Ratusan warga Kecamatan Pa'jukukang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, merasa jadi korban dampak aktivitas perusahaan yang beroperasi di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA).
Warga Protes Dampak Aktivitas Kawasan Industri Bantaeng

1. Perusahaan beroperasi di kawasan pemukiman warga
Ardi mengatakan, KIBA terletak di sekitar kawasan pesisir Kecamatan Pa'jukukang, Bantaeng. Luas lahan proyek strategis nasional itu, mencapai 3.151 hekater area.
"Untuk mendukung aktivitas perusahaan juga akan dibangun pelabuhan ekspor dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu dengan luas 101 hektare di kawasan perairan Pa'jukukang," ujar Ardi.
PT Huadi merupakan pabrik smelter pertama yang diresmikan di Bantaeng pada Januari 2019 di KIBA. Menurut masyarakat setempat, perusahaan disebut mengekspor 15 kali, terhitung sejak November 2018.
Ada tiga perusahaan yang beroperasi di KIBA. Yakni, PT Huadi, Yatai dan Wozhou. Operasi perusahaan tepat berdampingan dengan pemukiman warga pesisir di Desa Papanloe. Tujuh dusun di desa itu terdampak langsung aktivitas perusahaan yang memproduksi material untuk bahan baku nikel.
Wilayah pesisir Pa'jukukang konon ditetapkan menjadi KIBA karena dinilai kering dan lahan tak produktif. Padahal sebagian besar masyarakat di sana berprofesi sebagai nelayan, petani rumput laut, industri pembuatan batu merah, dan juga terdapat hamparan sawah.
"Khusus Desa Papanloe, masih terdapat 160 orang petani rumput laut, 114 orang di antaranya bergantung pada usaha rumput laut," Ardi memaparkan datanya.
2. Aktivitas perusahaan merusak sumber penghasilan warga
Ardi menyebut aktivitas kapal pengangkut material mengganggu budidaya rumput laut petani. Lokasi rumput laut yang berpapasan langsung dengan pelabuhan dan jalur kapal seringkali rusak karena tertabrak kapal. Akibatnya lokasi bentangan rumput laut rusak dan tidak dapat melanjutkan budidaya.
Tidak hanya menggaggu budidaya rumput laut, aktivitas kapal pengangkut material juga mengganggu wilayah tangkap nelayan. Dari tujuh dusun di Desa Papanloe, Dusun Mawang menjadi dusun yang paling merasakan dampak dari aktivitas perusahaan. Dampak umum yang terjadi adalah polusi.
"Seperti bau, debu dan sura bising," ujar Ardi.
Debu, bersumber dari beberapa aktivitas perusahaan. Seperti debu dari mobil pengangkut material yang menggunakan jalan desa sekaligus akses jalan umum yang digunakan oleh warga. Sumber debu lainnya, berasal dari penjemuran ore hingga proses pembakaran melalui tungku Proses pembakaran juga menjadi sumber debu sekaligus mengeluarkan bau menyengat.
"Untuk menggambarkan bau, warga menyebutnya seperti bau kanvas hangus. Suara bising selama 24 jam bersumber dari aktivitas alat berat dalam kawasan perusahaan, aktivitas mobil pengangkut material, dan suara berupa dentuman," kata Ardi.
Belum lagi masalah kekeringan. Pada September 2021, sumur warga di dusun Balla Tinggia, Kayu Loe dan dusun Mawang, Desa Papanloe mengering. Kekeringan diduga akibat sumur bor yang dibangun dalam kawasan tiga perusahaan. Hasil identifikasi ada 18 sumur warga yang mengering. Padahal sumur itu digunakan untuk keperluan keseharian warga setempat.
"Sebelum mengering, sumur digunakan oleh warga untuk mandi, dan mencuci, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan air dalam pembuatan atau untuk keperluan memproduksi batu merah," tutur warga Desa Papanloe ini.
3. Perusahaan di KIBA dianggap ingkar dan abai dengan aturan
Lebih lanjut, Ardi menjelaskan, sejak awal disosialisasikan oleh pemerintah, perusahaaan di KIBA akan memprioritaskan merekrut tenaga kerja lokal. Tujuannya agar masyarakat yang tinggal di sekitar KIBA dapat meningkat taraf hidupnya.
Namun dalam praktiknya, pihak perusahaan dianggap ingkar. Mereka justru lebih banyak merekrut tenaga kerja dari luar.
"Perusahaan belum memprioritaskan warga Papanloe dalam perekrutan karyawan. Dari jumlah total karyawan per Oktober 2021 yaitu 1.255 orang, sedangkan karyawan yang berasal dari Desa Papanloe hanya 220 orang," ungkap Ardi.
Ardi menambahkan, warga juga sudah menempuh berbagai cara untuk menyampaikan tuntutan mereka ke perusahaan. Mulai dari pemerintah desa hingga DPRD setempat.
"Tapi masalahnya memang ada di perusahaan. Karena bekerja tanpa melihat Amdal sehingga banyak dampak yang terjadi," imbuhnya.
Dikonfirmasi terpisah, Community Development (Condev) PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia Andi Rezky Darmawan Latippa mengatakan, pihaknya telah memediasi persoalan tuntutan warga.
"Kami telah menerima perwakilan dari masyarakat kurang lebih 13 orang. Masalah perekrutan karyawan sudah diberi penjelasan langsung oleh manajer HRD kami," ujar Rezky dalam keterangan tertulisnya.
Rezky mengatakan, persoalan lingkungan yang dikeluhkan warga juga telah dijelaskan kepada masyarakat setempat.
"Pihak kami telah melakukan beberapa upaya pembenahan didampingi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi dalam pengelolaan lingkungan berdasarkan aturan dan perundang-undangan yang berlaku," katanya.