi. Terlihat sebuah ruangan luas bercat putih dengan sedikit perlengkapan. Hanya ada beberapa fasilitas bermain anak namun tak dilengkapi dengan matras di bawahnya.

Menurut Hayati, ini bisa membahayakan sang anak yang baru berusia 3 tahun itu. Hal ini mengingat bahwa anak difabel hiperaktif dibanding anak lainnya.

“Ruangannya tidak ada keamanan. Saya takut anak saya jatuh. Matrasnya kurang. Ini terbuat kayu. Jadi kalau anak saya jatuh, anak saya terbentur,” kata Hayati sambil menyeka air matanya.

Hayati tidak berharap banyak pada BPJS Kesehatan. Setidaknya jika BPJS tak bisa menyediakan fasilitas yang lebih baik maka dia meminta fasilitas yang disediakan sama dengan yang ada di Klinik Cerebellum.

Soal pelayanan, Hayati mengaku tak terlalu mempermasalahkannya. Menurutnya, pelayanan di rumah sakit juga cukup baik hanya saja kurang fasilitas khusus untuk anak difabel.

Dia pun maklum jika banyak orang tua yang enggan ketika anaknya dirujuk ke rumah sakit. Jumlah pasien di rumah sakit tentu lebih banyak dibandingkan dengan pasien di klinik. Karena itu, tidak ada pasien yang tumpang tindih di klinik.

“RS di mana saya dirujuk dia baru ada fasilitas okupasi terapi dan terapi wicara. Jadi mungkin belum ada kelengkapan tapi dipaksa untuk ada karena harus menerima limpahan pasien. Jadi berdampaknya ke pasien,” kata Hayati.

Terapis untuk anak difabel sangat kurang

BPJS Kesehatan Makassar Mengganjal Hak Anak DifabelInfografis seputar ragam difabel (IDN Times/Aditya Pratama)

Wahyuni (bukan nama sebenarnya), orang tua pasien lainnya, juga mengungkapkan keluhan yang sama. Sang anak dialihkan ke Rumah Sakit Siloam Makassar. Awalnya, anaknya yang berusia 3 tahun hendak dialihakan ke rumah sakit Hermina namun karena di sana sudah banyak pasien limpahan lain dari Cerebellum, akhirnya Wahyuni memilih Siloam.

Namun anak Wahyuni tak bisa langsung ke Siloam, dia harus dirujuk dulu ke rumah sakit tipe C. Akhirnya, Wahyuni pergi ke rumah sakit Hikmah untuk mendapatkan rujukan.

Di rumah sakit Hikmah, Wahyuni mengurus rujukan tersebut selama sepekan. Waktu yang terlalu lama bagi sang anak yang telah membutuhkan terapi terjadwal. Ketika masuk di Siloam, Wahyuni harus menerima kenyataan bahwa tidak ada antrean online untuk peserta BPJS.

“Harus datang manual karena Siloam ada aplikasi sebenarnya tapi khusus untuk umum, tidak bisa BPJS. Jadi, kita datang lagi mengantre sampai di sana ternyata saya menunggu dari jam 3 sore sampai jam setengah 8 malam baru bisa masuk,” kata Wahyuni.

Sementara di Klinik Cerebellum, Wahyuni bebas menentukan sendiri jam berapa dia akan datang. Dengan begitu, dia tak perlu menunggu berjam-jam untuk mengantarkan anaknya terapi.

Untuk terapis, dia menyebutnya sangat kurang sebab hanya ada masing-masing satu terapis okupasi terapi dan terapi wicara. Itu pun kadang mereka bekerja secara shift atau bergantian.

Pada pagi hari, kebanyakan pasien orang tua dibandingkan anak. Pernah suatu kali, anak Wahyuni sama sekali tidak mendapatkan bed padahal dia datang sejak pukul 10.00 WITA. Dia baru mendapat pelayanan setelah pukul 12.00 WITA. Waktu yang menurutnya lama sebab selama ini dia selalu dilayani dengan cepat saat di Klinik Cerebellum. Ditambah lagi dengan fasilitas yang tidak memadai.

