Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG_20250723_163112.jpg
Buruh yang tergabung dalam SBIPE bertahan di depan gerbang utama PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, Bantaeng, Sulawesi Selatan, Rabu (23/2025). (Dok. SBIPE Bantaeng)

Intinya sih...

  • Buruh dan perusahaan mencapai kesepakatan setelah aksi blokade berakhir pada 30 Juli 2025, dimediasi oleh Bupati Bantaeng.

  • Lebih dari 1.200 pekerja terdampak akibat penghentian operasional tiga anak usaha PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, dengan skema dirumahkan yang dianggap tidak adil.

  • Perjuangan buruh KIBA menuntut hak sudah berlangsung sejak Desember 2024, melalui surat resmi, mediasi formal, hingga persiapan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Makassar, IDN Times - Sejak awal Juli 2025, ribuan buruh PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNI) dan anak usahanya menggelar aksi mogok dan blokade di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), Sulawesi Selatan (Sulsel). Aksi ini dipicu oleh ketidakpuasan atas skema dirumahkan, upah di bawah UMP, hingga lembur tak dibayar.

PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia, perusahaan smelter nikel terbesar di Sulawesi Selatan, resmi menghentikan produksi sejak 15 Juli 2025. Keputusan itu disampaikan melalui memorandum internal perusahaan yang ditandatangani langsung Head of Division HRGA & HSE PT Huadi, Andi Adrianti Latippe.

Hal ini pun berimbas pada ribuan buruh dari tiga anak usaha. Bagi banyak buruh, ini bukan hanya persoalan ekonomi, tapi persoalan martabat. Mereka bukan hanya kehilangan penghasilan, tetapi juga kejelasan atas masa depan.

1. Buruh dan perusahaan mencapai sejumlah kesepakan

PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia dan SBIPE pun akhirnya dimediasi oleh Bupati Bantaeng M Fahtul Fauzy Nurdin di Kantor Bupati Bantaeng, Rabu (30/7/2025). (Dok. SBIPE KIBA)

Ketua Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) KIBA, Junaid Judda, menyampaikan aksi blokade di depan PT Huadi berlangsung sejak 13 Juli 2025. Namun aksi tersebut telah berakhir sejak 30 Juli 2025. Aksi blokade berakhir setelah ada kesepakatan.

"Sudah bubar sejak kemarin dan alhamdulillah sudah ada kesepakatan," kata Junadi saat dikonfirmasi IDN Times, Kamis (31/7/2025).

Pihak PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia dan SBIPE akhirnya dimediasi oleh Bupati Bantaeng, M Fahtul Fauzy Nurdin di Kantor Bupati Bantaeng. Mediasi itu didampingi oleh Kapolres Bantaeng, AKBP Nur Prasetyantoro Wira Utomo. Mediasi juga dihadiri Dinas Tenaga Kerja dan perindustrian, UPT. Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3.

Hasil mediasi itu setidaknya memberikan napas lega bagi para pekerja yang sejak awal menuntut haknya. Junaid menyebutkan ada beberapa tuntutan yang diakomodasi.

"Tuntutan diakomodir, upah lembur. Pembayaran selisih upah pokok akan dibayarkan Agustus, dan kepastian hak buruh bagi yang dirumahkan," kata Junaid.

2. Lebih dari 1.200 pekerja terdampak

Buruh yang tergabung dalam SBIPE bertahan di depan gerbang utama PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, Bantaeng, Sulawesi Selatan, Rabu (23/2025). (Dok. SBIPE Bantaeng)

Sedikitnya lebih dari 1.800 pekerja dari tiga anak usaha PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) terdampak. Serikat buruh menilai skema ini hanya akal-akalan untuk melepas tanggung jawab perusahaan atas hak normatif buruh. Kebijakan penghentian operasional mencakup tiga unit produksi yaitu PT Huadi Wuzhou Nickel Industry, PT Huadi Yatai Nickel Industry, dan PT Huadi Yatai Nickel Industry Il yang semuanya bergerak di industri hilirisasi nikel.

