Rektor Unhas: Generasi Millennial Jangan Jadi Beban Demografi

Kaum millennial harus siap mental dan fisik untuk bersaing

Makassar, IDN Times - Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia tahun 2018 mencapai 265 juta jiwa. Sekitar 24 persen dari jumlah itu merupakan generasi millennial berusia 20-35 tahun.

Tahukah kamu, Indonesia akan mengalami puncak bonus demografi di kisaran tahun 2020-2030. Masa Ini seharusnya menjadi momentum penting bagi Indonesia. 

Nah, IDN Times berkesempatan berbincang dengan Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas) Dwia Aries Tina Pulubuhu mengenai puncak bonus demografi tersebut pada Rabu (10/4) di Gedung Rektorat Unhas, Tamalanrea, Makassar.

Dwia menegaskan, angka usia produktif yang makin membludak, tidak boleh menjadi beban demografi bagi negara. Salah satu cara yang perlu dilakukan, menurut Dwia, dengan mempersiapkan generasi muda, baik secara fisik maupun mental agar bisa bersaing dengan generasi muda dari negara lain.

Menurut Dwia, generasi ini harus dipersiapkan bahkan sejak dalam kandungan  dengan asupan nutrisi yang baik. Mereka jugaharus  mendapatkan kemudahan mengakses pendidikan serta kesiapan mental spiritual.

"Baru bisa disebut bonus. Kalau tidak siap bersaing, malah jadi beban demografi. Bayangkan kalau usia mudanya sakit-sakitan, stunting, obesitas dari kecil karena pola hidup tidak baik. Sia-sia jadinya banyak generasi muda," tutur Dwia yang juga Guru Besar Sosiologi ini.

1. Generasi millennial punya potensi golput jika harapannya tidak terpenuhi

Rektor Unhas: Generasi Millennial Jangan Jadi Beban DemografiHumas Unhas

Dwia menyebutkan generasi millennial menyukai segala sesuatu menyangkut keterbukaan, kejujuran, pembaruan, kecepatan, dan cenderung bersikap cuek pada persoalan-persoalan yang konseptual dan filosofis.

Terkait pandangan politik, lanjut Dwia, generasi millennial memiliki potensi besar untuk menjadi golput dalam pemilu mendatang. Sebab, kata Dwia, kehidupan politik akan berarti bagi generasi millennial jika bisa menjanjikan masa depan yang lebih baik.

"Ada jaminan yang mereka harapkan seperti kebaruan, keterbukaan peluang untuk bisa bekerja, baru mereka antusias. Berdemokrasi harus menciptakan hal yang riil di depan anak millennial, seperti bisa bekerja apa, bisa dapat berapa dan kenyamanan apa yang mereka dapatkan," jelas Dwia.

Baca Juga: 5 Alasan Pendidikan Kudu Berbenah Demi Revolusi Industri 4.0

2. Universitas berperan membuat generasi millennial memiliki kemampuan kreasi dan inovasi

Rektor Unhas: Generasi Millennial Jangan Jadi Beban DemografiIDN Times/Abdurrahman

Rektor Unhas yang menjabat dua periode ini menyebutkan universitas memiliki peran penting untuk menyiapkan generasi millennial yang siap bersaing di era Revolusi Industri 4.0. Di era digital saat ini, generasi millennial tidak hanya dituntut memiliki kecerdasan berbasis disiplin ilmu, namun juga harus memiliki kemampuan berkreasi, berkomunikasi, berkoordinasi, dan bertoleransi antar sesama manusia, hingga menyelesaikan masalah pelik.

Dwia mencontohkan salah satu langkah yang ditempuh adalah mengubah paradigma Fakultas Kedokteran, dari konsep digitalisasi menjadi lebih humanis. Fakultas ini diharapkan dapat mencetak dokter-dokter yang lebih humanis, yang akan bersaing dengan sistem kedokteran berbasis digital di era Revolusi Industri 4.0.

"Saat ini yang dibutuhkan bukan hanya kemampuan kognisinya saja, karena saingan mereka bukan sesama orang, tapi mesin dan komputer atau artificial intelligence," kata dia.

Dia juga mengungkap bahwa pekerjaan manusia nantinya akan berkurang sekitar 70 persen sehingga mahasiswa harus diberikan kemampuan yang lain, yang tidak dimiliki mesin dan komputer. "Kalau sistem mekanisasi dan komputer tidak bisa menyelesaikan masalah yang complicated," tambah Dwia.

Baca Juga: Mahasiswa KKN Unhas Dilibatkan Ikut Awasi Pemilu

3. Kampus dan media massa harus berjuang bersama melawan hoaks

Rektor Unhas: Generasi Millennial Jangan Jadi Beban DemografiIDN Times/Abdurrahman

Di sisi lain, Dwia mengomentari hoaks yang makin "menyerbu" ruang publik. Dia menilai, media massa dan perguruan tinggi harus membangun komunikasi yang intens untuk sama-sama melawan hoaks. Perguruan tinggi dan media massa harus menjadi corong kebenaran dan pembaruan bagi masyarakat.

"Kalau ada berita hoaks, masyarakat akan merujuk ke media yang terdaftar dan jelas. Media dan perguruan tinggi agen pembaruan dan pencerah bagi masyarakat di tengah banyak hoaks saat ini," jelas Dwia yang juga adik ipar Wakil Presiden Jusuf Kalla itu. 

Baca Juga: Mahasiswa Unhas Diajak Magang di Istana Negara

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya