Fenomena Haji Bling-Bling di Sulsel, Sejak Kapan dan Mengapa Bertahan?

Jadi sorotan sebab jauh dari pesan sederhana ajaran nabi

Intinya Sih...

  • Jemaah haji Sulawesi Selatan kembali dengan pakaian mewah dan perhiasan emas, kontras dengan tampilan sederhana sebelumnya.
  • Fenomena "haji bling-bling" lahir dari upaya individu untuk menunjukkan eksistensi diri dan kesulitan mendapatkan kesempatan berhaji.
  • Muncul pertanyaan tentang batas antara selebrasi rasa syukur dan kesombongan dalam menggunakan perhiasan emas setelah menunaikan ibadah haji.

Makassar, IDN Times - Setelah menjalankan rukun Islam kelima yang menguras energi dan emosi di Tanah Suci, para jemaah haji tentu sudah tidak sabar untuk kembali ke daerah masing-masing. Selain rasa rindu kepada sanak keluarga dan kerabat, mereka merasa lebih segar secara spiritual dan memiliki perspektif baru dalam memandang hidup.

Namun, sebuah kebiasaan unik dilakukan oleh sebagian jemaah haji Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam perjalanan pulang. Sejak transit di Batam atau Jakarta, mereka sudah bersolek dengan pakaian mewah dan perhiasan emas dalam jumlah yang mencolok. Sangat kontras dengan tampilan sederhana mereka ketika berangkat menuju Jeddah.

Saat menginjakkan kaki di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar, di bawah kilatan cahaya kamera, mereka tak ubahnya pesohor yang baru saja kembali dari tur panjang melelahkan. Lengkap dengan lambaian tangan dan sedikit pose, serta spanduk ucapan selamat datang yang terbentang di terminal kedatangan. Tak pelak, fenomena tersebut rutin menjadi hal viral di media sosal setiap tahunnya.

1. Fenomena ini berawal dari upaya individu untuk menunjukkan eksistensi diri

Fenomena Haji Bling-Bling di Sulsel, Sejak Kapan dan Mengapa Bertahan?Salah satu jemaah haji yang mengenakan pakaian glamor saat tiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, Minggu 23 Juni 2023. (Tangkapan layar video)

Muncul pertanyaan, bagaimana dan kapan fenomena "haji bling-bling" ini lahir? Rahmat Muhammad, Ketua Prodi S2 Sosiologi Universitas Hasanuddin (Unhas), punya analisis mendalam. Menurutnya, tindakan ini berawal dari upaya individu untuk menunjukkan eksistensi diri.

"Setiap orang berusaha menunjukkan eksistensinya sesuai dengan ajaran atau kultur yang dianut. Ini bisa berlaku secara kolektif, bisa juga kembali kepada individu," jelasnya saat ditemui IDN Times pada Senin (1/7/2024).

Rahmat menjelaskan, meskipun tujuan utama pergi haji adalah beribadah, tidak semua orang fokus sepenuhnya pada ibadah tersebut. "Ada saja gangguan dalam melaksanakan ibadah, salah satunya ada yang berupaya memanfaatkan kesempatan itu untuk menunjukkan eksistensinya," ujarnya.

Baginya, fenomena ini terjadi karena kesempatan untuk berhaji kini semakin sulit diperoleh dengan masa antrean selama bertahun-tahun lamanya. Sehingga saat mereka berhasil menunaikan ibadah haji, mereka ingin menegaskan identitas diri mereka kepada masyarakat saat kembali ke Tanah Air.

2. Ada batas tipis merayakan kepulangan dari ibadah haji dan kesombongan diri

Fenomena Haji Bling-Bling di Sulsel, Sejak Kapan dan Mengapa Bertahan?Ilustrasi jemaah haji tiba di Tanah Air (Dok. Kemenag)

Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan, Muammar Bakry, menjelaskan fenomena ini dari perspektif Islam. Ia menyebut bahwa sama sekali tidak ada larangan orang mengenakan perhiasan emas untuk perempuan. "Yang dilarang mengenakan perhiasan emas adalah laki-laki," tuturnya saat dihubungi IDN Times pada Rabu (3/7/2024).

"Yang dianjurkan dalam Islam, ketika menggunakan pakaian apapun itu, tidak ada unsur kesombongan. Tapi jika seseorang menggunakan perhiasan untuk pamer, membanggakan diri, dan menyombongkan diri, itu yang tidak benar," imbuhnya.

Muammar menekankan bahwa niat adalah faktor kunci dalam menentukan apakah tindakan tersebut dapat diterima atau tidak. Jika niat seseorang adalah untuk merayakan kegembiraan tanpa unsur kesombongan, maka hal tersebut tidak menjadi masalah.

"Namun, jika kesombongan muncul dari pakaian (dan perhiasan) yang dikenakan, maka hal itu dapat mendatangkan murka Allah," jelasnya. Dengan kata lain, batas tipis antara selebrasi rasa syukur dan kesombongan membuat fenomena tersebut rutin menjadi sorotan khalayak umum.

3. Sering disebut sebagai budaya masyarakat Sulsel, padahal sebenarnya bukan

Fenomena Haji Bling-Bling di Sulsel, Sejak Kapan dan Mengapa Bertahan?Suasana Jabal Rahmah jelang Wukuf di Arafah, Sabtu (15/6/2024). (IDN Times/Faiz Nashrillah)

Rahmat Muhammad menjelaskan, munculnya "haji bling-bling" sendiri juga tak lepas dari statusnya sebagai kebiasaan turun temurun. Apalagi jika sudah rutin dilakukan dalam lingkungan keluarga, atau sebuah wilayah dalam lingkup yang luas, bahkan di banyak kasus turut dilakukan oleh jemaah haji dari kelas menengah ke bawah. Bahkan ketika perhiasan yang dikenakan ternyata imitasi sekalipun.

"Ada perlakuan-perlakuan yang harus dilakukan sepulang dari Tanah Suci untuk menunjukkan bahwa betul ibadah suci itu sudah didapatkan," ujar Rahmat. "Mabrurnya ke Allah, tapi (tentang) siapa dirinya itu (ditunjukkan) pada manusia," sambungnya.

Akademisi yang pernah menjabat sebagai Wakil Dekan FISIP Unhas tersebut turut menyatakan bahwa kebiasaan ini bukan bagian dari budaya. Ia menyoroti bahwa fenomena ini sering kali dikaitkan sebagai produk peradaban Bugis-Makassar. Tapi ditegaskan sebagai kebiasaan yang sudah berlangsung sangat lama.

"Selalu berlindung di proteksi budaya, padahal kan ini bukan (bentuk) budaya sebenarnya," tegasnya. Ia menekankan bahwa kebiasaan ini perlu diminimalisir agar tidak terus berlarut-larut dan menjadi masalah baru, baik dari segi sosial maupun religius. Terlebih saat masyarakat, utamanya pengguna media sosial, selalu menyoroti kemewahan di saat ekonomi sedang lesu."

4. Ada peran penting media sosial yang bisa melanggengkan atau mengurangi praktiknya

Fenomena Haji Bling-Bling di Sulsel, Sejak Kapan dan Mengapa Bertahan?Mastang binti Kasara (47), salah satu jemaah haji Makassar yang berdandan saat tiba di Asrama Haji Sudiang, Kamis (28/7/2022). Dahrul Amri/IDN Times

Tampilan mewah "haji bling-bling" memang menjadi hal yang kerap disorot oleh Muammar Bakry. Baginya itu tidak sejalan dengan makna utama ibadah haji yakni mengajarkan kesederhanaan. Para jemaah haji pun hanya mengenakan selembar kain ketika mengikuti seluruh prosesi sakral umat Islam tersebut.

"Pelajaran utama dari haji itu kan berhijrah. Seharusnya dari ibadah haji itu mengajarkan kesederhanaan, bukannya berubah menjadi ajang pamer-pameran," kata sosok yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Makassar (UIM) tersebut.

Senada dengan Rahmat, Muammar menyatakan rutinnya fenomena tersebut menjadi viral ibarat pedang bermata dua. Dalam pandangannya, media sosial memainkan peran penting dalam melanggengkan atau malah mengurangi kebiasaan yang sudah tumbuh subur itu.

"Media sosial bisa memengaruhi pandangan masyarakat. Jika tindakan memamerkan perhiasan tersebut terekspos di media sosial, maka bisa saja ada yang kemudian mengikuti atau malah sebaliknya, membuat hal-hal menimbulkan fitnah," jelasnya. Yang dimaksud tentu saja seperti gunjingan, ejekan dan komentar kurang pantas.

5. Fenomena ini bisa diminimalisasi, sembari mempertegas makna kesederhanaan ibadah haji

Fenomena Haji Bling-Bling di Sulsel, Sejak Kapan dan Mengapa Bertahan?Jemaah haji Kloter 1 Debarkasi Makassar tiba di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, Minggu (23/6/2024). (dok. Kemenag Sulsel)

Lantas apa yang bisa dilakukan? Rahmat menekankan bahwa kebiasaan ini mungkin sudah menjadi euforia sesaat yang dianggap normal oleh sebagian masyarakat. Tapi ia yakin praktik ini bisa diminimalisir agar tidak mengundang tudingan miring nan kontradiktif yang kerap dilekatkan jamaah "haji bling-bling."

"Euforia sesaat itu saat mereka betul-betul mau tunjukkan bahwa dirinya ini pulang dari Mekkah, di mana tidak semua orang bisa melakukannya," katanya.

"Jika menempatkan diri pada posisi orang lain mengharap pujian, itu berpotensi jadi bumerang, bukannya pujian tapi malah cemoohan," tutup Rahmat.

Di sisi lain, Muammar menjelaskan bahwa MUI Sulsel selalu menekankan pentingnya kesederhanaan kepada para calon jamaah haji dalam setiap kesempatan bimbingan. "Pesan-pesan kesederhanaan itu selalu disampaikan, mengingat teladan keluarga Nabi Ibrahim, Ismail, dan Hajar yang mengajarkan hidup sederhana," katanya.

Ia berharap bahwa jamaah haji dapat memetik pelajaran dari serangkaian pengalaman spiritual membumi di Makkah, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. "Kesederhanaan itu yang seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi orang yang sudah melaksanakan ibadah haji," tukas Muammar.

Baca Juga: Tradisi Jemaah Haji Bugis, Tampil Glamor dengan Perhiasan Mencolok

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya