Ilustrasi politik. (Unspalsh/Maarten van den Heuvel)
Politik identitas memang masih menjadi PR bersama dalam dunia perpolitikan. Walau terus berulang, namun politik identitas sebenarnya bisa dicegah agar tidak mengobrak-abrik keharmonisan masyarakat.
"Bentuk-bentuk penyelesaiannya bisa dikembalikan ke pihak-pihak terkait, terutama misalnya kepada partai politik untuk memberikan edukasi ke masyarakat akar rumput terkait bahaya laten politik identitas," kata Bahrul.
Setelah itu, urusan politik identitas diserahkan kepada semua tokoh dan elemen masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar mereka ikut serta memberikan pencerahan yang berisi termasuk bahwa berpolitik itu tidak sama dengan beragama.
"Jadi, tidak usah terlampau fanatik dan bersikeras dengan pemujaan identitas berlebihan. Toh, pada kenyataannya identitas itu berlapis-lapis, cair, dan tidak tetap," katanya.
Harapan untuk meminimalisasi praktik politik identitas, dikemukakan sejumlah komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) berbagai provinsi. Komisioner KPU Kota Banjarmasin, Taufikkurokhman menyebutkan, pihaknya sebagai penyelenggara Pemilu rutin memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Program kerja Divisi Sosialisasi Pemilih Partisipasi Masyarakat dan SDM ini dilaksanakan kerja sama KPU Banjarmasin, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Ia mengatakan, masyarakat Banjarmasin harus memahami arti penting pendidikan politik untuk menjaga toleransi dalam masyarakat. "Wawasan warga tentang politik menjadi semakin bertambah sehingga dapat menangkal hal hal kejahatan politik. Maupun hal yang dapat merugikan pesta demokrasi mendatang," katanya.
Demikian halnya disampaikan Ketua KPU Provinsi Lampung, Erwan Bustami. Menurutnya, KPU Lampung sudah mulai membangun kesadaran para elite politik hingga lapisan masyarakat Lampung agar tidak ikut memanfaatkan isu-isu politik identitas menyosong tahun politik 2024.
"Kami di Lampung, sejak dimulainya tahapan Pemilu sudah ada komitmen bersama antara Forkopimda, partai politik, hingga penyelenggara Pemilu untuk membangun situasi kondusif dalam proses tahapan Pemilu. Ini bahkan langsung difasilitasi pak gubernur," imbuhnya.
Ketua KPU NTB Suhardi Soud, juga demikian. Ia berharap partai politik memilih calon kepala daerah ataupun calon aggota legsilatif yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip toleransi dan kesetaraan. "Jadi tidak ada untuk segmen tertentu, kemudian untuk suku tertentu atau wilayah tertentu," kata Suhardi.
Nana Miranti, komisioner KPU Kota Medan menyampaikan untuk menghindari politik identitas saat pesta demokrasi, pihaknya membuat aturan yang menyatakan tidak boleh menyinggung ras, menyinggung agama, atau menjelekkan suku tertentu.
"Pada saat kampanye ini sudah dilarang. Itu salah satu antisipasi supaya tidak memicu kericuhan," katanya.
Peristiwa intoleransi menjadi perhatian publik, termasuk kalangan millennials yang menolak praktik politik identitas yang mengancam kerukunan. Made Dika (19), remaja asal Kota Semarapura, Klungkung Bali, mengaku tidak sepakat dengan politik yang menonjolkan perbedaan, baik terkait ras ataupun agama.
“Kalau politik banyak bicara tentang agama tentu tidak baik. Nanti bisa mengganggu kerukunan umat beragama,” ungkapnya.
Hal serupa diungkapkan Gede Bagus Diarta (24), asal Desa Takmung, Klungkung. Menurutnya politik identitas sangat rawan karena bisa menganggu toleransi umat beragama yang sudah terjaga dengan baik di Klungkung.
“Kalau dibiasakan politik identitas, bisa mengganggu toleransi. Apalagi sekarang ada media sosial, politik identitas ini sangat mudah digaungkan. Masyarakat bisa terbelah, cuma karena politik identitas yang biasanya mencampuradukkan politik dan agama,” ungkapnya.
Politik identitas merupakan ancaman serius pada kebhinekaan Indonesia. Untuk mengantisipasi muncul dan maraknya politik identitas pada Pemilu 2024, segala bentuk aktivitas politik yang menggerus toleransi harus ditindak tegas dan adil. Ini bukan hanya tugas pemerintah, tapi seluruh masyarakat Indonesia.
Selamat Hari Toleransi Internasional
Penulis:
Ashrawi Muin, Debbie Sutrisno, Masdalena Napitupulu, Wayan Antara, Tama Wiguna, Muhammad Nasir, Sri Wibisono, Anggun Puspitoningrum.