Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Seorang ibu menarik gerobak berisi jeriken air bersih usai mengantre di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar, September 2014 silam. Dok. Jian Parawansah untuk IDN Times
Seorang ibu menarik gerobak berisi jeriken air bersih usai mengantre di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar, September 2014 silam. Dok. Jian Parawansah untuk IDN Times

Intinya sih...

  • Krisis air bersih di Buloa, Makassar telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun, dengan warga harus antre berjam-jam untuk mendapatkan dua gerobak air per rumah.
  • Distribusi PDAM yang tak merata, kualitas air yang menurun, dan dampak urbanisasi serta industrialisasi memperparah persoalan krisis air bersih di Makassar.
  • WALHI mendesak Pemerintah Kota Makassar untuk segera mengambil langkah konkret dalam menangani krisis air bersih dengan lima rekomendasi kebijakan utama.

Makassar, IDN Times - Dalam gelap dan dingin, Hajra bersama sekitar 800 orang warga Buloa bergantian menunggu setetes air--bukan di padang tandus tapi di jantung kota terbesar di Indonesia timur.

"Kalau lagi parah krisis airnya, kita itu antre mulai jam 1 malam, mungkin kita baru dapat sekitaran jam 6 pagi," keluh Hajra (35), ibu tiga anak, di Kampung Buloa, Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Di balik gemerlapnya Kota Makassar, yang dikenal sebagai pusat ekonomi dan perdagangan di Indonesia Timur, tersembunyi realitas pahit yang dihadapi sebagian warganya: krisis air bersih yang telah berlangsung selama lebih dua puluh tahun. Salah satu wilayah yang paling merasakan dampak dari masalah ini ialah Kelurahan Buloa, di mana warga harus bertarung dengan kekurangan air setiap hari.

Makassar, sebagai kota pesisir dan pintu gerbang Indonesia Timur, seharusnya memiliki akses memadai terhadap sumber air. Namun kenyataannya, sebagian wilayah kota justru menghadapi krisis air bersih yang kronis, terutama di musim kemarau. Distribusi PDAM yang tak merata, kualitas air yang menurun, serta dampak urbanisasi dan industrialisasi memperparah persoalan.

Dalam beberapa tahun terakhir, krisis ini semakin diperburuk oleh perubahan iklim yang menyebabkan kekeringan panjang. Warga yang tinggal di daerah pesisir, seperti di Buloa, semakin kesulitan mendapatkan air bersih. Sumur bor yang disediakan pemerintah pun tak cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat, sementara alternatif seperti PDAM masih terbatas dan sering kali tidak dapat diandalkan.

"Kalau lagi parah krisis airnya, kita itu antre mulai jam 1 malam"

Seorang anak di Kampung Buloa Makassar mendorong gerobak berisi jeriken air bersih, Mei 2025/Dokumentasi Warga Buloa

Bagi warga Buloa, air bersih bukanlah kebutuhan yang tinggal buka keran, maka air akan mengalir. Butuh perjuangan panjang, antrean melelahkan, dan suara-suara nyaring yang, ironisnya, nyaris tak terdengar oleh pemerintah.

Hajra, yang tinggal di Buloa sejak 2010, menyebut krisis air bersih di kampungnya telah menjadi masalah warisan turun-temurun. Saat pertama bermukim di sini, air bersih memang sudah sangat sulit diakses.

“Lebih dari 20 tahun, bahkan sepertinya 30 tahun lebih. Karena air bersih itu saya saja tinggal di sini sudah lebih 10 tahun, itu sudah krisis air memang lalu saya ada di sini," ujarnya saat ditemui di kediamannya, Sabtu, 26 April 2025.

Dia bercerita, air PDAM terakhir kali mengalir sekitar tahun 2013, itupun hanya ke satu rumah milik iparnya. Menurutnya, air bersih tidak mengalir dengan lancar sementara pembayaran terus berjalan.

"Itu iparku dulu membayar air PDAM tapi tidak mengalir airnya. Itu pun dia sendiri saja yang pegang air PDAM. Tapi selama di 2013-an itu sudah tidak mengalir, beban terus dibayar. Jadi makanya dia suruh cabut saja karena beberapa tahun ada dia bayar tapi tidak ada airnya," kata Hajra.

Sejak itu, warga Buloa mengandalkan satu-satunya sumur bor bantuan dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Makasar. Sumur bor itu dibangun dengan kedalamannya mencapai lebih dari 1.000 meter untuk memenuhi kebutuhan seluruh warga.

Namun, sumur itu tak cukup. Warga harus antre berjam-jam, bahkan sejak dini hari, hanya untuk mendapatkan dua gerobak air per rumah. Satu gerobak berisi 14 jeriken atau sekitar 140 liter.

"Kalau lagi parah krisis airnya, kita itu antre mulai jam 1 malam, mungkin kita baru dapat sekitaran jam 6 pagi. Jadi bagaimana itu yang antre jam 6 pagi? Biasa jam 6 pagi dia antre, dapatnya jam 1 siang. Kalau dua kali? Itu pun dibatasi dalam satu rumah hanya dua gerobak yang bisa diambil," kata Hajra.

Biaya yang dikeluarkan juga tak sedikit yaitu Rp3.000 per gerobak. Biaya itu juga belum termasuk biaya tenaga jika harus membayar pengantar.

Air bersih digunakan selektif yaitu hanya untuk minum dan memasak. Sementara mandi, mencuci, dan buang air menggunakan air bor yang kualitasnya buruk. Tak jarang, air itu keruh atau berbau. Dampaknya pun merambah ke masalah kesehatan.

"Biasa semacam batuk, cacar air, bahkan sudah tidak pergi sekolah karena anak-anak tidak mau pergi sekolah kalau tidak mandi. Mana lagi antrean airnya pakai waktu lama," katanya.

Dia sendiri memiliki tiga anak dan salah satunya telah berhenti sekolah sejak lama. Krisis air ini nyatanya berdampak sejauh itu hingga merambah masalah sosial dan pendidikan.

"Banyak anak-anak putus sekolah gara-gara itu (krisis air). Seperti ini anak saya tidak sekolah, padahal sudah 11 tahun," kata Hajra sembari menunjuk salah satu anaknya.

Janji PDAM menguap: air bersih tak kunjung mengalir

Kendataan pengangkut air bersih yang digunakan warga Buloa Makassar, Sabtu (26/4/2025). IDN Times/Ashrawi Muin

Hajra tidak tinggal diam. Dia aktif dalam pertemuan-pertemuan warga bersama WALHI, LAPAR Sulsel, dan Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM). Dari sana, dia belajar bahwa hak atas air bukanlah sekadar kebutuhan, melainkan juga bagian dari perjuangan atas kehidupan yang layak.

“Dulu orang tua kami tidak sekolah, jadi sering dibodohi. Sekarang kami tidak mau tinggal diam,” ucapnya tegas.

Warga mendesak agar PDAM dan Pemerintah Kota Makassar segera mewujudkan janji untuk mengalirkan air bersih ke setiap rumah. Bagi Hajra dan tetangganya, pipa rumah ke rumah lebih adil dibanding satu titik penampungan yang kerap memicu konflik antarwarga.

Menurutnya, sistem penampungan seperti itu justru menimbulkan konflik karena banyak warga enggan mengalah. Dia menyampaikan, warga lebih memilih membeli mesin sendiri jika memang diperlukan, asalkan distribusi air merata.

"Itu saja harapan semua warga tiap saya datang pertemuan, mudah-mudahan betulan ada bantuan masuk, air PDAM dan kalau memang ada cerita karena warga dari WALHI saya dengar pipanya mulai dikerja. Mudah-mudahan kalau kemauan warga di Buloa itu pipa masih satu tiap rumah. Lama sekali orang menderita di sini," katanya.

Hajra juga menyinggung proyek Makassar New Port (MNP) yang dibangun tak jauh dari permukiman mereka. Alih-alih membawa manfaat, keberadaan Proyek Strategis Nasional (PSN) rezim Presiden Jokowi, itu justru dinilai memperparah krisis air bersih di wilayah mereka.

Suaminya yang berprofesi sebagai nelayan pun terpaksa harus melaut lebih jauh. Sebab, ikan menjadi sulit didapatkan sejak dibangunnya megaproyek tersebut.

"Sejak dibangun ini MNP, tambah susah air bersih karena lari ke belakang (MNP) semua aliran airnya," ucapnya.

Mengapa hotel dan kafe lebih dulu dapat air bersih?

Gerobak pengangkut air bersih yang digunakan warga Buloa Makassar, Sabtu (26/4/2025). IDN Times/Ashrawi Muin

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menilai, krisis air bersih yang telah lama mendera warga Kecamatan Tallo, Makassar, tidak bisa dilepaskan dari persoalan struktural. Hal ini dimulai dari ketimpangan distribusi, kerusakan daerah aliran sungai (DAS), hingga privatisasi layanan air bersih menjadi faktor yang saling berkaitan dan memperparah situasi.

Slamet Riyadi, Staf Advokasi dan Kajian WALHI Sulsel, menjelaskan warga di kawasan utara Makassar seperti Tallo merupakan pelanggan PDAM yang aktif. Namun, mereka yang justru paling sering mengalami kelangkaan air bersih.

Dia mengatakan, bedasar pengamatan lapangan WALHI, terjadi diskriminasi distribusi air antara wilayah Makassar bagian utara dengan bagian barat. Padahal, jumlah pelanggan PDAM di wilayah utara kota lebih banyak dibandingkan Makassar bagian barat tapi volume air yang disalurkan justru lebih banyak ke wilayah barat kota.

Jika ditelisik lebih jauh, maka hal ini, kata Slamet, kemungkinan karena di Makassar bagian barat adalah kawasan industri dan jasa. "Di situ kan ada banyak usaha kafe, rumah makan, hotel. Kalau seperti hotel kan terhitung satu pelanggan saja," kata Slamet kepada IDN Times.

"Air yang mereka gunakan itu kan besar. Sama juga dengan kafe atau warung makan. Di Kota Makasar, itu mayoritas terdistribusi karena volumenya dalam jumlah sangat besar itu di bagian barat," tambah Slamet.

Dia mengatakan, ketimpangan ini memunculkan ironi. Pasalnya, warga miskin kota yang seharusnya menjadi prioritas justru menjadi korban dari kebijakan distribusi air bersih yang tidak adil. Saat ini, air bersih seakan telah menjadi komoditas bagi segelintir warga.

"Kami coba memotret ternyata ada semacam privatisasi air bersih. Di sana, kan, ada yang menjual air. Itu mereka mendapatkan akses yang berlebih dibandingkan dengan warga yang ada di sekitar Kecamatan Tallo. Itu juga menjadi satu persoalan yang saling mempengaruhi persoalan air bersih," katanya.

WALHI juga menyoroti kondisi lingkungan di kawasan hulu yang berdampak langsung terhadap ketersediaan air baku. Dari tiga DAS utama yang menyuplai air ke Makassar, yakni Maros, Jeneberang, dan Tallo, seluruhnya telah mengalami tekanan ekologis. DAS Maros, misalnya, hanya memiliki tutupan hutan sekitar 19 persen. Angka ini jauh dari batas ideal sebesar 30 persen.

"Kalau tutupan hutannya minim, artinya, sedimentasi yang bisa menyebabkan air keruh, itu semakin banyak atau semakin besar. Itulah yang membuat misalnya PDAM susah mengolah air bakunya karena tingkat kekeruhan airnya," jelas Slamet.

Bendungan Lekopancing di Maros sebagai pemasok sumber air baku hanya sedikit yang bisa diolah karena airnya keruh. Kekeruhan ini terjadi karena tutupan hutan yang minim di daerah atau wilayah hulu.

Kondisi geografis Makassar sebagai kota padat penduduk dengan 68 persen wilayah tertutup bangunan juga memperburuk krisis. Menurut WALHI, kota ini kehilangan kemampuan menyerap dan menyimpan air hujan.

"Yang harus juga dilihat adalah persoalan lonjakan industrialisasi atau urbanisasi yang kemudian mendorong masifnya lahan-lahan yang seharusnya menjadi wilayah resapan air, yang seharusnya menjadi ruang terbuka hijau akhirnya berubah fungsi menjadi wilayah perumahan, industri atau aspal beton," kata Slamet.

Krisis air ini juga diperparah dengan kondisi perubahan iklim. Slamet menjelaskan pada masa lalu musim masih dapat diprediksi, namun kini hal tersebut menjadi semakin sulit.

Dia mengungkapkan permasalahan air tanah berkaitan erat dengan ketersediaan Cadangan Air Tanah (CAT) yang semakin hari semakin menipis. Hal ini terjadi karena tidak adanya tabungan air yang memadai yaitu suatu kondisi yang diperburuk oleh minimnya ruang resapan yang memungkinkan air tertampung ke dalam tanah.

"Makassar ini krisis tabungan air sebenarnya karena tidak ada tempat atau celah yang memungkinkan air itu bisa tertampung di bawah tanah. Karena lahan yang sudah terbangun sudah sangat besar, kurang lebih 68 persen lahan terbangun," kata Slamet.

Makassar butuh kebijakan air yang adil dan berkelanjutan

Infografis peta kerentanan distribusi air bersih PDAM Makassar/WALHI Sulsel

WALHI Sulawesi Selatan pun mendesak Pemerintah Kota Makassar dan para pemangku kebijakan lainnya untuk segera mengambil langkah konkret dalam menangani krisis air bersih tersebut. Desakan ini juga telah disampaikan dalam hasil penelitian bertajuk Makassar: Kota Dunia yang Krisis Air yang dilakanakan selama empat bulan di Kelurahan Tallo, Buloa, dan Kaluku Bodoa pada 2024 lalu.

Ada lima rekomendasi kebijakan utama yang diajukan WALHI Sulsel. Pertama, yaitu perluasan Ruang Terbuka Hijau (RTH). WALHI mendesak pemerintah segera menambah dan melindungi RTH sebagai wilayah resapan air yang kini semakin tergerus oleh pembangunan dan ekspansi industri.

Kedua, pemulihan Daerah Aliran Sungai (DAS). WALHI menilai kolaborasi lintas wilayah antara Kota Makassar, Gowa, Maros, dan Takalar sangat penting untuk merawat DAS Jeneberang, Tallo, dan Maros yang selama ini memengaruhi debit air dan potensi banjir-kekeringan.

Ketiga, penerapan pajak progresif untuk industri. WALHI mendorong pemberlakuan pajak progresif bagi industri besar pengguna air tanah dan permukaan untuk mengendalikan eksploitasi sumber daya air secara berlebihan.

"Karena selama ini kan kita tidak tahu datanya dan tidak pernah terlihat dengan jelas berapa pajak penggunaan air tanah yang digunakan oleh tiap-tiap hotel itu," kata Slamet.

Keempat, perbaikan tata kelola dan distribusi air bersih. WALHI menilai distribusi air dari PDAM tidak adil dan tidak merata. Warga Makassar utara justru mendapatkan suplai air yang lebih sedikit dibanding wilayah industri di barat kota.

