PON Makassar 1957 yang Dibayangi Teror dan Pembebasan Lahan

Penunjukan Kota Makassar sebagai tuan rumah sempat ditentang

Makassar, IDN Times - Sepanjang sejarah penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional sejak tahun 1948, tercatat ada 10 daerah/provinsi pernah merasakan kehormatan ditunjuk sebagai tuan rumah. DKI Jakarta jadi yang terbanyak yakni delapan kali, tujuh di antaranya terjadi secara beruntun pada masa Orde Baru.

Setelah Reformasi, barulah daerah selain ibu kota negara kembali diberi kesempatan menyelenggarakan hajatan olahraga nasional tersebut. Ini meneruskan tradisi yang dibangun oleh Soekarno saat masih memerintah.

Selama 73 tahun berjalan, cuma ada enam edisi yang diselenggarakan di luar Pulau Jawa, termasuk Papua tahun ini. Sulawesi Selatan (Sulsel) pun pernah ditunjuk sebagai tuan rumah tahun 1957. Tapi, PON keempat itu berjalan di bawah bayang-bayang ancaman gerakan pemberontak DI/TII.

Baca Juga: Sulsel Akan Ajukan Jadi Tuan Rumah PON 2028

1. Aktivitas warga Sulsel dekade 1950-an kerap diancam oleh serangan sporadis kawanan Kahar Muzakkar

PON Makassar 1957 yang Dibayangi Teror dan Pembebasan LahanSebuah kentongan dipukul sebagai pemanggil para pemilih yang berhak dan telah ditentukan datang ke TPS guna memberi hak suaranya di Makassar, 19 Desember 1955. (Dok. Arsip Nasional Republik Indonesia)

Dias Pradadimara dalam buku "Kontinuitas dan Perubahan dalam Sejarah Sulawesi Selatan" (Penerbit Ombak, 2004), penunjukan Makassar sebagai tuan rumah PON IV 1957 sempat memgejutkan banyak pihak. Saat itu, Sulsel dikenal sebagai wilayah penuh gejolak dengan angka kriminalitas tinggi. Situasi diperparah dengan serangan sporadis gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, yang menyatakan diri berada di bawah komando S.M. Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1953.

Teror DI/TII kerap menyasar sejumlah wilayah, mengancam keselamatan rakyat sipil. Salah satu yang diingat yakni ketika mereka menyerang sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) beberapa daerah pada Pemilu 1955, dan membunuh beberapa petugas. Dengan situasi yang tak stabil, aktivitas gerombolan tersebut mengganggu ekonomi dan politik Sulsel.

Meski begitu, banyak yang mengatakan situasi Makassar waktu itu tak seseram gambaran banyak surat kabar. Leni Ponne dalam artikel "Berlomba di Daerah Bergolak: Penyelenggaraan PON IV di Kota Makassar" (Lensa Budaya, Vol. 12, No. 1, Agustus 2017) menulis pemberontakan DI/TII sebenarnya tidak terlalu mengancam. Aktivitas rakyat, terutama untuk hiburan, tetap berjalan lancar.

2. Presiden Soekarno menganggap PON penting untuk membangun nasionalisme dan bukti kedaulatan Indonesia

PON Makassar 1957 yang Dibayangi Teror dan Pembebasan LahanPresiden Soekarno dan sejumlah pejabat Republik Indonesia saat menghadiri pembukaan PON II 1951 di Stadion IKADA Jakarta, 21 Oktober 1951. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures - CC BY-SA 3.0)

Dekade 1950-an, pemerintah Indonesia saat itu sedang sibuk membangun nasionalisme lewat olahraga, budaya dan kesenian. Menurut Els Bogaets dalam buku Ahli Waris Budaya Dunia Menjadi Indonesia 1950-1965 (Pustaka Larasan, 2011), ini adalah cara menunjukkan pada publik dalam dan luar negeri bahwa Indonesia adalah negara berdaulat. Dan itu juga dibangun lewat PON.

Serangkaian peristiwa pemberontakan nyatanya tak menghalangi misi tersebut. Lewat PON III di Medan (Sumatera Utara) tahun 1953, pemerintah berharap semua daerah yang sempat menjadi bagian dari wilayah federal (termasuk Negara Indonesia Timur) bisa secara langsung "kembali ke pangkuan NKRI."

Namun, tetap saja penunjukan Makassar berjalan alot. Dalam Kongres Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI, cikal bakal KONI) di Solo pada Agustus 1955, seluruh anggotanya terbagi dua menyikapi wacana PON diselenggarakan di ibu kota Provinsi Sulawesi itu. Suara tak setuju menyebut masalah keamanan dan gangguan sipil jadi isu terbesar. Sementara faksi setuju membawa argumen misi "nasionalisme dan politik" Jakarta ke daerah, seperti yang ditunjukkan lewat penunjukan Medan sebelumnya. Lantaran taj ada titik temu, kongres harus ditunda.

3. Andi Mattalatta berhasil meyakinkan Ketua KORI bahwa Makassar layak menggelar PON edisi keempat

PON Makassar 1957 yang Dibayangi Teror dan Pembebasan LahanPatung salah satu tokoh pejuang dan olahraga Sulawesi Selatan, Andi Mattalatta, di anjungan Pantai Losari Makassar. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Wacana penunjukan Makassar sejatinya sudah sampai di kuping para pejabat Provinsi Sulawesi. Mereka menyambut baik, sekaligus ajang pembuktian pada Jakarta. Tapi, mereka harus terlebih dulu meyakinkan anggota PORI bahwa Makassar memang layak menghelat PON. Gubernur Sulawesi saat itu, Raden Sudiro, bergerak cepat dengan mengutus tokoh pejuang Andi Mattalatta ke Jakarta. Ia ditugasi menemui dan meyakinkan Ketua Komite Olympiade Republik Indonesia (KORI), Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Singkat cerita, Sri Sultan memberi lampu hijau dan meminta PORI meneruskan kongres. Kepastian penunjukan Makassar pun diperoleh. Sekembalinya dari Jakarta, Andi Mattalatta kemudian kembali menemui Gubernur Sudiro untuk membahas infrastruktur. Meski kabar penunjukan tuan rumah disambut gembira oleh masyarakat, masih ada masalah lain yakni dibutuhkan stadion dan asrama untuk atlet yang berlaga.

Untuk ukuran dekade 1950-an, membangun stadion dirasa cukup berat. Sebab, saat itu Makassar dihantam krisis ekonomi akibat aktivitas gerombolan Kahar Muzakkar. Banyak pabrik dan sektor industri belum bisa berjalan maksimal. Di sisi lain, ada juga misi melawan DI/TII. Sejarawan Barbara S. Harvey dalam buku Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII (Pustaka Utama Grafiti, 1989), PON diperlukan untuk setidaknya mencegah pemuda bergabung dengan gerakan tersebut.

4. Pembangunan Stadion Mattoanging dilakukan sepanjang tahun 1956 setelah lalui pembebasan lahan yang alot

PON Makassar 1957 yang Dibayangi Teror dan Pembebasan LahanFoto udara Stadion Mattoanging, tempat penyelenggaraan PON IV 1957, pada Agustus 1957. (Instagram.com/makassar.tempodoeloe)

Setelah ralat, Gubernur Sudiro memutuskan sumber pendanaan pembangunan stadion dan asrama atlet PON berasal dari dua hal. Pertama, mereka akan meminjam dari pemerintah pusat. Kedua, gaji pegawai negeri di seluruh Provinsi Sulawesi yang disisihkan lewat surat edaran gubernur pada akhir Agustus 1955. Jakarta memberi pinjaman sangat besar yakni Rp14 juta, sedang dari pegawai negeri di Makassar saja diperoleh dana Rp7,6 juta. Belum menghitung dari pegawai di daerah lain seantero Sulawesi.

Usai masalah anggaran terpecahkan, giliran lokasi venue yang jadi perkara. Sebuah lahan peternakan milik pengusaha Belanda di Mattoanging dianggap ideal sebagai tempat stadion. Tapi, upaya pembebasan lahannya berjalan penuh hambatan. Menurut Leni Ponne, penolakan datang dari orang-orang yang tinggal di dalam dan sekitar lahan peternakan. Berbagai upaya mediasi dilakukan tapi tak membuahkan hasil. Tiap hari terbuang berarti pembangunan stadion kian molor dari target.

Andi Mattalatta kembali turun tangan membereskan masalah ini. Ia menjadi mediator antara warga sekitar peternakan dengan pemerintah. Kesepakatan diteken, warga akhirnya pindah setelah diberi ganti rugi untuk pembebasan lahan. Tapi, menurut Leni Ponne, tidak diketahui berapa rincian totalnya yang keluar dari kocek pemerintah hingga sekarang.

5. Jakarta Raya keluar sebagai juara umum PON IV 1957, semntara Sulsel cuma mendapat satu emas

PON Makassar 1957 yang Dibayangi Teror dan Pembebasan LahanKartu pos edisi PON IV Makassar 1957 yang diterbitkan oleh Jawatan PTT Indonesi. (Dok. Istimewa - Masterphila.com)

Setelah itu, Dewan Pengawas Yayasan Stadion dibentuk. Anggotanya antara lain J.L. Manusama sebagai ketua, Andi Burhanuddin, Theong Tan Kiem, Mappakaja Daeng Sidjallang, Ahmad Saleh Daeng Tompo serta Abdul Rahman Daeng Palallo. Mereka bertugas mengawasi pembangunan stadion dan venue lain dalam kompleks Mattoanging. Proyek dimulai pada 14 Januari 1956, dan ditargetkan rampung pada 31 Desember tahun yang sama.

Demi memburu tenggat, pihak pemborong secara tegas bakal dikenakan denda Rp100 per hari jika melewati target. Beruntung, proyek ini selesai dalam waktu tujuh bulan. Lahirlah Stadion Mattoanging, stadion berkapasitas 20 ribu penonton sekaligus yang terbesar di wilayah timur Indonesia. Begitu pula venue olahraga lain seperti gedung olahraga, kolam renang, lapangan hoki, bola voli, bulu tangkis hingga asrama atlet.

Peresmian kompleks olahraga PON IV berlangsung pada Minggu 22 September 1957. Hadir saat itu sejumlah pejabat dan petinggi militer seperti Sjamsuddin, J.L. Manusama, Wali Kota Makassar Junus Daeng Lili dan Gubernur Sulawesi saat itu yakni Andi Pangerang Petta Rani.

Helatan PON IV sendiri dibuka oleh Presiden Soekarno pada hari Jumat, 27 September 1957. Berlangsung hingga Minggu 6 Oktober 1957, ada 17 daerah yang ikut serta dalam 14 cabang olahraga yang dipertandingkan.

Jakarta Raya keluar sebagai juara umum dengan mengumpulkan 21 emas dari total 55 medali. Disusul Jawa Timur (42 medali, 16 emas) dan Jawa Barat (40 medali, 16 emas). Sulawesi Selatan, yang turun sebagai Wilayah Tingkat III sebab Provinsi Sulawesi belum dimekarkan, berada di peringkat 7 setelah cuma mendapat satu emas dari total 17 medali.

PON IV berjalan meriah dan aman hingga rampung. Kekhawatiran banyak pihak atas gangguan kelompok DI/TII Kahar Muzakkar nyatanya tak terbukti. Dan helatan tersebut jadi satu-satunya helatan olahraga empat tahunan nasional yang digelar di Pulau Sulawesi hingga kini.

Baca Juga: Hari ke-12 PON Papua: Sulsel Berhasil Menyabet Dua Medali Emas

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya