WALHI Sulsel luncurkan Catatan Akhir Tahun 2024 yang bertajuk 'Pesan Keadilan Ekologi untuk Gubernur dan Seluruh Kepala Daerah di Sulawesi Selatan' yang berlangsung di Red Corner Cafe, Makassar, Senin (30/12/2024). (IDN Times/Asrhawi Muin)
Dalam pemaparan data oleh Anggota Tim Penulis WALHI Sulsel, Nurul Fadli Gaffar, WALHI mencatat terjadi 362 bencana ekologis sepanjang tahun 2024 dengan total kerugian mencapai Rp1,9 triliun. Dia juga mengungkapkan kondisi kritis tiga Daerah Aliran Sungai (DAS) yakni Tallo, Maros, dan Jeneberang yang kritis karena tutupan hutannya hanya di bawah 30 persen.
"Secara ekologi, inilah yang mempengaruhi terjadinya krisis air di Utara Kota Makassar khususnya di Kecamatan Tallo. Selain itu, temuan kami juga menemukan telah terjadi ketimpangan atas akses air bersih karena ternyata air lebih banyak dialirkan ke wilayah barat Kota Makassar ketimbang ke Utara Kota Makassar," jelasnya.
Di Kabupaten Luwu Utara dan Luwu Timur, WALHI mencatat terjadi peningkatam ekploitasi hutan dan deforestasi. Dalam 5 tahun terakhir, terjadi penurunan kehilangan hutan dari 8.943,90 hektar pada tahun 2019 menjadi 4.373,38 hektar per tahun pada tahun 2021.
"Namun, eksploitasi hutan di Pegunungan Tokalekaju terus meningkat, mencapai 10.194,89 hektar kehilangan hutan per tahun pada tahun 2023," katanya.
Sementara itu, ekspansi tambang nikel di kawasan Danau Towuti dinilai merusak ekosistem vital dan mengancam biodiversitas. Zulfaningsih HS yang juga Anggota Tim Penulis WALHI Sulsel menjelaskan soal ekspansi Izin Usaha Pertambangan di Rimba Terakhir Sulawesi Selatan tepatnya di sekitar Kompleks Danau Malili utamanya Danau Towuti semakin meningkat tiap tahunnya.
Keberadaan tambang nikel di Kabupaten Luwu Timur, kata dia, akan membawa dampak lingkungan yang sangat besar. Deforestasi di kawasan hutan hujan di sekitar Danau Towuti tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga mempercepat laju sedimentasi di danau, yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dan ekosistemnya.
"Peningkatan sedimentasi ini dapat mengganggu habitat ikan endemik, yang sudah rentan karena penyebarannya yang sangat terbatas. Selain itu, limbah tambang yang tidak terkelola dengan baik berpotensi mencemari air danau, meracuni organisme yang hidup didalamnya, dan merusak sumber air bagi masyarakat setempat," katanya.