Kelima, penyusunan dokumen adaptasi krisis iklim. WALHI menilai Pemerintah Kota Makassar perlu menyusun perencanaan adaptasi dan mitigasi krisis air bersih sebagai bagian dari strategi menghadapi dampak perubahan iklim.

Meskipun demikian, WALHI mencatat adanya beberapa upaya yang telah dilaksanakan oleh PDAM Kota Makassar untuk mengatasi krisis tersebut. Di antaranya adalah pembangunan intake baru dari Pabaeng-Baeng ke Jalan Lure, serta rencana pemanfaatan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) 5 Somba Opu sebagai sumber air baku tambahan.

Saat ini, Makassar utara mengandalkan suplai dari IPAL 2 Panaikang yang dinilai tidak cukup memenuhi kebutuhan. Langkah PDAM untuk menambah debit dari IPAL 5 ke kawasan utara dinilai sebagai inisiatif positif.

"Mereka coba untuk menambah debit air dari IPAL 5 Somba Opu ke Makassar utara. Semoga rencana itu sebenarnya dijalankan dan ditindaklanjuti oleh jajaran direksi baru," kata Slamet.

Masalah lama solusi darurat ala PDAM

Aksi para perempuan di Kelurahan Tallo Makassar menggugat keadilan distribusi air bersih PDAM, September 2024/ Dok. WALHI Sulsel

Semenara itu, PDAM Kota Makassar menyatakan gangguan distribusi air yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir disebabkan oleh kerusakan teknis pada infrastruktur vital. Humas PDAM Kota Makassar, Idris Tahir, menjelaskan suplai air ke wilayah utara kota, seperti Tallo, Buloa, hingga Camba Berua, mengalami penurunan drastis, bahkan dalam beberapa hari terakhir.

"Memang kondisi air yang tersuplai ke utara kota mengalami penurunan. Yang biasanya itu di kisaran 500 liter per detik ke atas, saat ini maksimal 400-an lebih sedikit. Malah kadang di bawah 400 liter per detik sehingga banyak daerah di utara kota yang mengalami defisit suplai air," katanya.

Penurunan suplai ini, menurut Idris, disebabkan oleh kebocoran pada pipa sifon lama di jalur Bendung Lekopancing. Pipa tersebut terbuat dari asbes dan sudah digunakan sejak tahun 1970-an. Akibat kebocoran itu, air baku yang seharusnya mengalir ke instalasi pengolahan menjadi berkurang sehingga berdampak langsung pada distribusi air ke pelanggan.

Menanggapi pernyataan warga yang menyebut krisis air telah berlangsung selama puluhan tahun, Idris menyebut bahwa pernyataan tersebut tidak sepenuhnya akurat. Dia mengklaim, krisis air tidak terjadi setiap hari secara terus-menerus.

"Tidak murni itu 20 tahun terus-menerus. Pasti dalam interval waktu itu dapat air. Ini kan yang dihitung dalam tiga tahun belakangan ini. Kita sama-sama masih ingat badai El Nino 6 bulan. Tahun berikutnya kena lagi kita El Nino, tahun lalu kena lagi," jelasnya.

Sebagai solusi jangka pendek, PDAM tetap mengoperasikan layanan pengantaran air melalui mobil tangki ke wilayah terdampak. Pelanggan yang ingin mendapatkan layanan tersebut diimbau untuk menghubungi call center atau WhatsApp resmi PDAM.

"Kita daftarkan ke divisi terkait untuk dijadwalkan pengantarannya. Ini kita lakukan terus selama air masih bermasalah ke beberapa tempat, tetap kita berkewajiban untuk membantu pelanggan kita yang tidak dapat air," kata Idris.

Saat musim kemarau, Bendung Lekopancing kerap mengalami kekeringan sehingga menghambat pasokan air baku. Inilah yang berdampak pada kekeringan dan krisis air bersih di sejumlah wilayah, khususnya Makassar bagian utara.