“Bisa masuk terapi mau jam 12 dan itu bukan bed tapi cuma matras biasa. Kenapa kayak terlantar sekali, itu pun cuma satu terapis yang menjaga sementara ada 7 orang pasien. Kalau saya tidak bilang 'kenapa anakku tidak maju-maju', tidak mungkin saya dilayani,” kata Wahyuni.

Klinik Cerebellum sempat memberikan keringanan dengan menggratiskan biaya terapi selama sebulan. Namun setelah itu, baik Hayati maupun Wahyuni tampaknya harus pasrah sembari memutar otak atas langkah selanjutnya.

“Rencananya kulanjut dulu saja sampai selesai di rujukan faskesnya di Siloam, yang penting ada yang terapi anakku,” katanya.

Wahyuni pun berharap pihak BPJS Kesehatan bersedia menjalin kontrak kerja sama lagi dengan Klinik Cerebellum. Sebab bukan hanya dia, melainkan di luar sana banyak orang tua pasien, khususnya pasien anak difabel yang juga membutuhkan terapi dan perawatan di Klinik Cerebellum.

“Yang jelas kasih cepat ini prosesnya kerja sama lagi karena jujur ribet sekali dengan anakku. Andaikan dibilang banyak uang, bisa sewa orang bantu-bantu, ini tidak. Jadi mereka itu tidak mengerti bagaimana rasanya,” kata Wahyuni.

Klinik Cerebellum siap bekerja sama dengan BPJS

Di sisi lain, pihak Klinik Cerebellum juga berharap agar kerja sama dengan BPJS Kesehatan Makassar dapat dilanjutkan. Namun apa boleh buat, keputusan itu tetap berada di tangan BPJS Kesehatan.

“Kalau dari kami jelas kami masih mau lanjut untuk kerja sama. Tapi kan kerja sama harus dari kedua belah pihak dari dari BPJS sepertinya tidak melanjutkan dengan alasan kami belum melanjutkan kewajiban,” kata Manajer Klinik Cerebellum, dr Yasser Fananie.

Yasser mengakui ada banyak sekali permintaan dan harapan dari keluarga pasien difabel supaya kerja sama itu kembali diperpanjang. Namun klinik tak bisa berbuat banyak. Klinik hanya bisa memberikan perawatan dan terapi gratis selama bulan Januari.

Setelahnya, klinik hanya menurunkan harga dari biasanya, itu pun juga masih sulit dijangkau sebagian masyarakat. Saat ini, Klinik Cerebellum hanya melayani pasien umum dan asuransi dan tidak lagi melayani pasien BPJS Kesehatan sebagai buntut dari tidak diperpanjangnya kontrak itu.

“Kami keluarkan tarif untuk okupasi terapi dan terapi wicara, itu kami kasih harganya lebih murah dari biasanya karena kami mengerti bahwa niatnya membantu,” katanya.

Dalam sebulan, Klinik Cerebellum bisa menerima kunjungan hingga belasan ribu pasien. Kunjungan tertinggi sepanjang 2022 ada pada bulan Oktober di mana tercatat sekitar 18.200 kunjungan. Jumlah pasien itu sudah mencakup pasien umum, asuransi, dan BPJS Kesehatan. Namun sebanyak 90 persen memang merupakan peserta BPJS Kesehatan.

Yasser menuturkan bahwa seorang perempuan pernah datang ke Klinik Cerebellum agar anaknya bisa mendapatkan terapi okupasi dan terapi wicara seperti biasanya. Si ibu datang dengan menenteng kresek yang berisi pecahan uang Rp2.000 dan Rp.5.000 demi agar anaknya bisa menjalani terapi di sana.

“Ibu ini bilang itu uang tabungan anaknya tapi karena dia mau terapi anaknya maka dibawalah uang itu untuk terapinya. Itu membuat kami miris. Karena terapi ini memang tidak murah. Terapi ini harus beberapa kali datang bahkan bisa sampai tahunan,” kata Yasser.

Menurut Yasser, keinginan kuat perempuan tersebut lantaran selama ini Klinik Cerebellum memang telah berupaya memberikan pelayanan maksimal. Klinik ini juga didukung dengan SDM mumpuni dan cukup banyak agar pasien bisa dilayani dengan cepat.

Saat ini Klinik Cerebellum memiliki 10 orang terapis untuk okupasi terapi dan 5 orang untuk terapi wicara. Jumlah ini tergolong banyak sebab tidak mudah untuk menelurkan terapis mengingat pendidikannya yang sulit. Saat ini, pendidikan untuk okupasi terapi dan terapi wicara hanya ada di Jakarta dan Solo.

Selain itu, Klinik Cerebellum juga berkomitmen menyediakan pelayanan rehab medik. Rehab medik ini terdiri dari dokter rehab medik, fisioterapi, okupasi terapi dan terapi wicara.

Layanan terapi Klinik Cerebellum dibanderol dengan tarif beragam sesuai dengan kebutuhan. Fisioterapi sebesar Rp900.000, terapi wicara Rp.750.000, dan okupasi terapi Rp750.000 per 6 kali sesi. Kemudian ada okupasi terapi plus terapi wicara dengan tarif Rp1.200.000 per 6 kali sesi.

Setiap pasien akan mendapatkan waktu terapi sekitar 1 jam. Jika dihitung dengan antrean, pasien sebisa mungkin hanya antre maksimal 2,5 jam karena mereka lebih dulu mendaftar online. Dengan begitu, mereka bisa datang sesuai jadwal dan tidak perlu mengantre sejak pagi.

“Jadi tidak perlu menungu terlalu lama, mereka dapat pelayanan, langsung terapi, selesai itu bisa langsung pulang,” katanya.

Klinik Cerebellum, kata Yasser, selalu berupaya menjaga mutu tersebut karena mereka sadar bahwa klinik tersebut tak seluas rumah sakit. Namun hal inilah yang dianggap menjadi keunggulan dari Klinik Cerebellum.

“Kami tidak boleh lambat sehingga terjadi penumpukan pasien yang berakibat pasien tidak nyaman. Kami lihat rata-rata orang tua pasien yang terapi di kami bilang itu membuat mereka nyaman, mereka bisa mengatur waktunya itu,” kata Yasser.

BPJS putus kontrak satu-satunya klinik terapi di Gowa

Klinik Rafi di Kabupaten Gowa juga menjadi salah satu dari tiga fasilitas kesehatan yang kontrak kerja samanya tidak dilanjutkan oleh BPJS Kesehatan. Menurut Direktur Klinik Rafi, Nuralam, tidak berlanjutnya kontrak itu otomatis berdampak pada pasien.

​Dia menyebut ada sekitar 4.000-5.000 kunjungan pasien setiap bulan dengan layanan BPJS Kesehatan. Di Klinik Rafi, kata Nuralam, sebagian besar pasiennya adalah peserta BPJS Kesehatan. Sebagian kecilnya adalah pasien umum.

Pasien-pasien ini tak hanya dari Gowa saja tapi ada juga dari Kabupaten Takalar. Nuralam mengklaim bahwa belum ada fasilitas kesehatan lain di kabupaten itu yang memiliki layanan kesehatan seperti rehab medik yang disediakan Klinik Rafi. Bahkan rumah sakit daerah seperti RSUD Syekh Yusuf.

​Menurut Nuralam, profesi dokter spesalis rehab medik masih tergolong langka bahkan di Kota Makassar, apalagi di Kabupaten Gowa. Khusus di Kabupaten Gowa, kata Nuralam, hanya ada 2 orang dokter spesialis rehab medik yang berpraktik di Klinik Rafi.

“Itu pun juga tidak full time. Rata-rata punya tugas utama di tempat lain. Jadi, memang untuk pelayanan rehab cuma satu aja. Di rumah sakit daerah juga belum ada. Belum buka memang layanannya,” kata Nuralam.

Sejak tidak dilanjutnya kerja sama ini, pasien Klinik Rafi terpaksa harus ke Makassar untuk mencari pelayanan serupa. Rata-rata beralih ke rumah sakit Bhayangkara. Selebihnya, ke rumah sakit lain yang telah ditunjuk BPJS Kesehatan.

“Pasien umum saja yang bisa. Kalau yang BPJS kami arahkan ke Bhayangkara atau rumah-rumah sakit yang pasien pilih tapi semua di Makassar. Tidak ada di kabupaten Gowa,” katanya.

Nuralam merasa miris dengan nasib para pasien yang harus beralih faskes, apalagi mereka harus jauh-jauh dari Gowa ke Makassar. Lebih banyak waktu terbuang dan tentu lebih banyak memakan biaya.

“Kemudian, terkait biaya ke Makassar pasti akan bertambah untuk transportasi. Apalagi kalau untuk pelayanan rehab itu biasanya 2-3 kali dalam seminggu,” katanya.

Seperti halnya Klinik Cerebellum, Klinik Rafi juga berharap BPJS Kesehatan kembali melanjutkan kerja samanya demi memenuhi pelayanan terhadap masyarakat.  Jika memang Klinik Rafi diminta memperbaiki pelayanan seperti yang disebutkan BPJS dalam suratnya, maka mereka akan berupaya membenahinya.

Sejauh ini, pihaknya juga telah berkomunikasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan untuk menghadirkan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Hal-hal yang dianggap kurang baik oleh BPJS akan diperbaiki.

“Intinya sih kami mau tambahkan pelayanan. Kalau memang diminta untuk melakukan perbaikan seperti yang dimaksud di poin 2 tersebut, insyaallah kami tetap akan melakukan perbaikan yang nantinya kami akan pengajuan kerja sama kembali,” kata Nuralam.

Klinik Rafi sempat melaporkan hal ini ke Ombudsman sebagai respons atas keluhan pasien yang keberatan dengan tidak dilanjutnya kontrak kerja sama itu. Namun laporan itu tidak dilanjutkan setelah ada pertemuan dengan BPJS Kesehatan.

Lebih lanjut, Nuralam berharap peluang kerja sama ini kembali terbuka apalagi sebab menurutnya Kepala BPJS Cabang Makassar pada pertemuan terakhir telah menyampaikan bahwa kesempatan itu masih ada. Dia berharap hal itu benar-benar terealisasi ke depannya.

“Lumayan coast-nya apalagi secara geografis kan Kabupaten Gowa juga cukup luas. Itu kalau harus ke Makassar kasihan mereka, apalagi pasien-pasien yang kami sarankan pada saat peralihannya keluhannya transportasi,” kata Nuralam.

BPJS Kesehatan alihkan pasien

BPJS Kesehatan Cabang Makassar memiliki pertimbangan sendiri sehingga tidak melanjutkan kontrak yang berakhir pada 31 Desember 2022 lalu. Meski begitu, pihak BPJS enggan menjelaskan lebih detail alasan yang dimaksud.

Melalui keterangan tertulis, BPJS Kepala BPJS Kesehatan Cabang Makassar, Greisthy Borotoding, menjelaskan bahwa Perjanjian Kerjasama (PKS) antara Klinik Cerebellum dan BPJS Kesehatan hanya berlaku untuk satu tahun. Kerja sama secara efektif berlaku terhitung sejak 1 Januari 2022 dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2022.

"Dalam hal tidak dilanjutkannya perjanjian kerja sama dengan klinik Cerebellum dikarenakan masih terdapatnya kewajiban yang belum diselesaikan sebagai mitra yang baik selama perjanjian kerja sama penyelenggaraan program JKN," kata Greisthy, Kamis, 29 Desember 2022.

