Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ketua Dewan Hakim MQK Internasional 2025 Said Agil Husin Al-Munawar mengisi sesi Fajr Inspiration, Minggu (5/10/2025). (Dok. Istimewa)
Ketua Dewan Hakim MQK Internasional 2025 Said Agil Husin Al-Munawar mengisi sesi Fajr Inspiration, Minggu (5/10/2025). (Dok. Istimewa)

Makassar, IDN Times — Ketua Dewan Hakim Musabaqah Qiraatil Kutub Internasional (MQKI) 2025, Said Agil Husin Al Munawwar, menyebut bahwa gelaran MQKI yang berlangsung 2–7 Oktober di Wajo, Sulawesi Selatan, merupakan momentum strategis untuk menghidupkan kembali tradisi literasi Islam. Ia berharap santri tak hanya membaca, tetapi juga terinspirasi untuk menulis dan merawat warisan keilmuan ulama masa silam.

Menurut Said Agil, semangat membaca dan menulis yang dijunjung para ulama dahulu menjadi fondasi penting agar khazanah keilmuan Islam tetap lestari hingga kini.

“Para ulama dahulu tidak hanya mengajarkan ilmu secara lisan, tetapi juga menuliskannya dengan tekun. Karena itulah khazanah keilmuan Islam tetap lestari hingga sekarang,” ujarnya dalam sesi Fajr Inspiration di Masjid Ummul Quro, Wajo, Minggu (5/10/2025). I

a menggarisbawahi bahwa kitab turats bukanlah artefak semata, melainkan “warisan intelektual yang sangat berharga”. “MQKI bukan sekadar lomba membaca kitab kuning, tetapi juga upaya merawat tradisi literasi ulama agar terus hidup di tengah umat,” tegasnya.

1. Memaknai tradisi keilmuan ulama

Ketua Dewan Hakim MQK Internasional 2025 Said Agil Husin Al-Munawar mengisi sesi Fajr Inspiration, Minggu (5/10/2025). (Dok. Istimewa)

Said Agil menyoroti bagaimana tradisi keilmuan Islam sejak masa klasik ditandai tidak hanya oleh dialog lisan antar ulama, tetapi juga produk tulisan yang sangat kaya. Ia menyebut bahwa sebuah kitab satu jilid sering kali berkembang dengan syarah, komentar, hingga versi ulasan beragam. Dalam disiplin hadits, ia mencontohkan ragam genre karya seperti shahih, sunan, musnad, dan mustadrak, semua berakar dari tangan-tangan ulama yang tekun menulis.

Melalui penekanan tersebut, Said Agil mendorong agar santri zaman kini kembali menjadikan pena sebagai media perjuangan ilmu, bukan hanya mulut sebagai sarana berdakwah. Ia bercita-cita agar generasi muda berperan aktif dalam menumbuhkan kesadaran bahwa membaca dan menulis adalah jalan menjaga otoritas keilmuan Islam — agar umat tidak tergantung semata pada warisan teks lama yang jauh panggang dari api aktualisasi kontemporer.

2. MQKI lebih dari sekadar lomba

Peserta ajang Musabaqah Qiraatil Kutub Internasional (MQKI) I tahun 2025, yang digelar di Pondok Pesantren As'adiyah Wajo, Sulawesi Selatan, Kamis (2/10/2025). (IDN Times/Aan Pranata)

Penyelenggaraan MQKI Internasional 2025 di Wajo, menurut Said Agil, menandai bahwa kompetisi ini tidak semata ajang adu bacaan kitab kuning. Dalam pandangannya, lomba ini adalah sarana vital merawat tradisi literasi ulama agar terus hidup di tengah umat. Ia berharap MQKI menjadi pemantik agar santri dan pelajar Islam memahami bahwa kitab turats bukan lembaran kuno yang usang, melainkan ruang dialog kekinian antara generasi masa kini dengan warisan para ulama.

Dari data MQKI sebagaimana dilaporkan, awalnya sekitar 8.773 santri dari 1.218 lembaga pesantren dan Ma’had Aly mengikuti seleksi digital berbasis CBT, dan kemudian 10 besar dari tiap provinsi tampil di penyisihan regional hingga nasional. Selain peserta nasional, MQKI kali ini juga diikuti delegasi dari negara-negara Asia Tenggara—menunjukkan MQKI berperan sebagai medium jejaring keilmuan lintas negara.

3. Dominasi media digital jadi tantangan

Peserta ajang Musabaqah Qiraatil Kutub Internasional (MQKI) I tahun 2025, yang digelar di Pondok Pesantren As'adiyah Wajo, Sulawesi Selatan, Kamis (2/10/2025). (IDN Times/Aan Pranata)

Namun, menghidupkan tradisi literasi bukan tanpa tantangan. Santri masa kini dihadapkan pada dominasi media digital dan budaya cepat, yang bisa mengikis kesabaran dan kedalaman dalam membaca teks klasik. Selain itu, akses dan kualitas pendidikan baca tulis kitab kuning di beberapa daerah masih timpang. Untuk itu, semangat seperti yang digelorakan Said Agil harus diikuti dengan dukungan kelembagaan: kurikulum pesantren yang menekankan karya tulis, fasilitasi penerbitan santri, dan kolaborasi dengan lembaga riset.

Di sisi lain, momentum MQKI di Wajo membuka ruang optimistis bahwa tradisi keilmuan klasik dapat dijadikan pijakan melahirkan ulama baru yang adaptif terhadap tantangan zaman. Bila ajang seperti ini terus digelar, tidak hanya sebagai kompetisi, tetapi sebagai ekosistem literasi, maka kemungkinan warisan ulama masa lalu tidak sekadar dipelihara, melainkan berkembang dan relevan bagi generasi mendatang.

Editorial Team