Gerobak pengangkut air bersih yang digunakan warga Buloa Makassar, Sabtu (26/4/2025). IDN Times/Ashrawi Muin
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan menilai, krisis air bersih yang telah lama mendera warga Kecamatan Tallo, Makassar, tidak bisa dilepaskan dari persoalan struktural. Hal ini dimulai dari ketimpangan distribusi, kerusakan daerah aliran sungai (DAS), hingga privatisasi layanan air bersih menjadi faktor yang saling berkaitan dan memperparah situasi.
Slamet Riyadi, Staf Advokasi dan Kajian WALHI Sulsel, menjelaskan warga di kawasan utara Makassar seperti Tallo merupakan pelanggan PDAM yang aktif. Namun, mereka yang justru paling sering mengalami kelangkaan air bersih.
Dia mengatakan, bedasar pengamatan lapangan WALHI, terjadi diskriminasi distribusi air antara wilayah Makassar bagian utara dengan bagian barat. Padahal, jumlah pelanggan PDAM di wilayah utara kota lebih banyak dibandingkan Makassar bagian barat tapi volume air yang disalurkan justru lebih banyak ke wilayah barat kota.
Jika ditelisik lebih jauh, maka hal ini, kata Slamet, kemungkinan karena di Makassar bagian barat adalah kawasan industri dan jasa. "Di situ kan ada banyak usaha kafe, rumah makan, hotel. Kalau seperti hotel kan terhitung satu pelanggan saja," kata Slamet kepada IDN Times.
"Air yang mereka gunakan itu kan besar. Sama juga dengan kafe atau warung makan. Di Kota Makasar, itu mayoritas terdistribusi karena volumenya dalam jumlah sangat besar itu di bagian barat," tambah Slamet.
Dia mengatakan, ketimpangan ini memunculkan ironi. Pasalnya, warga miskin kota yang seharusnya menjadi prioritas justru menjadi korban dari kebijakan distribusi air bersih yang tidak adil. Saat ini, air bersih seakan telah menjadi komoditas bagi segelintir warga.
"Kami coba memotret ternyata ada semacam privatisasi air bersih. Di sana, kan, ada yang menjual air. Itu mereka mendapatkan akses yang berlebih dibandingkan dengan warga yang ada di sekitar Kecamatan Tallo. Itu juga menjadi satu persoalan yang saling mempengaruhi persoalan air bersih," katanya.
WALHI juga menyoroti kondisi lingkungan di kawasan hulu yang berdampak langsung terhadap ketersediaan air baku. Dari tiga DAS utama yang menyuplai air ke Makassar, yakni Maros, Jeneberang, dan Tallo, seluruhnya telah mengalami tekanan ekologis. DAS Maros, misalnya, hanya memiliki tutupan hutan sekitar 19 persen. Angka ini jauh dari batas ideal sebesar 30 persen.
"Kalau tutupan hutannya minim, artinya, sedimentasi yang bisa menyebabkan air keruh, itu semakin banyak atau semakin besar. Itulah yang membuat misalnya PDAM susah mengolah air bakunya karena tingkat kekeruhan airnya," jelas Slamet.
Bendungan Lekopancing di Maros sebagai pemasok sumber air baku hanya sedikit yang bisa diolah karena airnya keruh. Kekeruhan ini terjadi karena tutupan hutan yang minim di daerah atau wilayah hulu.
Kondisi geografis Makassar sebagai kota padat penduduk dengan 68 persen wilayah tertutup bangunan juga memperburuk krisis. Menurut WALHI, kota ini kehilangan kemampuan menyerap dan menyimpan air hujan.
"Yang harus juga dilihat adalah persoalan lonjakan industrialisasi atau urbanisasi yang kemudian mendorong masifnya lahan-lahan yang seharusnya menjadi wilayah resapan air, yang seharusnya menjadi ruang terbuka hijau akhirnya berubah fungsi menjadi wilayah perumahan, industri atau aspal beton," kata Slamet.
Krisis air ini juga diperparah dengan kondisi perubahan iklim. Slamet menjelaskan pada masa lalu musim masih dapat diprediksi, namun kini hal tersebut menjadi semakin sulit.
Dia mengungkapkan permasalahan air tanah berkaitan erat dengan ketersediaan Cadangan Air Tanah (CAT) yang semakin hari semakin menipis. Hal ini terjadi karena tidak adanya tabungan air yang memadai yaitu suatu kondisi yang diperburuk oleh minimnya ruang resapan yang memungkinkan air tertampung ke dalam tanah.
"Makassar ini krisis tabungan air sebenarnya karena tidak ada tempat atau celah yang memungkinkan air itu bisa tertampung di bawah tanah. Karena lahan yang sudah terbangun sudah sangat besar, kurang lebih 68 persen lahan terbangun," kata Slamet.