Tangkapan layar saat terdakwa Mayor (purn) Inf. Isak Sattu beri penghormatan di sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM di Paniai 2014 digelar di Pengadilan Negeri (PN) Makassar. (Dahrul Amri/IDN Times Sulsel)
Pada sidang sebelumnya, terdakwa Mayor (Purn) Isak Sattu menganggap, penetapan status tersangka dan terdakwa terhadapnya dalam kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada tanggal 8 Desember 2014 di Paniai adalah prematur.
"Pembelaan saya sebagai terdakwa, apa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum terhadap saya (itu) prematur, dan belum memenuhi syarat," kata Isak saat sidang.
"Belum memenuhi syarat karena dipaksakan dijadikan saya tunggal dari sekian banyak saksi-saksi yang diperiksa, padahal ada saksi-saksi yang lebih berpotensi ditingkatkan sebagai tersangka atau terdakwa tapi tidak didalami oleh tim pemeriksa," lanjutnya.
Kasus pelanggaran HAM berat di Paniai Papua terjadi pada tanggal 8 Desember 2014 silam. Peristiwa itu bermula saat tiga orang pemuda Paniai diduga dianiaya sejumlah orang di Pondok Natal Bukit Tanah Merah, Kampung Ipakiye, Paniai, Papua.
Hal itu pun kemudian memicu unjuk rasa warga Paniai ke lapangan Karel Gobai di Paniai Timur tepat di depan kantor Koramil 1705 Enarotali akibat unjuk rasa itu, terjadi penembakan, empat orang meninggal dan beberapa orang mengalami luka-luka.
Menurut Isak Sattu, jaksa penuntut umum berpendapat bahwa dia selaku terdakwa dan saat kejadian sebagai orang bertanggung jawab karena dinilai melakukan tindakan dan aksi pembiaran terhadap anggota TNI Koramil Enarotali 1705 saat kejadian.
"Jaksa berpendapat bahwa saya terdakwa membiarkan ada sistematik penyerangan yang meluas terencana kepada penduduk sipil. (padahal) saya sudah melakukan pencegahan dan juga prosedur yang berlaku," ungkap Isal saat baca pembelaan.
"Jaksa penuntut umum juga memaksakan saya untuk harus mengetahui kejadian yang terjadi pada tanggal 7 Desember 2014 (pasca kejadian tanggal 8) yang benar-benar saya belum tahu saat itu, ini sudah saya sampaikan ke berita acara," sambungnya.