Warga Sipil Jadi Korban, Gereja Desak Penghentian Militerisme di Papua

- Dewan Gereja Papua meminta penghentian operasi militer di Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Intan Jaya.
- Operasi militer mengakibatkan belasan warga sipil tertembak, termasuk anak-anak dan tokoh agama.
- Sedikitnya 7 kampung di Intan Jaya terpaksa mengungsi akibat intensitas tembak-menembak, dengan pos militer ditempatkan di dekat gereja dan sekolah.
Intan Jaya, IDN Times – Dewan Gereja Papua kembali menyerukan penghentian segera operasi militer di Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Intan Jaya. Hal itu menyusul jatuhnya korban jiwa dari warga sipil dalam operasi militer pada 13 Mei 2025.
Dalam surat terbuka yang dikeluarkan dengan nomor 08/ST/DGP/V/25, Dewan Gereja Papua menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap peningkatan kekerasan dan penderitaan masyarakat sipil yang dianggap sudah berada di ambang krisis kemanusiaan.
Moderator Dewan Gereja Papua, Pdt. Benny Giay, menyatakan bahwa pendekatan militer yang terus dipaksakan oleh “unsur garis keras pemerintah” telah mengorbankan warga tak bersalah dan memperparah ketegangan di wilayah konflik.
"TPNPB-OPM bukan teroris dan bukan musuh negara. Mereka rakyat yang protes karena saluran politik yang tersumbat. Perdamaian di Papua bukan tidak mungkin, tetapi itu tergantung pemerintah,” tegas Pdt. Benny Giay, mengutip pernyataan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam suratnya.
1. Belasan warga sipil jadi korban

Berdasarkan informasi lapangan yang dihimpun Dewan Gereja Papua, operasi militer di Distrik Hitadipa, Intan Jaya, mengakibatkan belasan warga sipil tertembak. Beberapa di antaranya tewas, sementara lainnya mengalami luka serius. Korban mencakup anak-anak hingga tokoh agama.
Identitas korban di antaranya adalah:
- Minus Jegeseni, 5 tahun, tertembak di bagian telinga.
- Ruben Wandagau, Kepala Desa di Hitadipa, tewas tertembak.
- Pendeta Elisa Wandagau, 75 tahun, juga menjadi korban tembak mati.
- Junite Zanambani, 21 tahun, mengalami luka tembak di lengan.
- Hetina Mirip, 24 tahun, ditemukan meninggal dunia 12 hari setelah operasi.
Selain korban dari warga sipil, tercatat juga korban dari pihak TPNPB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) yang dilaporkan meninggal dan mengalami luka-luka dalam kontak senjata.
2. Warga tujuh kampung terpaksa mengungsi

Sedikitnya 7 kampung di Intan Jaya terpaksa mengungsi ke Distrik Sugapa dan ke hutan-hutan akibat intensitas tembak-menembak. Mirisnya, menurut Pdt. Benny Giay, pos militer ditempatkan di dekat gereja dan sekolah, yang merupakan fasilitas sipil dan seharusnya netral dari konflik.
“Gereja dan sekolah dijadikan barak militer. Ini menyalahi fungsinya dan melukai perasaan umat. Militer tidak sedang berkolaborasi dalam pelayanan spiritual,” ujar Giay.
3. Seruan untuk pemerintah dan Presiden Prabowo

Dewan Gereja Papua meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil langkah konkret menghentikan seluruh bentuk militerisme di Papua dan mendorong proses dialog damai yang inklusif. Tuntutan lain dalam surat tersebut meliputi:
- Penyelidikan independen oleh Komnas HAM dan lembaga internasional.
- Pemberian bantuan medis dan trauma healing bagi para korban.
- Jaminan keamanan hukum bagi saksi dan keluarga korban.
- Penolakan eksploitasi Blok Wabu, yang disebut menjadi titik panas konflik bersenjata.
“Jika eksploitasi Blok Wabu terus dilanjutkan, perang antara TPNPB dan TNI akan terus terjadi. Gereja dan masyarakat menolak keras keberlanjutan proyek ini,” kata Giay.
4. Penembakan Tobias Silak belum tuntas

Dalam surat tersebut juga disorot kasus penembakan terhadap Tobias Silak yang terjadi pada 20 Agustus 2024.
Hingga kini, kasus tersebut belum diselesaikan secara hukum. Gereja mendesak agar empat pelaku segera ditangkap, diadili, dan disidang secara terbuka di Jayapura.