"Yang dirumahkan itu sekarang itu kan semua 3 anak perusahaan itu diberhentikan untuk beroperasi. Sekitar 1.200 orang di rumahkan dengan dua tahap di PT Huadi Nickel Alloy," kata Junaid Judda, kepada IDN Times, Jumat (18/7/2025).

Dalam memorandum internal tertanggal 15 Juli 2025 yang beredar, manajemen Huadi menyatakan penghentian operasional perusahaan tanpa batas waktu dengan alasan gangguan aktivitas produksi. Surat itu ditandatangani Head of HR, Andi Adrianti Latippe, dan hanya meminta buruh menunggu di rumah.

Padahal, sejak Desember 2024 hingga April 2025, Huadi Group juga telah mem-PHK 81 buruh secara resmi dengan alasan efisiensi. Namun, Junaid menuding dalih efisiensi lemah karena tidak pernah ada laporan audit eksternal yang dibuka ke publik atau buruh.

"PHK sepihak itu dilakukan karena perusahaan terancam rugi 2 tahun terakhir. Namun selama ini, pihak perusahaan tidak pernah mempublikasi hasil audit eksternal terkait alasan efisiensi apakah betul efisiensi itu dilakukan sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan," kata Junaid.

SBIPE juga menyoroti pola kerja di KIBA yang kerap melebihi standar waktu kerja. Buruh sistem shift disebut bekerja 12 jam sehari selama 5 hari seminggu yang berarti ada 4 jam lembur per hari. Sementara buruh sistem reguler bisa bekerja 7 hari penuh tanpa libur yang membuat lembur buruh bertumpuk hingga puluhan jam per bulan.

"Karena buruh dipekerjakan 20 hari, maka tentunya, jam kerja lemburnya buruh dalam sebulan ada sekitar 80 jam lembur. Berarti ada 2 hari libur yang digunakan untuk bekerja," kata Junaid.

Jika buruh tetap bekerja pada Sabtu dan Minggu, maka dalam sehari mereka bisa menanggung beban kerja lembur hingga 12 jam. Bila sepanjang bulan mereka tidak mendapat hari istirahat, maka total hari lembur yang terkumpul bisa mencapai 10 hari penuh.

Jalur penyelesaian lewat bipartit dan tripartit pun buntu. Menurut Junaid, 20 buruh sudah terbukti punya hak lembur yang belum dibayar sesuai pemeriksaan pengawas ketenagakerjaan, tapi hingga kini pengusaha menolak membayar.

Perundingan tripartit tiga kali berakhir deadlock. Serikat untuk menyiapkan langkah gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

"Makanya yang kami tunggu dari itu adanya anjuran dari proses tripartit karena kemungkinan besar itu akan naik menjadi ke perundingan PHI atau pengadilan hubungan industrial," tegasnya.

3. Jalan panjang buruh KIBA menuntut hak

Buruh yang tergabung dalam SBIPE bertahan di depan gerbang utama PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, Bantaeng, Sulawesi Selatan, Rabu (23/2025). (Dok. SBIPE Bantaeng)

Sengkarut bermula sejak Desember 2024, ketika gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) bergulir di tiga anak usaha PT Huadi. Sebanyak 81 buruh dipecat bertahap hingga April 2025, sementara 1.200 lainnya kini dirumahkan tanpa kejelasan nasib.

Buruh tak tinggal diam. Catatan SBIPE menunjukkan, sejak 26 Maret 2025, serikat sudah melayangkan dua surat resmi ke manajemen PT Huadi. Isinya penolakan PHK sepihak dan permintaan perundingan untuk memulihkan hak pekerja. Surat itu diabaikan. Tak ada jawaban, apalagi ruang dialog.

"Upaya pertama dilakukan dengan melayangkan dua surat resmi kepada manajemen perusahaan, menyampaikan keberatan atas PHK dan mengajukan permintaan untuk berunding. Namun, surat tersebut diabaikan tanpa balasan, " kata Abdul Azis Dumpa, selaku Direktur LBH Makassar sekaligus kuasa hukum buruh melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (19/7/2025).

SBIPE lantas mengajukan permohonan mediasi ke Disnaker Kabupaten Bantaeng pada 7 April 2025. Mediasi formal di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker Kabupaten Bantaeng pun ditempuh. Tripartit pertama digelar 15 April 2025. Kesepakatannya yaitu perundingan akan dilanjutkan lewat jalur bipartit antara perusahaan dan perwakilan buruh atas saran dari mediator ketenagakerjaan.

Namun di meja bipartit pada 30 April 2025, perusahaan menolak usul serikat agar 6 dari 25 buruh yang di-PHK dipekerjakan kembali. Pembahasan pun bergeser ke persoalan upah lembur yang tak dibayar.

Saat itu, pihak perusahaan menjanjikan akan menyerahkan data penting seperti slip gaji dan absensi (pinjer) sebagai dasar perhitungan. SBIPE menuntut janji itu tapi tetap tidak ditepati.

Pada pertemuan lanjutan, 7 Mei 2025, perusahaan hanya bersedia membayar 3 jam lembur per hari, padahal buruh bekerja 4 jam lebih setiap hari di luar jam pokok. Buruh menolak, karena dalih satu jam istirahat tak pernah nyata di lapangan.

"Tidak pernah ada perintah istirahat, baik secara lisan maupun tertulis, yang diberikan kepada buruh. Karena itu, perundingan kembali menemui jalan buntu," kata Azis.

Terkait permintaan dokumen slip gaji dan data absensi, SBIPE kembali menegaskan agar perusahaan memenuhi janjinya untuk menyiapkan dokumen tersebut. Namun, perusahaan merespons dengan meminta SBIPE menyampaikan permintaan itu secara resmi melalui surat.

"Namun hingga kini, surat permintaan yang telah dilayangkan tak pernah direspons, apalagi dipenuhi," kata Azis.

Permintaan dokumen kembali dilayangkan serikat secara resmi. Hasilnya sama yakni diabaikan. Tripartit kedua kembali digelar 21 Mei 2025, tapi tak menghasilkan apa-apa selain janji. Kasus ini kemudian diarahkan untuk dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Padahal pada 27 Mei 2025, Pengawas Ketenagakerjaan Wilayah Bantaeng sudah menerbitkan penetapan resmi yaitu perusahaan wajib membayar kekurangan upah lembur kepada 20 buruh korban PHK. Lagi-lagi, penetapan itu tak dijalankan.

"Pengawas Ketenagakerjaan telah mengeluarkan penetapan resmi yang menyatakan bahwa PT Huadi memiliki kewajiban membayar kekurangan upah lembur kepada 20 buruh yang terkena PHK. Sayangnya, putusan tersebut tidak dijalankan oleh perusahaan," kata Azis.

Untuk menindaklanjuti penetapan tersebut, serikat kembali mengirim surat ke perusahaan dan Disnaker pada 13 dan 23 Juni 2025, meminta agar proses mediasi dilanjutkan dan hak buruh segera dibayarkan. Namun, respons dari perusahaan kembali nihil.

Tripartit ketiga dilangsungkan pada 3 Juli 2025. Dalam pertemuan itu, pihak Disnaker secara tegas meminta perusahaan untuk memenuhi kewajibannya. Perusahaan kembali meminta waktu 7 hari untuk menyiapkan jawaban.

Perundingan terakhir, 10 Juli 2025, lagi-lagi nihil. Padahal serikat sudah memberi ruang lebar untuk kompromi. Jalur formal, kata Azis, sudah ditempuh habis-habisan. Namun di lapangan, tak satu pun komitmen perusahaan terbukti dijalankan.

"Perusahaan hanya mengirimkan tim pengacara yang mengaku belum mengetahui detail kasus, karena baru ditunjuk satu hari sebelumnya. Ia meminta waktu tambahan tiga hari untuk mempelajari dokumen-dokumen terkait," kata Azis.

Karena jalur resmi macet, buruh beralih menahan tenaga mereka dengan blokade gerbang utama PT Huadi sejak 13 Juli 2025. Mereka juga telah menggelar aksi di depan kantor Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Sulsel serta DPRD Sulsel pada 14 Juli 2025.

"Buruh tidak sedang menghalangi ekspor perusahaan. Mereka hanya menahan tenaga mereka yang melekat pada hasil produksi perusahaan, agar tidak dijual sebelum hak-hak mereka dipenuhi. Ini upaya buruh untuk mendapatkan keadilan," kata Azis.

4. PHK didominasi alasan efisiensi

Buruh yang tergabung dalam SBIPE bertahan di depan gerbang utama PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, Bantaeng, Sulawesi Selatan, Rabu (23/2025). (Dok. SBIPE Bantaeng)

Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bantaeng, Irfandi Langgara, menyebutkan jumlah pekerja yang di-PHK mencapai sekitar 100 orang, sementara sisanya dirumahkan. Dia menjelaskan PHK tersebut didominasi alasan efisiensi, selain ada yang resign dan terkena sanksi indisipliner.

Menurutnya, kebijakan perumahan pekerja juga berkaitan dengan terhentinya sebagian operasi tungku smelter. Pasokan bahan mentah yang tidak lancar disebut menjadi salah satu penyebab perusahaan menempuh langkah efisiensi.

"Jadi namanya PHK efisensi. Kemudian dirumahkan ini tanggal 1 Juli ada karena berhenti beroperasi. Kemudian ditambah lagi yang 15 Juli. Kalau suratnya itu dikarenakan adanya aksi selama 2 hari berturut-turut. Terus surat dari perusahaan ke dinas," kata Irfandi.

Dia menjelaskan bahwa proses mediasi antara perusahaan dengan buruh sebenarnya sudah berjalan cukup panjang. Dia menyebut sebagian besar persoalan PHK telah difasilitasi penyelesaiannya.

"Sebenarnya yang di-PHK kita sudah mediasi. Sebelumnya kan ada namanya bipartit, perundingan antara perusahaan dengan karyawan," kata Irfandi.

Sementara itu, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sulawesi Selatan, Jayadi Nas, menegaskan pihaknya terus berupaya mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja massal, termasuk di KIBA. Dia menekankan mediasi antara buruh dan perusahaan harus tetap dibuka.

Menurut Jayadi, ruang mediasi harus tetap terbuka. Dia menilai jalur negosiasi perlu dijaga agar persoalan buruh bisa diselesaikan tanpa konflik berlarut.

"Kami berharap tetap dilakukan negosiasi, mediasi sebaik mungkin agar tidak terjadi yang namanya PHK, tapi mediasi agar kalaupun itu dirumahkan, diusahakan untuk dipekerjakan kembali," katanya.

Jayadi berharap semua pihak, baik perusahaan maupun serikat buruh, dapat menahan diri. Dia menekankan pentingnya ruang diskusi tanpa tekanan agar jalur musyawarah tetap berjalan.

"Mudah-mudahan nanti setelah mereka merenungi, baik pihak perusahaan maupun pihak buruh, bisa cooling down sedikit sehingga ada titik temu. Tidak akan pernah kita berhenti melakukan mediasi. Ini tantangannya," katanya.

5. Profil PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia

Personel gabungan TNI-Polri berjaga di depan Kawasan Industri Bantaeng, PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia, Rabu (23/7/2025). (Dok. Istimewa)

PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia (HNAI) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri pengolahan dan pemurnian mineral nikel. Perusahaan ini memproduksi Ferro Nickel dan Nickel Pig Iron (NPI), yang menjadi bahan baku penting dalam pembuatan baterai untuk kendaraan listrik. Kapasitas produksinya mencapai 450.000 ton NPI per tahun dengan teknologi rotary kiln electric furnace (RKEF).

Berlokasi di Desa Papanloe, Kecamatan Pajukukang, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, smelter ini berdiri di atas lahan seluas 150 hektare. HNAI memiliki enam lini tungku smelter aktif yang beroperasi untuk memenuhi permintaan industri global terhadap energi bersih.

Didirikan pada Desember 2013, HNAI merupakan hasil kerja sama antara Shanghai Huadi Industrial Co Ltd dan PT Duta Nickel Sulawesi. Shanghai Huadi memegang 51 persen saham sekaligus memasok teknologi pemurnian, sementara PT Duta Nickel Sulawesi menggenggam 49 persen saham serta menyediakan pasokan bijih nikel dari konsesi tambang miliknya.

Editorial Team