Setrum di Kandang Modern Bikin Peternak Tambah Untung

“Pada closed house farm, jantungnya adalah listrik. Ketika listrik tidak ada, maka selesai. Jadi kita sangat tergantung pada pasokan listrik dari PLN…”
Makassar, IDN Times – Siang itu Mustakim tengah berdiri di sebuah lahan perbukitan. Di hadapannya berdiri tiga bangunan memanjang berlantai dua, tempat puluhan ribu ayam ras pedaging alias broiler berkandang.
Bangunan dengan rangka besi itu berbeda dari kandang pada umumnya. Sekeliling dinding ditutupi tirai terpal hingga nyaris tak ada celah. Ayam-ayam di dalamnya terisolasi dari dunia luar. Tapi tidak ada kesan pengap atau gerah saat memasuki kandang. Bahkan, siang itu hawanya terasa lebih sejuk dibandingkan di luar yang tengah terik.
Mustakim merupakan seorang peternak ayam di Desa Belapunranga, Kecamatan Parangloe, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Pemuda berusia 36 tahun itu menerapkan sistem closed house farm pada usaha peternakan ayamnya. Kini dia mengelola enam kandang pada tiga lokasi peternakan dengan kapasitas 160 ribu ekor dalam sekali masa panen.
Sesuai namanya, closed house farm merupakan konsep peternakan modern di mana semua bagian kandang dibuat tertutup. Interior kandang didesain layaknya sebuah lorong udara dengan kemampuan pengendalian temperatur. Pada satu sisi dinding, sistem udara menyemburkan oksigen segar ke seisi ruangan, lalu pada sisi berlawanan terdapat ventilasi berupa kipas-kipas untuk menyedot udara kotor keluar.
“Yang membedakan memang peralatan. Karena kandang tertutup, kita menggunakan blower untuk mengisap udara atau amoniak dari dalam, menariknya keluar, lalu diganti dengan oksigen baru,” kata Mustakim saat berbincang dengan IDN Times, di kawasan peternakannya, Rabu, 14 Desember 2022.
Kandang tertutup menjamin keamanan ayam dari kontak dengan organisme lain sehingga tidak rentan stres. Konsep itu menekan kematian dan mempercepat pertumbuhan ayam, yang berujung pada meningkatnya produktivitas peternakan. Mustakim menyebut setidaknya ada empat struktur utama pada sistem closed house. Yakni heater dan cooling pad sebagai pengatur suhu udara masuk, blower untuk sirkulasi udara keluar, serta jaringan listrik untuk mengoperasikan sistem udara.
“Pada closed house farm, jantungnya adalah listrik. Ketika listrik tidak ada, maka selesai. Jadi kita sangat tergantung pada pasokan listrik dari PLN,” ucapnya.
Biaya operasional ditekan hingga puluhan juta per bulan
Mustakim mulai beternak ayam sejak tahun 2019, setelah meninggalkan pekerjaan lamanya di bidang media kreatif lalu berkeliling mempelajari manajemen kandang. Berjalan dua setengah tahun, kini dia mempekerjakan hampir 40 orang yang sebagian besar dari lingkungan desanya sendiri.
Pendapatan atau untung dari peternakan ayam broiler antara Rp4.500 hingga Rp7 ribu per ekor. Untuk mendapatkan laba bersih, nilainya dikurangi biaya operasional Rp1.500 per ekor. Itu untuk gaji karyawan, pembelian sekam, dan pengeluaran lainnya. Dengan kapasitas kandang 160 ribu ekor, kamu bisa membayangkan berapa untung yang diraup Mustakim sekali panen.
“Tapi semua tergantung dari manajemen kita di kandang. Kembali lagi ke manajemen. Kalau kurang bagus, tetap saja tidak bisa,” ucapnya.
Soal manajemen kandang, pemilihan sumber energi diakui Mustakim sangat penting. Menurutnya, perlu perhitungan tepat dalam hal itu agar keuangan efisien. Dia kemudian memaparkan alasan menggunakan listrik dari PLN untuk menunjang aktivitas closed house farm miliknya.
Setiap kandang Mustakim dengan luas 12 x 84 meter disuplai listrik 16.500 VA. Setiap bulan, biaya konsumsi listrik per kandang antara Rp6 juta hingga Rp8 juta. Jumlah pengeluaran bisa tiga kali lipat jika misalnya kandang menggunakan tenaga diesel dari genset sebagai sumber energi.
Hitung-hitungannya begini. Jika menggunakan tenaga genset, dibutuhkan empat liter solar per jam agar sistem kelistrikan kandang terus beroperasi. Berarti dalam sehari atau 24 jam perlu 100 liter solar industri yang bernilai Rp1,2 juta.
“Jika dikali sebulan, berarti butuh Rp36 juta per satu kandang. Secara efisiensi, memang lebih efisien menggunakan tenaga listrik,” Mustakim menerangkan.
“Untuk listrik, alhamdulillah kita di Kabupaten Gowa, khususnya Parangloe, teman-teman PLN sangat men-support dengan keberadaan ini,” dia menambahkan.
Saat biaya operasional bisa ditekan, sistem closed house farm juga meningkatkan produktivitas peternakan. Mustakim mengatakan, peternakan modern cuma butuh waktu 21 hingga 23 hari untuk panen dengan bobot ayam 1,2 kilogram. Bandingkan dengan kandang konvensional, di mana rata-rata masa panen mencapai 27 sampai 30 hari.
“Untuk mencapai bobot 3 kilogram, 35-36 hari kita sudah dapat. Sedangkan teman open house, untuk capai bobot itu bisa saja sampai 45 hari. Perbedaannya selisih 10 hari,” kata Mustakim.
Ada beberapa pertimbangan lain Mustakim memilih model peternakan closed house. Salah satunya efisiensi lahan. Dalam satu bangunan, kandang tertutup bisa dibikin sampai dua atau tiga tingkat.
Pertimbangan lainnya adalah segi kuantitas atau populasi. Temperatur dan kelembaban yang bisa disesuaikan memungkinkan ayam hidup dengan kerapatan atau idensity lebih besar pada kandang tertutup. Misalkan pada kandang konvensional satu meter persegi bisa memuat delapan ekor ayam, pada kandang tertutup mampu mencapai 16 ekor.
Mustakim melihat potensi peternakan ayam broiler dengan sistem kandang tertutup punya masa depan cerah. Dia sendiri menargetkan peternakannya dengan skala lebih besar bisa menampung 500 ribu ekor ayam di tahun 2023, lalu satu juta ekor pada 2027.
“Untuk progresnya kita optimis, karena untuk Sulawesi sebenarnya masih kekurangan 30 persen dari kebutuhan ayam. Itu peluang bagi teman-teman peternak,” katanya.