Angka Stunting di Sulsel Cenderung Menurun tapi Belum Capai Target

Pada 2021, Sulsel tarhet angka stunting turun 24,59 persen

Makassar, IDN Times - Angka stunting atau kekerdilan di Provinsi Sulawesi Selatan terus menurun. Namun di sisi lain, angka itu belum berhasil mencapai target secara nasional.

Berdasarkan data Buku Saku Hasi Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada 2021, angka stunting di Sulsel mencapai 27,4 persen sementara angka nasional mencapai 24,4 persen. Pada 2021, Sulsel menargetkan angka stunting turun 24,59 persen. Dengan demikian, angka tersebut tidak mencapai target. 

Kendati demikian, angka stunting di Sulsel terus mengalami penurunan. Angka stunting di Sulsel pada tahun 2018 mencapai 35,6 persen (Riskesda 2018), lalu pada tahun 2019 angka stunting menurun hingga 30,5 persen (SSGBI 2019). Sementara dari data ePPGBM, angka stunting tahun 2020 pada bulan Februari 12,3 persen dan bulan Agustus 11 persen. Sementara di tahun 2021 bulan Februari angka stunting menurun hingga 9,6 persen dan bulan Agustus turun hingga 9,08 persen.

"Progresnya menurun mesikpun memang belum mencapai target capaian nasional dan juga target RPJMD Sulsel. Tapi alhamdulillah untuk progres penurunannya tiga tahun terakhir itu mengalami penurunan," kata Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Sulsel Andi Nurseha saat diwawancarai IDN Times, Minggu (21/8/2022).

1. Sulsel bentuk tim pendamping gizi

Angka Stunting di Sulsel Cenderung Menurun tapi Belum Capai TargetRatusan peserta mengikuti rekrutmen Tenaga Gizi Pendamping Desa di Kantor Dinas Kesehatan Sulsel, Jumat (25/2/2022). Humas Pemprov Sulsel

Nurseha mengemukakan ada sejumlah upaya yang kini sedang dimaksimalkan untuk menurunkan kasus stunting di Sulsel. Hal ini juga mengingat bahwa pengentasan stunting merupakan program nasional untuk menciptakan generasi emas.

Secara nasional, pemerintah menargetkan angka prevalensi stunting menurun hingga 14 persen pada tahun 2024 mendatang. Untuk mencapai target tersebut, maka Sulsel juga mendukung dengan berbagai langkah dan upaya.

Di antaranya membentuk Tim Pendamping Gizi yang telah tersebar pada 10 lokus di masing-masing 24 kabupaten/kota se-Sulsel. Pemilihan 10 lokus dengan angka prevalensi stunting tertinggi didasarkan pada data Elektornik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (ePPGBM) Dinas Kesehatan kabupaten/kota.  

Untuk menentukan adanya stunting, Tim Pendamping Gizi memeriksa warga melalui metode antropometri yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Nonfisik Bidang Kesehatan Tahun Anggaran 2022. Pemeriksaan meliputi pengukuran tinggi, berat badan, lingkar badan. Pemeriksaan bukan hanya pada balita dan anak, namun juga pada remaja, ibu hamil dan menyusui, serta calon ibu.
 
Untuk menuntaskan seluruh data dan pemeriksaan pada masing-masing lokus, Tim pendamping Gizi dibantu baik oleh tenaga Posyandu, Puskesmas maupun perangkat desa. 
 
"Di masing-masing kabupaten/kota, ada 10 lokus. Mudah-mudahan ini bisa berkontribusi dalam penurunan stunting di 24 kabupaten/kota," kata Nurseha.

2. Butuh kolaborasi dari semua pihak

Angka Stunting di Sulsel Cenderung Menurun tapi Belum Capai TargetKepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Sulsel, Andi Nurseha. IDN Times/Asrhawi Muin

Pengentasan stunting tentu tak lepas dari hambatan. Nurseha mengemukakan hambatan yang kerap ditemui dalam upaya pengentasan stunting yaitu adanya anggapan bahwa penanganan stunting hanya masalah kesehatan. Padahal stunting juga bisa berdampak pada masalah lain seperti sosial dan ekonomi.

Nurseha menjelaskan bahwa provinsi hingga ke tingkat desa dan kelurahan telah mempunyai SK tim percepatan penurunan stunting. Namun peran mereka dalam percepatan penurunan angka stunting masih perlu dimaksimalkan.

"Jangan sampai bahwa stunting ini hanya punyanya (dinas) kesehatan, padahal sebenarnya harus mensinergikan. Kita semua harus bisa melakukan intervensi percepatan penurunan," kata Nurseha.

Dinas Kesehatan sendiri bertanggung jawab terhadap intervensi spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi terjadinya stunting seperti asupan makanan, infeksi status gizi ibu, penyakit menular serta kesehatan lingkungan. Sedangkan intervensi sensitif merupakan intervensi pendukung untuk penurunan kecepatan stunting seperti penyediaan air bersih dan sanitasi. 

Menurut Nurseha, intervensi spesifik dan sensitif itu bisa menjadi tanggung jawab organisasi perangkat daerah (OPD) atau lembaga pemerintah lain di luar dari Dinas Kesehatan. Karena percepatan penurunan angka stunting sangat membutuhkan kolaborasi dan sinergitas.

"Jadi bukan cuma kesehatan saja tapi semua sektor yang terkait, baik pemerintah maupun non pemerintah. Alhamdulillah PKK juga sangat luar biasa. Kita berkolaborasi dengan PKK dan sangat support untuk bisa melakukan kegiatan atau intervensi dalam percepatan penurunan stunting," kata Nurseha. 

Upaya lain yang dilaksanakan oleh Pemprov Sulsel dalam percepatan penurunan angka stunting yaitu Gerakan Bersama Remaja Sehat yang menyasar remaja. Para remaja diberikan edukasi mengenai keluarga sehat agar nantinya melahirkan anak-anak  yang tumbuh sehat.

"Itu sudah ada edarannya gubernur juga terkait dengan konsumsi tablet tambah darah. Itu yang paling penting sebenarnya untuk remaja. Kita setiap minggu melaporkan ke ketua tim pkk untuk dokumentasi 24 kabupaten/kota. Setiap bulan kita laporkan ke beliau juga progres pencapaian konsumsi tablet tambah darah di 24 kabupaten/kota," kata Nurseha.

3. Tiga faktor dominan penyebab stunting

Angka Stunting di Sulsel Cenderung Menurun tapi Belum Capai TargetANTARA FOTO/Maulana Surya

Lebih jauh, Nurseha menjabarkan faktor penyebab stunting. Dia menyebutkan ada tiga faktor paling dominan yang berpengaruh terhadap terjadinya kasus stunting yaitu pola asuh, pola makan dan sanitasi lingkungan. 

"Itu terkait bagaimana keluarga memberikan pengasuhan ke anaknya. Pola makan bagaimana keluarga ini memberikan makanan yang betul-betul sesuai dengan tumbuh kembang anak dan sanitasi lingkungan," katanya.

Di masyarakat, masih ada sebagian yang sulit menjaga kebersihan. Masih ada pula yan tidak paham denganhinienitas anak, ibu dan sanitasi lingkungan rumah dan sekitarnya. Faktor-faktor itulah yang menjadi bagian dari intervensi politik. 

"Dari 11 indikator intervensi sensitif ada tiga yang ditanggungjawabi oleh dinas kesehatan. Salah satunya adalah stop buang air besar sembarang. Ada JKN juga dan perubahan perilaku," kata Nurseha.

Baca Juga: Cegah Stunting, Dinkes Sulsel Rekrut Tenaga Gizi Pendamping Desa

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya