Nuraeni dan para perempuan Pattingalloang mengubah dapur olahan ikan menjadi benteng pemulihan trauma. Dengan sokongan Pertamina, mereka melawan siklus kekerasan dari akar ekonominya.
Makassar, IDN Times - Di lorong padat Kelurahan Pattingalloang, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar, aib adalah beban yang bisa membunuh. Sebutlah Fitri (15), seorang penyandang disabilitas intelektual, yang hamil akibat kekerasan seksual. Keluarganya kalut. Dalam himpitan malu dan ketidaktahuan, mereka sempat berpikir untuk mengakhiri hidup Fitri.
"Saya bilang ke mereka, ‘Orang normal saja bisa hamil tanpa menikah, apalagi anak yang tidak memahami apa yang terjadi’," tutur Nuraeni, saat berbincang dengan IDN Times, Kamis (30/10/2025). Dia tengah menirukan kejadian yang dia hadapi pada sekitar tahun 2023 lalu.
Nuraeni adalah pemrakarsa Shelter Puanmakari (Perempuan Mandiri dan Anak Percaya Diri). Ini adalah rumah aman yang ia bangun dari nol, berfungsi sebagai posko aduan, ruang konseling, dan pusat advokasi bagi korban. Ia adalah juru runding, pembela, dan fasilitator di garis depan pertarungan melawan kekerasan yang membekap komunitasnya.
Kasus Fitri, yang dulu kerap dieksploitasi keluarga untuk mendapatkan barang atau uang karena iba, adalah puncak gunung es. Di shelter yang ia rintis, Nuraeni setiap hari berhadapan dengan realitas pahit: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual terhadap anak, hingga perkawinan anak.
Pattingalloang bukan anomali. Ia adalah cerminan kota. Data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Makassar mencatat ada 134 kasus kekerasan seksual terhadap anak sepanjang tahun 2025 saja.
Bagi Nuraeni, angka laporan yang terus naik ini memiliki dua sisi. "Semakin banyak laporan yang masuk, berarti semakin banyak pula masyarakat yang sadar dan berani melapor ketika mengalami kekerasan," ujarnya.
Keberanian itu tumbuh karena kini ada tempat untuk mengadu.
