Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Waktunya Pariwisata Indonesia Bangun dari Tidur Panjang. IDN Times/Aditya Pratama

Makassar, IDN Times - Seorang lelaki menjunjung dua susun papan surfing menuju ke arah pantai. Dia bertelanjang dada, mengenakan celana pendek, dan dengan ransel di bahu. Hari itu, Rabu, 9 Maret 2022, langit Pantai Kuta sedang cerah. Suasana yang pas untuk berselancar menantang ombak.

Surfing merupakan aktivitas yang akrab dengan Pantai Kuta. Di destinasi wisata andalan Kabupaten Badung, Bali itu, sudah jadi hal biasa melihat banyak orang orang meluncur dengan papan di atas air. Seperti halnya melihat turis berjemur di sepanjang pantai.

Tapi itu dulu. Sudah dua tahun lebih sejak pandemik COVID-19 melanda di awal 2020. Sejak itu pula, pemandangan di Pantai Kuta berbanding terbalik. Di awal Maret yang terik, cuma terlihat ada beberapa wisatawan asing yang asyik surfing. Papan yang biasanya disewakan lebih banyak tersandar. Pantai Kuta sepi pengunjung.

"Sekarang turis asing belum ada. Tamu domestik mulai ada sedikit-sedikit ya. Ya, penghasilan cukup untuk memenuhi sehari-hari saja dulu," kata Dewa Yayunk, warga Kuta.

Selama pandemik, dibandingkan wisatawan, lebih banyak orang lokal yang berjualan di pinggir Pantai Kuta. Termasuk Dewa yang membantu istrinya berjualan di sana. Dia berharap pariwisata Bali bisa segera pulih.

Pandemik yang membuat pemerintah terpaksa membatasi aktivitas masyarakat dan memperketat pergerakan, membuat sektor pariwisata tiarap. Kalau pun tempat wisata ada yang buka, jumlah pengunjung jauh menurun dibandingkan biasanya.

Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menunjukkan, di sepanjang tahun 2021 tercatat 1,5 juta lebih kunjungan wisatawan mancanegara. Di tahun 2020, ada sekitar empat juta kunjungan wisman, meski sebagian besar tercatat di tiga bulan pertama sebelum COVID-19 merebak. Di tahun terakhir sebelum pandemik, 2019, jumlahnya lebih dari 16,1 juta kunjungan wisman.

Bagaimana potret pariwisata di nusantara? Berikut ini laporan kolaborasi hyperlocal IDN Times di berbagai daerah.

1. Sektor pariwisata tiarap dua tahun terakhir

Ilustrasi kunjungan wisatawan (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)

Terpukulnya sektor pariwisata terjadi di mana-mana. Misalnya kawasan wisata edukasi Barumun Nagari Wildlife Sanctuary (BNWS) di Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. Wisata edukasi yang terkenal sebagai tempat perlindungan satwa gajah ini kehilangan 70 persen pengunjungnya. Bahkan, untuk wisata mancanegara sama sekali tidak ada, pada dua tahun terakhir.

Direktur Barumun Nagari Wildlife Sanctuary, Henry Sukaya Wijaya, mengatakan sulitnya mendapatkan pengunjung juga secara tidak langsung berdampak terhadap kebutuhan pangan gajah. Biaya kunjungan yang bisa digunakan untuk membantu pemenuhan pangan menjadi berkurang. Menurut Henry, gajah harus memenuhi asupan pangan 10 persen dari berat badannya. 

“Jadi untuk berat badan gajah dua ton, makanannya itu normalnya 200 kilogram, sayur dan buah. Di tengah pandemik ini, kami bilang ke pengunjung begini lah situasi kami, semua serba sulit. Kami harapkan dari hasil perkebunan untuk pakan gajah,” ujarnya kepada IDN Times, Jumat (18/3/2022). 

Di lahan BNWS seluas 400 hektare yang dulunya lahan perkebunan sawit pribadi milik orang tua Henry, kini terdapat 15 ekor gajah. Gajah-gajah tersebut berasal dari beberapa pusat pelatihan gajah di provinsi Sumatera Utara. Kini BNWS dikenal sebagai salah satu lokasi wisata edukasi gajah di Sumatra Utara. Secercah harapan muncul ketika kawasan itu ditetapkan sebagai area konservasi. Wisatawan dari luar negeri mulai melirik untuk belajar tentang gajah. 

“Namun sejak adanya pandemik tidak ada pengunjung dari luar negeri,” ujar Henry.

Statistik kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dua tahun terakhir. (Dok. Kemenparekraf)

Hal serupa ditemuidi Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup (KWPLH) yang terletak di Kilometer 23, Karang Joang, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Kawasan wisata edukasi itu terkenal sebagai tempat perlindungan satwa beruang madu. Di masa pandemik, jumlah pengunjungnya disebut menurun sampai 75 persen.

Pembatasan menjadi faktor utama terpangkasnya wisatawan. Di mana berdasarkan arahan pemerintah, semua tempat yang menjadi pusat kerumunan harus mengurangi kapasitasnya untuk menekan penularan COVID-19.

"Karena kami kawasan wisata, kami ikuti surat edaran (PPKM) yang dikeluarkan, tidak buka atau boleh buka tetapi dengan waktu yang ditetapkan," terang Manager KWPLH Uvang Permana.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh KWPLH selama 3 tahun terakhir, kunjungan wisatawan yang sebelum pandemik rata-rata mencapai 50 ribu orang dalam setahun pada 2019. Pada tahun berikutnya hanya mampu menerima 14 ribu orang setahun.

Angka mencolok ditunjukkan Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. Penutupan penerbangan internasional melalui pintu Bandara Sultan Hasanuddin Makassar membuat jumlah kunjungan wisman menurun drastis, bahkan menjadi nihil.

Berdasarkan data BPS, jumlah kunjungan wisman di Sulsel pada 2020 hanya 3.573 orang. Angka ini jelas sangat jauh dibandingkan tahun 2019 atau sebelum pandemik COVID-19 yang mencapai 17.771 orang.

Kunjungan wisatawan mancanegara ke Sulsel mulai berhenti pada April 2020, seiring dengan diterapkannya sejumlah pembatasan dan ditutupnya penerbangan internasional. Di tahun kedua pandemik COVID-19 yaitu pada 2021, sama sekali tidak tercatat adanya kunjungan wisman alias nol. Sampai sekarang pintu penerbangan internasional di Bandara Makassar masih ditutup.

2. Pelonggaran aturan jadi angin segar

Editorial Team

Tonton lebih seru di