WALHI Sulsel Apresiasi Putusan MA soal Pencabutan PP Ekspor Pasir Laut

Makassar, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan bersama Perempuan Pejuang Pulau Kodingareng mengapresiasi putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Putusan ini dianggap memberi perlindungan terhadap ekosistem laut dan ruang hidup masyarakat pesisir.
Putusan Mahkamah Agung menyatakan PP Nomor 26 Tahun 2023 bertentangan dengan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Mahkamah Agung memerintahkan kepada presiden sebagai pihak termohon untuk mencabut peraturan tersebut.
Sebelumnya, kebijakan ekspor pasir laut dibuka kembali pada Mei 2023 pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui PP Nomor 26 Tahun 2023. Setahun berikutnya, Menteri Perdagangan saat itu, Zulkifli Hasan, memperkuat kebijakan ini dengan dua aturan turunan yakni Permendag Nomor 20 dan 21 Tahun 2024.
1. WALHI Sulsel nilai putusan MA bentuk keberpihakan pada keadilan ekologis
Merespons putusan tersebut, WALHI Sulsel menggelar konferensi pers virtual pada Kamis (26/6/2025). Kepala Divisi Keterlibatan Perempuan WALHI Sulsel, Fadila Abdillah, menyebut putusan ini sebagai bentuk keberpihakan terhadap keadilan ekologis dan pengakuan terhadap peran komunitas dalam menjaga kelestarian laut.
Fadila menjelaskan perempuan pesisir memiliki peran penting dalam pengelolaan sumber daya laut secara tradisional. Dia berharap keputusan ini menjadi momentum untuk mengevaluasi seluruh kebijakan yang berdampak pada perusakan laut serta memperluas ruang partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan lingkungan.
"Putusan Mahkamah Agung ini adalah bentuk keberpihakan pada keadilan ekologis dan pengakuan terhadap peran komunitas, terutama perempuan, dalam menjaga laut sebagai ruang hidup Bersama", katanya.
Selain itu, Fadila menyampaikan bahwa perempuan di pesisir tak sekadar mengurus rumah tangga. Mereka juga terlibat langsung dalam aktivitas perikanan dan menjaga laut dengan cara-cara tradisional yang diwariskan turun-temurun. Peran ini menjadikan mereka bagian tak terpisahkan dari upaya perlindungan ruang hidup di wilayah pesisir.
Dia pun berharap putusan Mahkamah Agung dapat mendorong evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan yang berpotensi merusak ekosistem laut. Dia juga menginginkan adanya ruang yang lebih besar bagi perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan dan wilayah kelola rakyat.
"Karena bagi kami perlindungan laut bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga soal keberlanjutan hidup, keadilan gender, dan masa depan generasi mendatang", katanya.
2. Aktivitas penambagan pasir laut tinggalkan trauma bagi nelayan
Perwakilan perempuan Kodingareng, Sarina, menyampaikan dukungan terhadap pencabutan kebijakan tersebut. Dia menyebut masyarakat sempat mengalami ketakutan dan trauma akibat aktivitas penambangan pasir laut yang terjadi di wilayah tangkap nelayan Kodingareng pada tahun 2020.
Sarina mendesak pemerintah segera menghentikan seluruh aktivitas tambang pasir laut dan memulihkan kondisi sosial ekonomi serta lingkungan di wilayah terdampak. Dia juga meminta agar perlindungan diberikan terhadap seluruh kawasan tangkap nelayan di wilayah lain.
"Jadi, ketika kami mendengar bahwa aturan ini dicabut, kami sangat mendukung dan mendesak pemerintah untuk segera mencabut penambangan pasir laut ini. Supaya pikiran kami bisa tenang karena selama ini kami kepikiran terus dan trauma dengan apa yang kami sudah alami di tahun 2020", ucapnya.
Sarina menyampaikan harapannya agar pemerintah bertindak memulihkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terdampak tambang di wilayah tangkap nelayan Kodingareng. Dia menilai kerusakan yang terjadi bukan hanya pada lingkungan, tetapi juga pada kehidupan warga yang menggantungkan hidup dari laut.
"Tidak hanya itu, kami juga berharap sudah tidak ada lagi aktivitas penambangan yang terjadi bukan hanya di wilayah tangkap nelayan kodingareng tapi juga di wilayah tangkap nelayan lain karena sejatinya nelayan itu butuh laut bukan penambangan", tegasnya.
3. WALHI Sulsel sampaikan lima tuntutan terkait krisis kelautan
WALHI Sulsel turut membacakan lima tuntutan terkait permasalahan kelautan di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan, sebagai berikut:
1. Mengevaluasi tata ruang laut dalam dokumen RZWP3K dan RTRW Terintegrasi yang masih melegalkan zona reklamasi dan tambang pasir laut
2. Menetapkan wilayah konservasi laut berbasis komunitas nelayan dan perempuan dengan menggunakan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)
3. Memulihkan wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil
4. Menyusun dokumen perencanaan adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi perubahan iklim
5. Meminta pemerintah mematuhi putusan Mahkamah Agung dengan segera mencabut PP Nomor 26 Tahun 2023 beserta aturan turunannya