Greisthy menjelaskan bahwa dalam evaluasinya selama periode perjanjian kerja sama, BPJS Kesehatan memiliki indikator yang lengkap dan komprehensif sehingga tidak melihat dari satu aspek saja. Ada beberapa indikator mutu dan komitmen pelayanan yang tertuang dalam hak dan kewajiban namun dia tak merincinya.

Karena itu, meskipun indikator kepatuhan terhadap kontrak pada Klinik Cerebellum diklaim memiliki hasil yang baik, namun itu tidak menjadi satu-satunya indikator untuk menilai suatu faskes akan dilanjutkan kerja sama atau tidak.

"Hal ini bertujuan untuk memastikan pasien mendapatkan pelayanan yang berkualitas secara komprehensif sesuai hak peserta dan standar mutu pelayanan dengan pembiayaan yang dapat dipertanggungjawabkan,"kata Greisthy.

Atas hal tersebut, pasien dari tiga faskes itu dialihkan ke rumah sakit yang memiliki kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Namun pasien yang terlanjur mendapatkan rawat inap saat itu tetap melanjutkan perawatan setelah melewati 31 Desember 2022 sehingga tak dirujuk kef askes lain. Setelahnya, pasien pun dialihkan.

Karena merasa bahwa pasien tetap berhak mendapatkan pelayanan dengan kualitas yang sama, maka BPJS mengalihkan pasien ke faskes lain yang juga memiliki faslitas yang sama dengan tiga faskes tersebut. BPJS memang memiliki 341 fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan 58 fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKTRL) pada tahun 2022.

Karena itu, BPJS Kesehatan mengklaim peralihan pelayanan peserta tidak akan menemui kendala karena tersedia fasilitas pelayanan lainnya yang memiliki kompetensi yang sama. Pada Klinik Cerebellum misalnya, pasien dialihkan ke faskes lain yang memiliki pelayanan yang sama seperti spesialisasi KFR, fisioterapi, terapi wicara dan terapi okupasi.

"Pelayanan tetap akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya bagi peserta tanpa mengurangi hak peserta di RS lainnya yang memiliki pelayanan serta kompetensi yang sama baiknya," Greisthy.

Ada 15 rumah sakit yang masih bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Faskes tersebut adalah RS dr Tajuddin Chalid, RS Hermina Makassar, RSKD Dadi Sulsel, RSUP dr Wahidin Sudirohusodo, RS Siloam Makassar, RS Bhayangkara, RS Ibnu Sina, RS TK II Pelamonia Kesdam XIV, RS Stella Maris, RS Akademis Jaury Yusuf Putera, RSU Hikmah, RSU Labuang Baji, RSUD Kota Makassar, RS Primaya, dan RS Unhas.

Akan tetapi dari 15 FKRTL itu, hanya 5 yang memiliki pelayanan fisioterapi, terapi wicara, dan okupasi terapi. Kelima FKRTL itu adalah RS dr Tajuddin Chalid, RS Hermina, RSKD Dadi, RS dr Wahidin Sudirohusodo, dan RS Siloam. Selebihnya memiliki pelayanan fisioterapi yakni RS Bhayangkara, RS Ibnu Sina, RS Pelamonia, RS Stella Maris, RS Akademis, RS Hikmah, RS Labuang Baji, RSUD Kota Makassar, RS Primaya dan RS Unhas.

Masih melalui keterangan tertulis, BPJS Kesehatan menyatakan seluruh FKRTL mitra penyelenggara JKN siap menerima pasien peralihan dari Klinik Cerebellum, Klinik Rafi dan RS Grestelina. Bahkan ada rumah sakit yang menyatakan upaya untuk menambah jumlah tenaga okupasi dan terapi wicara.

"Peserta JKN dari yang merupakan pasien yang selama ini menjalani terapi atau pelayanan kesehatan lain di rumah sakit Grestelina, Klinik Cerebellum dan Klinik Rafi, tidak perlu khawatir tidak mendapatkan pelayanan," katanya.