"Jadi semua masih berjalan. Untuk daerah utara paling fokus kita sekarang mengantar. Sebagian ini ada di daerah timur kota yang kejauhan seperti BTP, parangloe masih diantarkan, karena kan imbasnya kalau Lekopancing alirannya bermasalah, pasti dua daerah ini yang kena. Pasti timur dan utara kota," kata Idris.

Sementara ketika musim hujan, warga yang mengalami kesulitan air karena kerusakan pipa. Bukan karena kurangnya air di Bendung Lekopancing.

"Air yang dalam perjalanannya dari bendungan ke instalasi itu yang berkurang karena salah satu penyebabnya ini yang sekarang ini adanya kebocoran pipa sifon kita di seksi empat. Alur sungai dari Bendung Lekopancing itu. Kalau normal, airnya sampai 650 liter per detik," kata Idris.

Idris menekankan bahwa PDAM tidak memiliki niat menahan suplai air karena air adalah satu-satunya produk yang mereka jual. Dia menegaskan selama masih ada suplai air baku maka PDAM tetap akan berupaya menyalurkan air ke rumah-rumah warga.

"Tidak ada jualannya PDAM selain air. Jadi tidak ada sama sekali niatannya PDAM untuk tidak memberikan pelanggannya air. Selama air masih bisa disiapkan, air baku masih normal masukdi instalasi, produksi masih bisa dilaksanakan," katanya.

Pelindo akui krisis air bersih di Buloa

Peresmian sistem sarana air bersih yang dilakukan Division Head Pelayanan SDM dan Umum Pelindo Regional 4, Basri Alam bersama Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Makassar, Zuhaelsi Zubir, di Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Makassar pada Selasa (26/9/2023). Dok. Pelindo 4

Di sisi lain, PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo Regional 4 sebagai operator Makassar New Port (MNP), menanggapi normatif keluhan warga. Melalui keterangan tertulis kepada IDN Times, Executive Director 4 Pelindo Regional 4, Abdul Azis tidak menampik protes warga tentang distribusi air bersih PDAM.

Aziz hanya menyebut, Pelindo telah melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan atau TJSL yang merupakan salah satu program perusahaan yang wajib untuk dipenuhi dan dijalankan setiap tahun. Penyerahan bantuan TJSL ditandai dengan peresmian sistem sarana air bersih yang dilakukan Division Head Pelayanan SDM dan Umum Pelindo Regional 4, Basri Alam bersama Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Makassar, Zuhaelsi Zubir, di Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo, Kota Makassar pada Selasa, 26 September 2023 silam.

“Tujuan dari program TJSL Pelindo yaitu untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, terutama di area lingkungan kerja perusahaan dengan fokus pada tiga bidang, yakni pendidikan, UMKM atau Usaha Mikro Kecil Menengah, serta Bina Lingkungan dan salah satu yang telah dilakukan adalah penyediaan air bersih di Kelurahan Tallo Kota Makassar. Alhamdulillah kita sudah meresmikannya bersama Pemerintah Kota Makassar, dalam hal ini Dinas PU pada tahun 2023 lalu,” ujarnya.

Dia pun mengamini bahwa permasalahan utama di Kelurahan Tallo adalah sulitnya akses air bersih. “Di kelurahan tersebut cukup langka air. Sehingga kami dari Pelindo bekerja sama dengan Human Initiative tergerak untuk membantu masyarakat di sini dan untuk mencari lokasi air yang bisa digali dan kemudian dilakukanlah pengeboran beserta pipanisasi ke rumah-rumah warga,” katanya.

Pihaknya mengaku bersyukur upaya untuk merealisasikan bantuan berupa sistem sarana air bersih ini dapat menjangkau sekitar 100 rumah warga di Kelurahan Tallo. 

“Pelindo dengan pemerintah daerah punya program yang sama untuk menyejahterakan masyarakat melalui program TJSL yang ada di perusahaan,” imbuhnya.

Editorial Team