Belanda Akui 17 Agustus 1945, Dosen Sejarah UNM: Masih Setengah Hati
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Belanda, pada Rabu, 14 Juni 2023, secara resmi mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia. Ini disampaikan langsung oleh Perdana Menteri Mark Rutte di hadapan parlemen dalam sesi kajian dekolonialisasi 1945-1950.
Pengakuan itu membutuhkan waktu 78 tahun. Ini seolah mengakhiri debat di Negeri Kincir Angin terhadap dosa-dosa masa lalu kala masih menjajah Nusantara. Sebelumnya Rutte sudah meminta maaf keterlibatan Belanda dalam perbudakan di wilayah koloni pada Desember 2022.
Baca Juga: Belanda Resmi Akui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945
1. Belanda disebut masih "mengelak" dari tuduhan kekejaman di periode 1945-1950
Meski begitu, banyak pihak menganggap ini hanya sebatas pengakuan moral. Salah satunya yakni Bahri, dosen Prodi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar (UNM).
Saat dihubungi IDN Times pada Sabtu (24/6/2023), Bahri menyebut bahwa pernyataan Rutte baru-baru ini hanya sekadar pengakuan secara moral, tapi belum secara yuridis. Ia menitik beratkan bahwa hal tersebut belum sepenuhnya melegakan.
"Belanda masih mengelak dari 'tuduhan', bahkan masih setengah hati meminta maaf kepada kepada Indonesia terhadap kejahatan perang yang telah dilakukan di rentang waktu tersebut (1945-1950)," ujarnya.
2. Salah satu aksi kejahatan perang adalah ekspedisi unit khusus pimpinan Westerling
Menurut Bahri, Belanda jelas sudah melakukan kejahatan perang di era 1945-1950. Tak cuma menimbulkan kerugian materi yang cukup besar untuk negeri yang baru berdiri, tapi juga untuk jumlah korban nyawa.
"Salah satunya misalnya yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Barat, sebagai akibat dari kekejaman (Kapten Raymond) Westerling dan pasukannya," katanya.
Yang dimaksud Bahri tentu saja ekspedisi unit khusus Depot Speciale Tropen pimpinan Westerling. Meski tujuannya menumpas "teroris", fakta di lapangan berbicara lain. Banyak korban jiwa berasal dari rakyat sipil biasa, kendati angka pastinya masih diperdebatkan.
3. Perdana Menteri Mark Rutte disebut tetap melanjutkan sikap pemerintahan sebelumnya
Menurut Bahri, sikap Belanda saat ini tetap mengulangi keputusan pemerintah lima dekade lalu. Ada kesan Mark Rutte tetap melanjutkan perspektif "cuci tangan", meski sudah banyak bukti-bukti investigasi menjelaskan kekejaman tentara Belanda dan KNIL.
"Pemerintah Belanda saat ini berlindung dalam argumentasi excessen nota yang diterbitkan pada tahun 1969, pada masa Perdana Menteri Piet De Jong," jelas Bahri.
"Bagi pemerintah Belanda, apa yang dituduhkan hanya merupakan imbas atau ekses perang, bukan kebijakan dari Den Haag (pemerintah Belanda langsung, red)," pungkasnya.
Baca Juga: Jalan Panjang Para Korban Westerling di Sulsel Mencari Keadilan