Pemerintah daerah tidak berdaya

BPJS Kesehatan Makassar Mengganjal Hak Anak DifabelPertemuan mediasi antara BPJS Kesehatan Makassar dengan Klinik Cerebellum di Kantor Dinas Kesehatan Makassar (18/1/2023). IDN Times/Asrhawi Muin

​Persoalan ini menjadi atensi dari Pemerintah Kota Makassar. Namun sejauh ini, Pemkot hanya bisa memediasi antara pihak BPJS Kesehatan dengan pihak Klinik Cerebellum.

​“Sudah dimediasi. Akhirnya sekarang masalah terapi difabel itu dialihkan ke RS Daya sebagian. Itu ada kesalahan prosedur. Sudah dimediasi berulang-ulang itu sama pemerintah kota,” kata Wali Kota Makassar, Moh Ramdhan ‘Danny’ Pomanto.

Mediasi pertama di Kantor Dinas Kesehatan Kota Makassar. Mediasi kedua berlangsung di Gedung DPRD Kota Makassar. Kemudian, para orang tua pasien anak difabel telah datang ke Balai Kota untuk mengadu namun lagi-lagi belum ada solusi.

Meskipun telah dimediasi berulang-ulang, permasalahan ini belum juga menemukan titik terang. Mediasi ini dimaksudkan sebab Pemerintah Kota Makassar wajib memastikan kebutuhan pasien difabel terpenuhi. Selain itu juga untuk mencari solusi terkait nasib pasien peserta JKN selanjutnya. Di luar dari itu, pemkot tak bisa berbuat banyak.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar, Nursaidah Sirajuddin, mengatakan pihaknya tak bisa terlalu jauh mencampuri masalah ini. Hal itu karena isi perjanjian kerja sama itu hanya diketahui oleh kedua belah pihak.

“Dinas Kesehatan kan selaku pemantauan pengawasan saja. Terkait kerja sama BPJS dengan fasyankes itu mereka sendiri. PKS-nya antara mereka berdua. Kita tidak tahu terkait apa isi PKS mereka berdua," kata Nursaidah.

Dia mengakui bahwa ada pembenahan dari lima rumah sakit tersebut menyusul pengalihan pasien dari Klinik Cerebellum. Dia mengatakan pembenahan lima rumah sakit tersebut belum sepenuhnya tuntas lantaran masih ada yang belum sesuai dengan kebutuhan pasien difabel.

"Kami selaku mediasi itu hanya mendengarkan bahwa kita pemerintah kota intinya bagaimana 306 anak difabel ini teratasi," katanya.

​Solusi sementaranya, pasien hanya bisa dialihkan ke 15 rumah sakit yang ditunjuk tersebut. Sedangkan untuk pasien difabel dirujuk ke 5 rumah sakit tersebut.

"Solusinya adalah BPJS kan membuka lima rumah sakit yang mempunyai terapis wicara dengan terapis okupasi. Lima rumah sakit itu yang sementara menangani pasien-pasien difabel dari Cerebellum," kata Nursaidah.

BPJS Kesehatan dianggap tidak berpihak pada pasien difabel

BPJS Kesehatan Makassar Mengganjal Hak Anak DifabelSeorang anak difabel intelektual sedang berlajar menghitung. IDN Times/Debbie Sutrisno

Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Gugat BPJS turut menyorot sikap BPJS Kesehatan. Mereka menilai Klinik Cerebellum merupakan fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan terapi bagi anak disabilitas, di mana ada 307 anak disabilitas yang menjalani terapi Fisioterapi, Okupasi Terapi maupun Terapi Wicara, dan belum termasuk anak disabilitas yang melakukan terapi secara berkala.

