Kasus KFC Palopo, Bukti UU Perlindungan Konsumen Masih Punya Celah?

Peraturan rinci diperlukan oleh konsumen dan produsen

Makassar, IDN Times - Pekan lalu, publik dikejutkan dengan kabar yang datang dari Palopo, Sulawesi Selatan (Sulsel). Erwin Sandi menggugat gerai Kentucky Fried Chicken (KFC) lantaran menjual burger yang tak sesuai dengan foto presentasi promosi.

Yang dimaksudnya adalah saat roti lapis asal Negeri Paman Sam itu terhidang dengan kombo lengkap: potongan sayur, acar, tomat, keju dan daging.

Erwin adalah pelanggan setia, ia tak cuma sekali ini saja memesan burger untuk buah hatinya. Pada pesanan-pesanan awal, burger yang datang tak sesuai ekspektasi. Tapi saat itu dianggapnya terjadi kekeliruan saat pengemasan.

Namun ketika memesan 16 November silam, roti lapis datang cuma dengan potongan daging dan dua buah roti. Sama sekali berbeda dengan gambar yang diunggah ke platform layanan pesan-antar.

1. Kasus antara Erwin Sandi dan manajemen KFC sudah sampai di tahap mediasi

Kasus KFC Palopo, Bukti UU Perlindungan Konsumen Masih Punya Celah?Proses mediasi antara konsumen Erwin Sandi dengan manajemen KFC Palopo/Erwin Sandi

Erwin tak langsung menempuh jalur hukum. Dia berupaya lebih dulu menghubungi pihak KFC Palopo melalui kontak layanan konsumen. Tapi dari dua kontak yang disediakan, ternyata tak ada yang aktif. Merasa geram, Erwin menulis pengalaman ini di dinding akun media sosial pribadinya.

Erwin kemudian melayangkan empat poin gugatan ke manajemen KFC Palopo. Pertama, KFC didesak meminta maaf secara terbuka di halaman resmi perusahaan karena merugikan konsumen. Permintaan maaf mesti menyertakan akun Facebook dan Instagram Erwin sebagai konsumen yang dirugikan.

Kedua, KFC diminta memperbaiki layanan ke konsumen dengan tidak menjual produk yang tidak lengkap. Ketiga, KFC diminta memberi makan anak yatim setiap Jumat, minimal lima panti asuhan di Palopo selama sebulan. Dan terakhir, KFC diminta tak memecat karyawan yang terkait persoalan ini.

Mediasi antara Erwin dan manajemen KFC Palopo sudah dilakukan pada Jumat pekan lalu (19/11/2021). Tiga dari empat tuntutan bisa dilakukan, meski manajemen KFC Palopo mengakui tuntutan pertama agak berat untuk dilaksanakan.

2. Hak konsumen berbelanja sudah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen

Kasus KFC Palopo, Bukti UU Perlindungan Konsumen Masih Punya Celah?Ilustrasi Belanja E-commerce (IDN Times/Arief Rahmat)

Kasus di Palopo ini kembali mencuatkan topik tentang sejauh mana konsumen dalam menuntut haknya. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), masalah tersebut diatur dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Semuanya tercantum dalam pasal 8, 9 dan 10.

Pasal 8 ayat 1 poin f menyatakan semua produsen dilarang menjual sesuatu yang "tak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut."

Pasal 9 ayat 1 poin a melarang keras memperdagangkan sesuatu secara tidak benar dan/atau seolah-olah "barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki
potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu."

Dan kemudian pasal 10, pemilik usaha "dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan" atas beberapa hal, salah satunya kondisi barang (poin c).

Selain itu, karena pemesanan yang dilakukan Erwin dilakukan secara daring, UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bisa ikut mencuat.

3. Kasus gugatan di Palopo disebut rumit karena minimnya aturan spesifik

Kasus KFC Palopo, Bukti UU Perlindungan Konsumen Masih Punya Celah?Ilustrasi online shop (IDN Times/Hana Adi Perdana)

Tapi, Sekretaris YLKI Sulsel, Judy Rahardjo menyebut kasus di Palopo ini cukup rumit. Sebab,  aturan yang menjadi dasar hanya memberi penjelasan secara umum alih-alih spesifik.

"Keduanya (UU Perlindungan Konsumen dan UU ITE) bisa saja dijadikan dasar. Tapi bagaimana dengan peraturan yang lebih detail dengan pertanyaan: jika barang yang saya terima tidak sesuai dengan foto yang dipajang," kata Judy saat dihubungi IDN Times pada Selasa sore (23/11/2021).

"Tentu agak kesulitan, karena kedua UU ini tidak sampai detail pada praktik atau bekerjanya hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha," lanjutnya.

Alhasil, Judy menganggap perlu ada peraturan lebih rinci untuk perkara ini. Entah Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri (Permen).

"Secara legal, lihat pasal 8 (UU Perlindungan Konsumen). Tapi kan teks seperti ini harus dijabarkan kembali seperti apa, ketika menghadapi kasus seperti di atas. Tidak bisa dengan model menaruh saja teks itu," katanya.

"Seperti apa, dengan visualisasi platform online. Misalnya kita beli buku lewat online, gambarnya sama dengan yang lain tapi lebih murah, ternyata faktanya cetakannya tidak bagus banyak yang kabur," sambung Judy.

4. Hak konsumen melayangkan komplain sudah diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999

Kasus KFC Palopo, Bukti UU Perlindungan Konsumen Masih Punya Celah?Ilustrasi belanja (IDN Times/Sunariyah)

Berbicara lebih jauh, platform pemesanan yang terlibat hanya berperan sebagai perantara. Tapi bukan berarti transaksi berlangsung tanpa pengawasan. Tetap ada panduan bagi penjual dan pembeli bisa dicantumkan.

"Bisa juga dilihat kembali platform atau aplikasi online yang digunakan, apakah ada syarat dan ketentuan dalam mendeskripsikan produk tersebut, bagaimana informasinya, bagaimana pengaduan dan ganti ruginya," jelas Judy.

Poin hak konsumen melayangkan pengaduan sejatinya juga diatur dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen. Tapi, dalam Pasal 5 poin a UU yang sama juga dijelaskan bahwa konsumen wajib "membaca atau mengikuti petunjuk informasi" perihal barang atau jasa yang dibeli. Istilah umumnya, syarat dan ketentuan.

Inilah yang kadang memberi kebingungan. Promosi membuat barang/jasa yang dijual terlihat amat "wah", dan itu sah-sah saja dilakukan produsen sebab sangat efektif dari segi keperluan pemasaran. Sementara itu, konsumen harusnya sadar bahwa iklan bertujuan membangun "imaji sempurna" sebuah produk.

"Saya kira, kita bisa sedikit survei untuk hal itu, bagaimana syarat dan ketentuan yang tertulis. Meskipun hal ini, bukan perjanjian atau kesepakatan dua pihak, pembeli dan penjual," jelas Judy.

5. Untuk pesanan daring, konsumen harusnya membaca rating dan ulasan pelanggan lain

Kasus KFC Palopo, Bukti UU Perlindungan Konsumen Masih Punya Celah?Ilustrasi belanja (IDN Times/Arief Rahmat)

Namun, dalam kasus gugatan Erwin di Palopo, jenis burger yang ia terima malah berbeda dengan yang tertera dalam gambar. Bagi para pengguna aplikasi pesan-antar makanan, hal tersebut termasuk jarang terjadi.

Meski tampilannya dalam iklan memang sudah "diracik" sedemikian rupa untuk keperluan promosi, bahan-bahan esensial dalam makanan yang diterima pelanggan idealnya harus tetap sama. Dan itu diatur dalam pasal 7 UU Perlindungan Konsumen, kendati tak ada aturan spesifik terkait untuk menangani situasi khusus seperti kasus di Palopo.

Saat dikonfirmasi oleh IDN Times tentang hal tersebut, pihak KFC Palopo tidak kunjung memberi tanggapan.

Judy menyebut praktik bekerjanya hak dan kewajiban konsumen masih perlu dicek. Apakah setiap komplain dan bahkan gugatan bisa diselesaikan, dan apakah ini bisa memberi keadilan bagi penggugat dan tergugat. Ia pun meminta pelanggan untuk lebih cermat dan membaca ulasan pelanggan.

"Banyak konsumen menyiasati ini dengan melihat komentar atau berapa bintang dalam ulasan umpan balik. Misalnya kita mau beli masker, ada fotonya, tapi kita tidak tahu apakah masker itu tebal atau tipis," kata Judy. Ulasan sangat penting sebagai preferensi sebelum membeli.

"Karena, jika diuraikan maka pertama, hal ini bukan satu kasus (saja). Kedua, jika dapat dijelaskan lebih detail hal ini akan menolong banyak konsumen. Juga pengaturan yang lebih konkret berkaitan dengan online delivery," lanjutnya.

6. Peraturan tambahan nan rinci diperlukan agar bisa jadi pedoman konsumen dan produsen

Kasus KFC Palopo, Bukti UU Perlindungan Konsumen Masih Punya Celah?Ilustrasi Belanja Online (IDN Times/Meiska Irena)

Hal yang dialami Erwin sejatinya juga dialami jutaan orang di luar sana. Saat pesanan yang datang tak sesuai dengan ekspektasi. Judy, dalam kapasitas sebagai anggota YLK, mengaku masih mencari peraturan mendetail perihal situasi tersebut. Bahkan termasuk menyasar platform pemesanan online.

"Lebih kurangnya, jaminan produk sesuai dengan yang dideskripsikan. Apakah ada peraturan yang memblokir grafis, visual, gambar jika itu tidak sesuai yang dideskripsikan atau faktanya, itu juga jadi pertanyaan. Apakah aturan itu berada dalam undang-undang atau peraturan legal?" kata Judy.

Muncul pertanyaan, apakah ada celah loophole dalam seperangkat peraturan jual-beli yang sudah ditetapkan negara? Jawabannya mungkin bisa diperoleh jika ada pembahasan rinci oleh para ahli hukum pidana.

Meski begitu, gugatan Erwin disebut penting demi memberi publik edukasi tentang sejauh mana hak konsumen dilindungi dan setaat apa pihak produsen secara umum atas hukum yang berlaku.

"Gugatan itu penting. Bisa menjadi pembelajaran. Jika tidak diterima, ditolak, atau 'dikalahkan', kita bisa tahu celah hukum yang ada. Dan bagaimana strateginya untuk mengatasi," tutupnya.

Sebab peraturan yang rinci, entah Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri, akan menjadi pedoman bagi konsumen dan produsen. Ini juga bisa mengurangi potensi kedua kubu malah bertemu di meja hukum.

Baca Juga: Pesanan Burger Tak Sesuai Gambar, Pria Palopo Gugat KFC

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya