TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Belanda Minta Maaf, Sejarawan: Trauma Korban Tak Boleh Ditepikan

PM Belanda meminta maaf atas kejahatan perang di masa lalu

Seorang veteran bersama keluarganya melintas di depan Monumen Korban 40.000 Jiwa usai mengikuti upacara peringatan pembantaian Korban 40.000 Jiwa di Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (11/12/2019). (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Makassar, IDN Times - Topik masa revolusi 1945-1949 kembali jadi perbincangan hangat. Ini tak lepas dari permintaan maaf Perdana Menteri Mark Rutte, Kamis lalu (17/2/2022), atas kejahatan perang oleh militer Belanda di Indonesia saat itu.

Dilansir oleh Reuters, pernyataan PM Rutte adalah respons dari studi yang dilakukan oleh akademisi sejak 2017. Hasilnya, militer Belanda ditemukan melakukan tindak kekerasan berlebihan saat bertugas selama empat tahun di Indonesia.

Menurut dosen Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Makassar (UNM), Bahri, pemintaan maaf PM Belanda bisa membelah masyarakat jadi dua kubu.

"Ada pihak yang pro dan pihak yang kontra terhadap pernyataan permintaan maaf tersebut," ujar Bahri saat dihubungi IDN Times, Minggu sore (20/2/2022).

Baca Juga: Studi: Pasukan Belanda Gunakan Kekerasan Ekstrem di Indonesia

1. Pernyataan PM Mark Rutte jadi upaya meningkatkan hubungan bilateral

Mark Rutte kembali terpilih sebagai Perdana Menteri Belanda setelah memenangkan Pemilu Belanda untuk yang keempat kalinya. (Instagram.com/minpres)

Menurut Bahri, pihak yang pro akan melihat permintaan maaf itu sebagai itikad baik serta bentuk pengakuan pemerintah belanda terhadap berbagai kekerasan. Tindakan ekstrem itu terjadi di berbagai wilayah di Indonesia pada masa revolusi.

"Weperti yang terjadi di Sulawesi Selatan, di Rengat (Riau) dan Rawagede (Jawa Barat)," ucapnya.

Menurut Bahri, mengakui kekeliruan di masa lalu jadi langkah konkret yang dilakukan Belanda untuk mengeratkan hubungan bilateral dengan Indonesia. Tanpa dihantui bayang-bayang masa lalu, antara negara penjajah dan terjajah.

2. Bahri meminta pemerintah tetap pertimbangkan trauma para korban

Suasana interogasi yang dilakukan pasukan Infanteri XV dan Depot Speciale Tropen pimpinan Kapten Raymond Westerling saat menyambangi kampung Salomoni di daerah Barru, 12 Februari 1947. (Netherlands Institute for Military History)

Upaya berdamai dengan masa lalu bisa saja disetujui oleh sebagian masyarakat atau bahkan pemerintah Indonesia. Tapi menurut Bahri, luka lama dan trauma dari keluarga korban kekejaman militer Belanda tak terobati begitu saja.

Karena itu, ia meminta pemerintah mendengar suara dari keluarga korban yang selama tujuh dekade terakhir tak lelah menuntut keadilan.

"Jika direspons oleh pemerintah, harus mempertimbangkan trauma sejarah terhadap keluarga dan keturunan korban," kata Bahri.

"Perlawanan yang berujung pada pembantaian rakyat pada masa revolusi, seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan, murni adalah perlawanan rakyat yang melindungi pejuang dari intimidasi dan teror Belanda," sambungnya.

Baca Juga: Kemlu: Pemerintah Pelajari Dokumen, Maknai Permintaan Maaf Belanda

Berita Terkini Lainnya