Ilustrasi pertambangan nikel. ANTARAFOTO/Jojojn
Ady menyebutkan, ada empat temuan pelanggaran atas dugaan praktik yang dilakukan PT CLM. Mulai dari limbah B3 yang mencemari lingkungan, hingga terkait Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).
Pertama, CLM disebut mengabaikan rekomendasi dari Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mengurus Izin Pembuangan Limbah B3.
"Hingga kini CLM belum menindaklanjuti rekomendasi tersebut, hal ini menandakan CLM bebal terhadap aturan yang berlaku, serta lemahnya penindakan dari penegak hukum dan juga pemerintah," jelas Ady.
Kedua, aktivitas pertambangan PT CLM menjadi salah satu sumber pencemaran sungai dan pesisir laut Malili, Lutim. Hal ini diperkuat dari hasil investigasi Tim KATA Sulsel yang menyebutkan sepanjang 2020-2021 PT. CLM empat kali mencemari air sungai Malili, terparah November 2021.
Ketiga, selama melakukan aktivitas, PT. CLM tidak memiliki surat Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Hal ini diperkuat dokumen AMDAL sebelum Addendum.
Karena dalam dokumen itu lanjut Ady, juga tidak dijelaskan secara eksplisit bahwa PT. CLM telah memiliki IPPKH. Bahkan PT CLM disebutmenggunakan IPPKH kedaluwarsa dalam melakukan aktivitas operasi produksi.
"Karena dalam dokumen IPPKH 2012, jika pelaku usaha tidak melakukan aktivitas nyata di lapangan selama dua tahun sejak diterbitkan izin, maka IPPKH tersebut batal dengan sendirinya," tutur Ady Anugrah.
KATA Sulsel menemukan bahwa PT. CLM baru melakukan aktivitas operasi produksi bulan Januari 2018, sebagaimana tertuang di dalam laporan Rencana Kegiatan dan Anggaran Biaya (RKAB) PT. CLM 2019.
Keempat, penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dalam Rencana Pertambangan Nikel dan Pengikutnya dan Pembangunan Pelabuhan di perairan Lampia yang dilakukan oleh pemrakarsa, tidak terbuka dan partisipatif.