Gowa-Tallo Menyokong Perjuangan Rakyat di Jawa Melawan VOC (2-Habis)

#MenjagaIndonesia Ada peran Karaeng Galesong di Jawa Timur

Makassar, IDN Times - Bagaimana keterlibatan para bangsawan Bugis-Makassar dalam Pemberontakan Trunojoyo yang pecah beberapa tahun sebelum Perang Saudara Banten? Untuk hal itu, kita harus kembali mundur menuju kira-kira akhir tahun 1674.

Saat itu, gabungan rombongan I Tanriawa ri Ujung Karaeng Bontomarannu (bekas Panglima Angkatan Laut Gowa dan Perdana Menteri Gowa-Tallo), Opu Cenning (gelar putra mahkota Kerajaan Luwu di tanah Bugis) Settiaraja dan Karaeng Tulolo (saudara kandung Sultan Hasanuddin) melepas sauh dengan tujuan Jawa Timur.

Ada dua alasan penyebab mereka meninggalkan Banten. Pertama, perlakuan sewenang-wenang Sultan Banten. Leonard Andaya dalam The Heritage of Arung Palakka (Martinus Nijhoff, 1981) menyebut bahwa sang Sultan (tidak dijelaskan apakah ini Sultan Ageng atau Sultan Haji) menerapkan standar yang sama untuk rombongan ini, di mana Sultan berhak langsung mengambil istri para pengungsi.

Lebih jauh, Andaya bahkan menjelaskan perlakuan semena-mena menjurus paranoid penguasa Banten terhadap bangsawan Gowa-Tallo dan pengikutnya. Terlebih, ia menolak mentah-mentah permintaan agar Banten mau menerima kembali gelombang pengungsi yang minggat dari Gowa-Tallo pasca Perang Makassar.

1. Empat tokoh terkemuka Gowa-Tallo bersama pasukannya kemudian bergabung dalam Pemberontakan Trunojoyo (1674-1680)

Gowa-Tallo Menyokong Perjuangan Rakyat di Jawa Melawan VOC (2-Habis)Pemandangan wilayah pesisir Banyuwangi, Jawa Timur, pada tahun 1925. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

"Pengikut Daeng Mangappa tetap tinggal di Banten dan belajar mentolerir segala kecurigaan, denda, bahkan hukum yang mengizinkan siapa pun penduduk Banten untuk membunuh orang Makassar yang ditemukan masih berkeliaran jalan-jalan di malam hari. Tapi yang tidak pernah mereka ingin terima adalah perlakuan Sultan terhadap perempuan Bugis," jelas Andaya. Putra Karaeng Bontomarannu bahkan tewas saat berusaha membawa pulang istrinya yang direbut Sultan Banten.

Daeng Mangappa, yang sempat menetap di Bali dan Sumbawa di awal 1670-an, memilih tetap bertahan lantaran sang adik perempuan dipersunting oleh salah satu pejabat Kesultanan Banten. Namun kesabaran juga ada batasnya. April 1675, Daeng Mangappa dan pengikutnya menyusul sang kolega ke Jawa Timur.

Kedua, dikemukakan oleh Zainal Abidin dalam Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan (SIGn Institute, 2017), mereka hendak membantu I Mannidori Karek Tojeng (Karaeng Galesong ke-4). Ia berada di kubu Pangeran Trunojoyo, seorang bangsawan asal Madura, dalam pemberontakan melawan Kesultanan Mataram yang dibantu VOC.

I Mannidori sendiri masuk dalam rombongan eksodus bangsawan Gowa-Tallo ke Banten. Namun, ia menyanggupi permintaan Raden Kajoran (salah satu bangsawan terkemuka Mataram) untuk bergabung dengan Trunojoyo. Kelak, hubungan antara sang Karaeng Galesong dan Pangeran Madura diselingi pasang surut.

2. Intrik dalam istana Kesultanan Mataram berubah menjadi pemberontakan yang melibatkan dua pihak dengan riwayat perselisihan: VOC dan bangsawan Gowa-Tallo

Gowa-Tallo Menyokong Perjuangan Rakyat di Jawa Melawan VOC (2-Habis)Ilustrasi karya Willem Steelink Jr. tentang suasana pertempuran dalam Pemberontakan Trunojoyo (1674-1680) di Jawa Timur dalam buku cerita De kroon van Mataram (The Crown of Mataram) karya J. Hendrik van Balen yang terbit pada tahun 1890. (Wikimedia Commons)

Mereka tinggal di tiga tempat terpisah. Karaeng Bontomarannu dan Opu Cenning tinggal di pesisir timur Pulau Jawa (disusul oleh Daeng Mangappa pada April 1675), Karaeng Galesong I Mannidori berada di Pulau Madura, sementara Karaeng Tulolo mendiami Pulau Kangean. Mereka pun berada tak jauh dari dua tempat mereka biasa merompak, yakni Bali dan Nusa Tenggara .

Trunojoyo memberontak setelah menyanggupi tawaran Pangeran Adipati Anom, putra Raja Mataram Amangkurat I, yang ingin melakukan kup terhadap ayahnya sendiri. Kudeta dipilih setelah muncul desas-desus bahwa statusnya sebagai putra mahkota Mataram akan dialihkan pada putra lain Amangkurat I. Di sisi lain Trunojoyo telah lama menyimpan dendam setelah Mataram melakukan aneksasi terhadap Madura pada tahun 1624.

Intrik dalam istana kemudian pecah menjadi konfrontasi bersenjata pada 1674 dan melibatkan pihak luar. Amangkurat meminta bantuan VOC, sementara Trunojoyo didukung oleh faksi pasukan milik bangsawan Gowa-Tallo yang minggat dari kampung halaman. Gabungan prajurit Madura-Makassar ini menyerang kota-kota di pesisir utara Jawa secara sporadis. Mulai dari Pajarakan (kini Probolinggo), Gresik sampai Surabaya.

Upaya-upaya awal memukul faksi Trunojoyo juga selalu berujung kegagalan. Dijelaskan H.J. de Graaf dalam Islamic States in Java 1500-1700 (Martinus Nijhoff, 1976), rombongan pasukan Mataram-VOC yang menyerang Demung (dekat Besuki, markas Karaeng Bontomarannu cs) lewat darat dan laut pada 1676 malah dipukul balik. Kendati demikian, sang Karaeng memutuskan pindah ke Madura untuk bergabung dengan Trunojoyo.

Baca Juga: Kobar di Tanah Banten: Saat Syekh Yusuf Pimpin Perlawanan Rakyat

3. Pembesar VOC di Batavia menunjuk Laksamana Cornelis Speelman, petinggi militer yang sukses menundukkan Gowa-Tallo, untuk membantu Mataram melawan kelompok Trunojoyo

Gowa-Tallo Menyokong Perjuangan Rakyat di Jawa Melawan VOC (2-Habis)Lukisan Cornelis Speelman (2 Maret 1628-11 Januari 1684), petinggi militer dan Gubernur Jenderal VOC yang memerintah pada tahun 1681 sampai 1684. (Wikimedia Commons/Martin Palin)

September 1676, Surabaya berhasil direbut dari tangan Mataram oleh 9.000 prajurit yang dipimpin oleh I Mannidori Karaeng Galesong. Kota itu kemudian menjadi basis gerakan pemberontak Trunojoyo. Adipati Anom, yang was-was lantaran merasa si Pangeran Madura sudah kelewat batas, berbalik posisi dan mendukung ayahnya.

Adipati Anom kemudian memerintahkan pasukannya untuk mengusir pasukan pemberontak. Namun, kedua kubu ini kemudian bertemu di Gegodog (bagian timur Tuban) pada 13 Oktober 1676. Andaya menyebut bahwa jumlah prajurit Mataram lebih besar ketimbang pasukan pimpinan Trunojoyo dan Karaeng Galesong. Namun mayoritas terdiri dari para petani minim pengalaman di medan tempur dan prajurit asal Jawa Barat.

Hasilnya? Pasukan Mataram kalah telak. Pangeran Purbaya, paman Amangkurat I, yang sudah berumur 80 tahun bahkan terbunuh di medan tempur. Hanya dalam tempo beberapa bulan saja, semua kota di pesisir utara Jawa berhasil dikuasai. Mulai dari Kudus, Demak hingga Cirebon. Adipati Anom menjadi kambing hitam. Jabatannya sebagai pemimpin militer Mataram diserahkan pada Pangeran Martasana dan Pangeran Puger.

Praktis tak sanggup melaksanakan ofensif lagi, Kompeni secara resmi diminta melakukan intervensi di awal tahun 1677. Permintaan dikabulkan. Batavia mengutus petinggi militer yang meruntuhkan supremasi Gowa-Tallo, Laksamana Cornelis Speelman. Surabaya berhasil direbut kembali dalam pertempuran sengit pada April 1677, kemudian Madura tak lama berselang. Trunojoyo tak kehabisan akal. Ia memindahkan pusat gerakannya dari Surabaya ke Kediri dan merebut Plered, ibu kota Mataram, pada Juni 1677.

4. Seiring watu, faksi Trunojoyo dan I Mannidori terpecah akibat perselisihan

Gowa-Tallo Menyokong Perjuangan Rakyat di Jawa Melawan VOC (2-Habis)Lukisan tradisional Jawa karya Tirto dari Gresik menggambarkan terbunuhnya Kapten François Tack oleh Untung Surapati di Kartasura (1686) disaksikan langsung oleh Susuhunan Amangkurat II (pojok kanan atas). (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Di mana I Mannidori saat Surabaya kembali direbut? H.J. de Graaf menjelaskan bahwa sang Karaeng Galesong menetap di Pasuruan (70 km di tenggara Surabaya) selama ofensif armada Speelman. Dan setelah Surabaya direbut Kompeni, ia tak menaruh kesetiaan ke kubu manapun, baik Mataram atau Trunojoyo.

Mendiang Merle Calvin Ricklefs dalam War, Culture and Economy in Java, 1677–1726 (Asian Studies Association of Australia, 1993) menjelaskan bahwa dalam kurun waktu akhir tahun 1676 hingga Januari 1677, pengikut keduanya terlibat dalam ketegangan. Ini pun berimbas pada berkurangnya kemampuan kubu pemberontak, apalagi pejuang Bugis-Makassar dikenal punya reputasi mumpuni di medan tempur.

Zainal Abidin menawarkan penjelasan lebih rinci berkat catatan resmi VOC bertarikh 1677. Trunojoyo menuduh pasukan Bugis-Makassar merampok rakyat. Trunojoyo naik pitam hingga sampai-sampai menghunus kerisnya ke empat bangsawan Tallo, salah satunya yakni Daeng Mangappa, saudara kandung Sultan Harun Al Rasyid I Tuminanga ri Lampana (Raja Tallo ke-9) yang waktu itu sudah menetap di Banten.

Sebagai balasan, I Mannidori membunuh pejabat tertinggi kubu pemberontak ketika hendak menjemput istrinya di Madura, yang tak lain adalah sepupu Trunojoyo. Pecah pertempuran antara kedua kubu pada Januari 1677, namun berakhir imbang.

5. Kejatuhan Kediri menjadi awal dari kesuksesan Mataram-VOC padamkan pemberontakan Trunojoyo

Gowa-Tallo Menyokong Perjuangan Rakyat di Jawa Melawan VOC (2-Habis)Ilustrasi karya Willem Steelink Jr. tentang suasana jatuhnya Kediri tahun 1678 di tengah Pemberontakan Trunojoyo (1674-1680) di Jawa Timur dalam buku cerita De kroon van Mataram (The Crown of Mataram) karya J. Hendrik van Balen yang terbit pada tahun 1890. (Wikimedia Commons)

Saat Adipati Anom diangkat menjadi Amangkurat II usai sang ayah mangkat, ia kekurangan legitimasi dan dukungan dari bangsawan Mataram. Putus asa, si raja baru kemudian berpaling pada VOC. Kesepakatan dibuat. Kompeni siap memberi bantuan persenjataan dan personel militer, dengan Mataram memberi Semarang (kota pelabuhan strategis lain di pesisir utara Jawa) kepada VOC sebagai gantinya.

Sebagian bangsawan di kubu Bugis-Makassar meminta Karaeng Galesong dan Karaeng Tulolo untuk netral. Sayang, sikap mereka kemudian goyah. Mereka sempat membantu Mataram-VOC lewat penyerangan Kediri dari arah Pasuruan yang gagal. Namun ini hanya sebentar. Pasukan Karaeng Galesong kembali bergerilya dengan bermarkas di Keper, sebuah desa di Jombang.

Basis tersebut akhirnya jatuh pada Oktober 1676 setelah dikepung selama lima pekan. Karaeng Galesong bersama 60 pengikutnya berhasil lolos dan kembali bergabung dengan Trunojoyo. Namun jumlah pasukannya berkurang drastis. Daeng Tulolo dan pengikutnya bertahan di Pulau Kangean, sedangkan Opu Cenning Settiaraja menuju Banjarmasin. Adapun Karaeng Bontomarannu meninggal dunia karena sakit.

Kediri, basis Trunojoyo, direbut oleh Mataram-VOC pada 1678. Namun perlu dua tahun untuk benar-benar memadamkan pemberontakan. Trunojoyo tertangkap di Malang tahun 1679 dan dieksekusi mati pada 2 Januari 1680. Orang-orang Gowa, Wajo dan Luwu yang lolos dari pengepungan Keper bergabung dengan Syekh Yusuf, I Manienrori (Karaeng Galesong ke-5) dan Daeng Mattuju Karaeng Lambengi (bekas Datu' Luwu) di Perang Saudara Banten.

I Mannidori meninggal di Keper pada tanggal 21 November 1679 akibat sakit yang dideritanya. Sebuah makam di Desa Ngantang, Kota Malang, diduga menjadi pusara peristirahatan terakhirnya. 

Baca Juga: Gowa-Tallo Menyokong Perjuangan Rakyat di Jawa Melawan VOC (1)

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalamanan unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di saat mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.

https://www.youtube.com/embed/szsxkHb8EUo

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya