Makassar, IDN Times – Limbah bonggol jagung yang selama ini langsung dibuang ternyata punya manfaat besar untuk lingkungan. Mengolahnya sebagai bahan bakar bisa jadi solusi menekan emisi karbon seiring upaya mendukung transisi energi.
Upaya itu ditunjukkan PT PLN (Persero) pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Punagaya di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. PLTU berkapasitas 2 x 100 MW itu salah satu pembangkit listrik dalam sistem kelistrikan Sulawesi bagian Selatan yang menerapkan cofiring dengan memanfaatkan limbah bonggol jagung.
Cofiring adalah teknik substitusi dalam pembakaran PLTU, di mana sebagian batu bara sebagai bahan bakar digantikan dengan bahan lain. Teknik ini bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi tidak terbarukan seperti batu bara. Di PLTU Punagaya, bahan bakar alternatif itu bersumber dari senyawa organik (biomassa) berupa limbah bonggol jagung.
Bonggol jagung yang dikumpulkan dari petani dan masyarakat digiling dan diolah sedimikian rupa. Bahan itu dijadikan bahan bakar alternatif campuran batu bara untuk mendukung peningkatan kualitas produksi listrik serta rantai pasok energi primer pada PLTU.
“Bahasa simpelnya, misalkan kita harus membakar 200 ton batu bara, diganti dengan 300 ton bonggol jagung. Ada usaha untuk melakukan transisi energi,” kata Firmansyah Fattah, Pejabat Pelaksana Lingkungan pada PLN Unit Pelaksana Pembangkitan (UPK) Punagaya saat dihubungi IDN Times, Jumat (16/12/2022).
PLN tengah gencar menerapkan teknologi subtitusi batu bara dengan biomassa di berbagai PLTU. Upaya ini salah satu inisiatif mereka mendukung upaya pemerintah menekan emisi karbon dan mempercepat pemenuhan bauran energi terbarukan (EBT) 23 persen pada 2025. Dengan memanfaatkan berbagai bahan alami, penggantian bahan bakar batu bara juga jadi langkah nyata mencapai target net zero emission (NZE) di tahun 2060.
Firmansyah mengatakan, penggunaan limbah bonggol jagung di PLTU Punagaya merupakan inisiatif untuk menurunkan emisi karbon dari pembakaran batu bara. Bahan itu dipilih karena lebih ramah lingkungan, sebab kandungan sulfurnya lebih rendah dibandingkan batu bara. Di sisi lain, ketersediaannya melimpah karena kawasan sekitar PLTU Punagaya merupakan penghasil jagung.
“Walau pun di tahun ini pemanfaatan bonggol jagung baru satu persen dari pembakaran, tapi rata-rata pemakaian kita untuk dimasukkan di pembakaran itu bisa sampai kurang lebih 200 ton per bulan,” Firmansyah menambahkan.