Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Wisatawan menyusuri Sungai Pute dengan perahu listrik di kawasan karst Rammang-Rammang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. (IDN Times/Aan Pranata)
Wisatawan menyusuri Sungai Pute dengan perahu listrik di kawasan karst Rammang-Rammang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. (IDN Times/Aan Pranata)

Maros, IDN Times – Perahu yang dikemudikan Sunardi membelah Sungai Pute dengan senyap. Suara gelombang terdengar lirih, bersamaan riak kecil yang memecah permukaan air kehijauan itu. Di kedua sisi, jajaran pohon nipah dan bakau berdiri rapat. Dari sanalah sumber musik pagi itu berasal: suara burung-burung liar yang saling bersahutan.

Tenangnya air sungai memantulkan bayangan sempurna dari tebing-tebing karst yang menjulang angkuh. Dinding batu kapur itu berdiri laksana pilar-pilar penjaga sebuah dunia tersembunyi.

Pagi itu, Minggu 12 Oktober 2025, Sunardi tengah mengangkut rombongan wisatawan asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Feri, salah seorang dari sepuluh penumpang, takjub dengan pemandangan yang terpampang di hadapannya. Bentang alam berlatar labirin tebing-tebing karst menara yang dramatis.

Inilah Rammang-Rammang. Sebuah gugusan batu kapur raksasa, bagian inti dari Maros-Pangkep UNESCO Global Geopark, yang disebut-sebut sebagai kawasan taman karst terbesar kedua di dunia. Kawasan ini ada di Desa Salenrang, yang terletak di Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Berjarak sekitar satu setengah jam perjalanan darat dari Makassar, ibu kota provinsi.

Rammang-Rammang merupakan bagian dari lintasan karst Maros-Pangkep. Pada deretan menara batu kapur menjulang, di dalamnya tersembunyi 572 gua horizontal dan vertikal yang menjadi laboratorium alam bagi para arkeolog dan ahli speleologi. Gua-gua ini bukan hanya rumah bagi sistem sungai bawah tanah, tetapi juga menyimpan 332 artefak prasejarah, termasuk lukisan babi rusa berusia 45.500 tahun di Leang Tedongnge, yang disebut-sebut sebagai seni figuratif tertua di dunia.

Alur Sungai Pute merupakan denyut nadi kehidupan di sini. Karena tidak ada jalan aspal, sungai inilah satu-satunya gerbang utama untuk meresapi jantung karst Rammang-Rammang. Dari sebuah dermaga sederhana di Desa Salenrang, pengunjung mesti menaiki jolloro, sebutan bagi perahu tradisional, menyusuri sungai berkelok menuju perkampungan terakhir Berua, untuk menyaksikan keagungan bentangan karst.

Feri, yang sedari tadi terhanyut oleh semua kemegahan itu, tiba-tiba menyadari sesuatu yang janggal. Sesuatu yang sebenarnya telah ia rasakan sejak awal namun baru diprosesnya: keheningan perahu jolloro yang ia tumpangi.

"Bunyi mesin tidak seperti biasanya," ujar Feri, lebih pada dirinya sendiri, sebelum menoleh ke Sunardi. "Saya tidak sadar kalau perahu sudah jalan. Ternyata memang tidak bersuara karena perahu pakai motor listrik."

Sunardi tersenyum di buritan. Inilah respons yang sering ia dengar saat mengemudi perahu sekaligus memandu para tamu yang menikmati wisata ekologi di kawasan Rammang-Rammang.

Kemewahan Ekologis Bernama Keheningan

Perahu listrik itu melaju pelan, stabil di kecepatan 7 hingga 8 kilometer per jam. Jauh lebih lambat dibanding deru mesin tempel konvensional berbahan bakar bensin yang biasa meraung membelah sungai ini. Perjalanan dari Dermaga 1 ke Dermaga 3, yang berjarak sekitar tiga kilometer, butuh waktu tempuh 40 menit.

“Orang beda-beda, ada yang mau menikmati perjalanan, ada yang mau asal sampai,” kata Sunardi.

Rombongan Feri jelas tipe pertama. Dalam kesenyapan itu, desau angin yang menyapu pucuk-pucuk pepohonan terdengar jernih. Lanskap purba Rammang-Rammang terasa lebih khidmat, lebih agung.

Keheningan ini adalah sebuah kemewahan ekologis. Sunardi bercerita, di sepanjang aliran sungai ini, hidup berbagai satwa endemik. Salah satunya burung belibis yang oleh masyarakat lokal disebut cawiwi. Satwa cantik ini adalah salah satu daya tarik bagi wisatawan.

“Kalau dengan suara bising mesin, burungnya pasti terbang. Tapi kalau naik perahu listrik, kita bisa mendekat. Bahkan sangat mudah mengambil gambarnya, foto-foto dari dekat.”

Bagi Sunardi, kesenyapan ini bukan sekadar fitur. Ini adalah misi. Perahu berdaya 3 kilowatt yang ia kemudikan adalah buah dari pengembangan dan pemikiran panjang.

"Kurang lebih enam tahun kita lakukan penelitian sama-sama dengan PLN," tuturnya. Tujuannya satu: "Kita akan menjaga ekosistem."

Percikan Listrik yang Mengubah Wajah Ekowisata

Semua dimulai pada tahun 2018, saat Perusahaan Listrik Negara (PLN) berisiatif menjajaki bantuan pengadaan perahu Listrik di Rammang-Rammang. PLN memberikan paket perahu berbahan serat kaca (fiber) dan mesin motor listrik kepada masyarakat terpilih. Sunardi, satu dari seratusan pengemudi jolloro setempat, ditunjuk sebagai pilot project.

Bantuan ini bertujuan menciptakan ekowisata yang lebih bersih dan nyaman. Andy Mulya selaku Team Leader Sales Retail PLN Unit Layanan Pelanggan (ULP) Maros mengatakan, program ini lahir dari ide sederhana: membuat wisata yang indah tanpa merusak keindahan itu sendiri. Dalam satu tahun, pengunjung Rammang-Rammang bisa mencapai 50 ribu orang.

“Kami ingin bantu masyarakat, dan sekaligus mendukung pariwisata bebas polusi,” kata Andy. “Setelah wisatawan coba perahu listrik, mereka bilang jauh lebih nyaman. Tidak berisik, tidak bau. Kalau semua pakai listrik, bayangkan betapa tenangnya sungai ini.”

Upaya ini tidak segampang membalik telapak tangan. Masyarakat setempat sudah lama mengandalkan mesin konvensional sebagai penggerak perahu, baik untuk transportasi sehari-hari maupun untuk mengantar wisatawan.

Namun setidaknya percik kecil itu mulai menyala terang. Dari awalnya satu, kini sudah ada tujuh perahu listrik di Rammang-Rammang. Ada lima bantuan dari Pemerintah Kabupaten Maros, yang terinspirasi oleh PLN. Andy berharap inisiatif ini bisa berkembang ke skala lebih luas, agar semakin banyak pelaku wisata beralih.

"Kami berkolaborasi dengan pemerintahan ingin mewujudkan yang namanya wisata bebas polusi," jelas Andy. "Kan ini yang dilalui garis start sampai finish begitu indah. Pohon-pohon, burung-burung, semua pemandangan. Kalau semua pakai listrik, kita bisa menuju zero emisi."

Perahu listrik di Rammang-Rammang bukan teknologi yang datang secara utuh. Ini adalah proses adaptasi yang melibatkan Sunardi dan rekan-rekan teknisi. Salah satu contohnya Adalah pengembangan baterai yang disesuaikan dengan kapasitas muat perahu sepanjang 6,2 meter dan lebar 1 meter.

"Dulu pertama kita pakai aki mobil. Mesin kapalnya kan berkapasitas daya 48 volt. Kalau pakai aki mobil, butuh empat diparalel. Jadi setengah mati karena berat. Itu yang pertama direvisi."

Kini, satu baterai sudah cukup, berkapasitas 48 volt. Motornya pun dirancang khusus agar terkesan mirip seperti mesin tempel pada jolloro konvensional untuk mempertahankan identitas perahu setempat. Hasilnya adalah sebuah perahu yang tak menonjol, ibarat sebuah kamuflase teknologi.

"Tamu-tamu itu bahkan sudah jauh baru bertanya, ‘Ini sudah jalan?’ Itu kalau tamu lokal," kata Sunardi sambil tertawa kecil. "Tapi kalau turis asing tidak kaget, karena yang seperti ini sudah biasa di Eropa sana."

Untung Hitungan Ekonomi dan Ekologi

Bagi Sunardi, hitungan ekonomi dan ekologi sudah tak terbantahkan. Untuk satu kali perjalanan pulang-pergi menyusuri kawasan karst Rammang-Rammang, ia hanya menghabiskan 2 kWh. "Kurang lebih Rp3 ribu satu kali charger penuh baterai. Itu cukup untuk pulang-balik."

Bandingkan dengan mesin konvensional yang meminum bahan bakar satu liter bensin untuk rute yang sama. Bensin pun tidak mudah didapat, mesti beli di pengecer dengan harga Rp15 ribu hingga Rp20 ribu per botol. Adapun tarif perahu untuk wisatawan sekali jalan Rp200 ribu hingga Rp350 ribu, tergantung jumlah rombongan.

"Kalau saya beli Rp50 ribu token listrik, bisa saya pakai satu bulan buat isi baterai perahu. Kalau konvensional, kita pakai eceran Rp20 ribu satu botol, biasa kita pakai satu kali sudah habis. Uang yang diirit bisa dipakai untuk kebutuhan lain."

Perawatan perahu listrik pun jauh lebih ringan. Tak ada lagi oli, karburator, atau busi yang merepotkan. Hanya baterai yang perlu diganti karena usia pemakaian, setelah kira-kira empat atau lima tahun.

Bagaimana dengan pengisian daya? "Kurang lebih tiga jam," kata Sunardi. Ia bisa mengisi di rumah, atau di SPLU (Stasiun Pengisian Listrik Umum) yang sudah disediakan PLN di dermaga. Stasiun dengan pembangkit tenaga surya itu berkapasitas 7.700 Volt Ampere (VA).

Iwan Dento, yang dikenal sebagai aktivis lingkungan Rammang-Rammang, mengakui keunggulan perahu listrik. Dia mengakui inovasi ini sejalan dengan kesadaran untuk menghadirkan pariwisata berkelanjutan.

"Secara ekologi, pasti jauh lebih baik. Pertama dari suara, kemudian dari penggunaan bahan bakar."

Namun, di sisi lain, dia juga menyadari kompromi dari perahu listrik ini. Ada kelebihan, pasti juga ada keterbatasannya. "Cuma kecepatannya juga terbatas. Kemudian kapasitasnya juga. Misalnya ada tamu yang cenderung buru-buru, di situ tantangannya,” kata Dento.

Adab Baru di Teras Peradaban Purba

Suasana Desa Rammang-Rammang yang masuk dalam kawasan Geopark Maros-Pangkep. (Dok. Humas Geopark Maros-Pangkep)

Perlahan, perahu mendekati Kampung Berua. Sunardi tak hanya mengemudi; ia bercerita. "Jadi kedatangan di Rammang-Rammang bukan sekadar menikmati wisatanya, tapi mendapatkan informasi yang bisa dibawa pulang. Apa itu Rammang-Rammang, bagaimana sejarah dan fungsi karst."

Ini adalah kunci dari perjalanan senyap itu. Para penumpang tak hanya disuguhi pemandangan. Mereka didorong untuk mendengar. Mendengar desau angin. Mendengar kicau cawiwi. Dan, dalam hening itu, mendengar gema purba dari dinding-dinding batu di sekeliling mereka.

Lanskap yang dilewati Sunardi bukanlah sekadar gugusan karst. Ini jantung dari Global Geopark yang ditetapkan oleh UNESCO, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 2023. Wilayahnya mencakup Kabupaten Maros dan Pangkep di Susel, terdiri dari Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di daratan, bersama dengan Taman Wisata Air Kapoposang dan Konservasi Laut Lokal Liukang Tupabbiring di lautan.

Di dalam geopark ini, terdapat 1.437 spesies flora dan fauna, termasuk 153 spesies endemik yang hanya ditemukan di Sulawesi, serta 52 spesies yang dilindungi dan terancam punah.

Perahu listrik Sunardi bukan sekadar soal "zero emisi" yang didengungkan PLN dan Pemda. Kesenyapan yang ia tawarkan adalah bentuk adab baru dalam mengunjungi galeri sejarah umat manusia.

Perahu merapat di dermaga Kampung Berua. Rombongan Feri turun, menjejak tanah yang sama dengan para seniman puluhan ribu tahun lalu. Sunardi akan menunggu, sebelum kembali memutar haluan, membelah Sungai Pute nyaris tanpa jejak, nyaris tanpa suara. Hanya riak air dan gema purba yang berbisik di antara menara karst.

Editorial Team