"Bagi anak anak dengan autisme, down syndrome, ADHD, Cerebrsl Palsy paraplegia maupun yang mengidap rubella, kesulitan mendengar, sangat membutuhkan terapi berkelanjutan dan jika proses terapi terhenti maka kemajuan dalam perkembangan kognitif, motorik, sensorik dan mobilitasnya dapat menurun bahkan kembali lagi ke kondisi awal," tulis OMS Gugat BPJS dalam keterangan pers pada 2 Februari 2023.

Gabungan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Makassar tersebut menganggap, hanya Klinik Cerebellum yang memiliki jumlah terapis terbanyak, yakni fisioterapis 27 orang, terapis okupasi 10 orang, dan terapis wicara 6 orang. "Dari 15 layanan kesehatan yang merupakan mitra BPJS Kesehatan di Makassar, hanya 5 layanan kesehatan yang memiliki terapis dan jumlahnya hanya 24 orang dan itupun ada yang hanya kerja part time saja."

Keputusan BPJS Kesehatan Makassar mengalihkan layanan terapi pasien dari Klinik Cerebellum ke 15 fasilitas kesehatan lainnya, dianggap sangat keliru. Meski Kepala BPJS Kesehatan Makassar, Greisthy Borotoding memberi jaminan pelayanan optimal, nyatanya jauh dari harapan para pasien.

"Akan tetapi faktanya setelah 1 (satu) bulan paska berakhirnya perjanjian kerja sama tersebut, masih sangat banyak orang tua yang berproses dalam peralihan ke beberapa layanan tersebut justru melaporkan keluhan dan laporan kemunduran perkembangan anaknya, bahkan ada beberapa orang tua yang tidak melanjutkan layanan terapi anaknya."

Keluhan itu diperparah oleh akses dan akomodasi bagi penyandang disabilitas terutama anak-anak yang memerlukan perlakuan khusus. "Hal ini yang mungkin tidak diketahui oleh dr. Greisthy yang hanya melihat dari sudut pandang ketersediaan layanan dan tenaga Kesehatan."

OMS Gugat BPJS Kesehatan juga menilai Pemerintah Kota Makassar dan Pemerintah Prrovinsi Sulawesi Selatan harus bertanggung jawab dalam memenuhi hak penyandang difabel. Hal itu berdasar pada Peraturan Daerah (Perda) Kota Makassar Nomor 6 Tahun 2013 yang mengatur pemenuhan hak penyandang disabilitas dan juga Perda Provinsi Sulsel Nomor 5 Tahun 2016 tentang perlindungan pelayanan bagi penyandang disabilitas.

"Yang telah mengatur dengan sangat jelas layanan kepada penyandang disabilitas haruslah memperhatikan prinsip kemudahan, kenyamanan, kecepatan, berkualitas dan rasa empati."

Prinsip-prinsip dasar kemanusiaan untuk layanan kepada penyandang disabilitas terutama anak dengan berbagai hambatannya, dinilai OMS, cenderung diabaikan oleh BPJS Kesehatan Makassar, ketika tanpa persiapan langsung mengalihkan terapi 307 anak disabilitas ke layanan kesehatan lainnya yang sebelum adanya tambahan pasien dari Klinik Cerebelum pun sudah kewalahan memberikan layanan.

Organisasi yang tergabung dalam OMS Gugat BPJS, yaitu; Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan (YPMP) Sulsel, FIK Ornop (Forum Informasi dan Komunikasi Organisasi Non Pemerintah) Sulsel, Yayasan Kajian Pemberdaya Masyarakat (YKPM) Sulsel, Lembaga Pemerhati Anak (LPA) Makassar, Yayasan Swadaya Mitra Bangsa (Yasmib) Sulawesi Yayasan, Lembaga Konsumen (YLK) Sulsel, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Lembaga Bantuan Hukum (LBH Makassar), Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (Perdik) Sulsel, Formasi Disabilitas Sulsel, dan Trust TV.

Baca Juga: Dinkes Makassar Mediasi BPJS Kesehatan dengan Klinik Cerebellum

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya