Ilustrasi jalur kereta api (IDN Times/Dwi Agustiar)
Ketiga, administrasi pertanahan. Amien menyebut administrasi pertanahan di Indonesia masih cukup buruk. Dalam pembangunan infrastruktur, tak jarang persoalan administrasi pertanahan belum tuntas hingga proyek selesai.
"Kalau nanti pada saat perencanaan pembangunan, ada dua atau tiga orang yang mengggugat, proyek itu bisa mangkrak karena adminsitrasi pertanahan kita kacau balau. Bisa jadi hari ini dibebaskan, tapi dua tiga hari berikutnya ada orang yang menggugatnya," katanya.
Pertimbangan keempat, yaitu hampir di semua proyek infrastruktur yang bernilai fantastis, selalu ada orang yang ditangkap. Hal itu, kata Amien, terlihat saat kasus pembebasan lahan untuk Bandara Sultan Hasanuddin di mana ada pihak yang ditangkap karena menyalahgunakan kewenangannya saat pembebasan lahan.
"Budaya korupsi di pemerintahan kita masih tinggi. Jadi berisiko kalau proyek itu harus melakukan pembebasan lahan. Mental pemerintahan kita masih rendah. Pembebasan lahan bisa saja menjerat orang-orang tertentu karena dugaan tindak pidana korupsi," kata Amien.
Kelima, yaitu harga tanah yang fluktuatif. Pemilik tanah, kata Amien, berhak menentukan harga walaupun seringkali secara umum pembebasan lahan menggunakan standar NJOP atau harga rata-rata tanah yang diperoleh dari transaksi jual beli wajar.
"Meski begitu, masyarakat juga berhak untuk melipatgandakan nilai NJOP selaku pemilik tanah," kata Amien.
Oleh karena itu, WALHI memandang bahwa harus ada kehatian-hatian dalam membangun proyek infrastruktur seperti rel kereta api.
"Berdasarkan lima poin dasar itu, kami masih tetap bersikap untuk menolak pembangunan rel kereta api itu. Karena ada banyak masyarakat yang akan dikorbankan. Jadi, berhubung proyek ini belum dibangun, lebih baik dipertimbangkan secara bermakna oleh banyak pihak," kata Amien.