Pelestari Alam dan Budaya Lokal: Mengenal 3 Hutan Adat di Sulsel

Hutan penting bagi kelangsungan hidup komunitas adat

Makassar, IDN Times - Di mata masyarakat adat, hutan memiliki makna penting dalam kehidupan mereka sehari-hari. Itulah tempat mereka mencari nafkah sekaligus mengggantungkan kehidupan. Air, hasil bumi, buah-buahan hingga binatang yang mereka konsumsi berasal dari hutan yang mereka tinggali.

Mereka sadar bahwa mewariskan hutan yang tetap lestari kepada cucu, juga berarti menjaga kebudayaan mereka tetap hidup. Mitos-mitos, ritual, tradisi warisan leluhur dan berbagai kearifan ikut tinggal di tengah-tengah pemukiman dan rerimbun pepohonan.

Namun seiring waktu, modernisasi dan aktivitas ekonomi mengancam keberadaan hutan-hutan adat tersebut. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), pada situs resminya, menyebut bahwa Mahkamah Konstitusi, pemerintah daerah dan peraturan daerah ikut berperan serta dalam menjaga kawasan hutan adat.

Sejak 2016, pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) penetapan hutan adat. SK tersebut berarti penting untuk dua hal: menjaga kearifan lokal dan menjaga hutan dari aktivitas merugikan berskala masif.

Di Sulawesi Selatan sendiri sudah ada tiga hutan adat yang sudah ditetapkan melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berikut bahasan singkatnya berdasarkan data yang dihimpun IDN Times.

1. Hutan Adat Ammatoa Kajang di Bulukumna

Pelestari Alam dan Budaya Lokal: Mengenal 3 Hutan Adat di SulselBeberapa warga adat Kajang Ammatoa sedang beraktivitas di kawasan hutan adat Kajang Ammatoa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. (Instagram.com/samsulmaarif6202)

Tempat tinggal komunitas adat Ammatoa Kajang di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, ditetapkan sebagai Hutan Adat setelah sebelumnya menjadi hutan produksi. Ini berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.6746/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016, yang terbit pada 26 Desember 2018.

Dengan luas kurang lebih 313,99 hektare, kawasan ini mencakup Desa Tana Toa, Desa Pattiroang, Desa Bonto Baji dan Desa Malelleng. Pengelolaan dan pemanfaatan Hutan Adat Ammatoa Kajang dilaksanakan menurut Pasang ri Kajang, sistem nilai budaya masyarakat setempat, dan peraturan UU yang berlaku.

Tak cuma jadi Hutan Adat pertama di Sulsel, kawasan yang berjarak 51 kilometer dari Ujung Bulu --ibu kota Bulukumba-- juga jadi yang terluas di provinsi ini.

2. Hutan Adat Orong di Enrekang

Pelestari Alam dan Budaya Lokal: Mengenal 3 Hutan Adat di SulselPemandangan kawasan Hutan Adat Orong di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. (Dok. AMAN Sulsel)

Kawasan yang dihuni masyarakat hukum adat Orong di Kecamatan Malua, Kabupaten Enrekang ditetapkan sebagai Hutan Adat pada 10 Juli 2018. Ini menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor: SK. 4715/MENLHK PSKL/PKTHA/PSL.1/7/2018.

Memiliki luas sekitar 81 hektare, Hutan Adat Orong ini merupakan gabungan dua hutan dengan status berbeda. Ada Hutan Lindung seluas kurang lebih 33 hektare dan Areal Penggunaan Lain seluas kurang lebih 48 hektare.

Pengelolaan hutan adat yang berada di Desa Rante Mario dan Desa Buntu Batuan ini --24 kilometer dari ibu kota Enrekang-- dilaksanakan berdasarkan Hukum Adat Orong serta UU yang berlaku. Berada di daerah lembah membuat kawasan ini terlihat indah, terutama dari ketinggian.

Baca Juga: Sosialisasi Pemilu, KPU Bulukumba Jamin Hak Pilih Warga Adat Kajang

3. Hutan Adat Marena di Enrekang

Pelestari Alam dan Budaya Lokal: Mengenal 3 Hutan Adat di SulselPemandangan kawasan adat Marena di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. (Dok. Istimewa/Abni Ganina Muchsintahir)

Bersamaan dengan Hutan Adat Orong, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar juga menetapkan tempat tinggal komunitas adat Marena sebagai Hutan Adat. Ini menurut keputusan bernomor  SK. 4716/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/7/2018.

Luasnya mencapai sekitar 155 hektare, dengan rincian kurang lebih Hutan Produksi Terbatas mencapai kurang lebih 150 hektare dan Areal Penggunaan Lain seluas kurang lebih 5 hektare.

Berada di Desa Pekalobean dan Desa Singki, Kecamatan Anggeraja, yang berada 25 kilometer dari ibu kota Kabupaten Enrekang, pengelolaannya dilakukan menurut Hukum Adat Marena serta UU yang berlaku.

Baca Juga: AMAN Sulsel Desak Pengesahan RUU Masyarakat Adat

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya