Amin menjelaskan, tambang pasir di perairan Spermonde, khususnya perairan Sangkarrang, telah menyebabkan perubahan yang signifikan di dasar laut sehingga pola arus dan gelombang menjadi lebih besar. Dampak abrasi pun timbul dan mengikis sebagian besar bibir pantai.
Selain itu, terjadi peningkatan sedimen, merusak ekosistem terumbu karang sehingga menurunkan populasi ikan di sekitar perairan Spermonde. “Terutama di wilayah Copong menurun drastis. Padahal itu merupakan zona tangkap utama bagi ribuan nelayan, tidak hanya yang di Pulau Kodingareng, tetapi juga nelayan di pulau-pulau kecil lainnya,” jelas Amin.
Meski aktivitas penambangan pasir laut telah berhenti, namun nelayan masih kesulitan untuk melaut. Apalagi, hasil tangkapan mereka juga belum kembali normal seperti sebelum adanya penambangan. Hal tersebut diungkapkan Aswin, salah satu dari seribuan nelayan Pulau Kodingareng yang selama ini berjuang menolak penghentian tambang pasir.
“Sekarang kondisi di Copong sudah berubah sejak kapal tambang masuk (beroperasi). Wilayah tangkapan ikan sekitar Copong selalu keruh seperti air cucian beras. Kabur, kami susah melihat. Kami susah dapatkan hasil tangkapan seperti dulu,” ungkap nelayan panah ini dalam pertemuan yang sama.
Jumiati, perwakilan kelompok perjuangan perempuan Kodingareng menambahkan, dampak lain yang dirasakan selama ini adalah renggangnya silaturahmi sosial dengan tetangga hingga internal keluarga. “Biasanya kita harus utang ke tetangga, karena hasil tangkapan sudah tidak ada. Belum lagi bertengkar biasa untuk beli bensin kapal (perahu) sama uang jajan anak-anak,” imbuhnya.
Jumiati adalah satu dari 2.251 perempuan Kodingareng yang merasakan dampak langsung akibat penambangan pasir laut. Dia menegaskan, sampai kapan pun tidak akan pernah berhenti berjuang menolak aktivitas penambangan pasir laut hingga izinnya betul-betul dicabut oleh Pemprov Sulsel.