Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi pengunjung pasar memakai masker. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Makassar, IDN Times - Pandemik COVID-19 telah membuat kemampuan masyarakat untuk berbelanja benar-benar merosot. Warga Kota Makassar juga merasakannya.

Pengamat Ekonomi Universitas Hasanuddin, Anas Iswanto Anwar, menjelaskan bagaimana pandemik COVID-19 menurunkan daya beli masyarakat. Salah satunya karena terjadi gangguan yang serius pada demand (permintaan) dan  supply (penawaran). 

"Permintaan, konsumsi, daya beli menurun dan adanya ketidakpastian. Akibat lockdown, investasi tidak ada, tidak ada ekspor dan impor," kata Anas kepada IDN Times, Selasa (2/3/2021). 

1. Ibu rumah tangga jadi kelompok paling rentan

Menurut hasil survei dan kajian oleh lembaga riset Indonesia Development Engineering Consultant (IDEC) pada Februari 2021 lalu, dari 442 responden, sebanyak 62,32 persen mengaku pandemik mempengaruhi daya beli mereka.

Dari survei tersebut, ibu rumah tangga (IRT) merupakan kelompok yang paling rentan terpengaruh terhadap dampak COVID-19 dengan persentase 31,09 persen. Kemudian pekerja swasta 15,97 persen dan pedagang kecil 12,61 persen.

Dalam rumah tangga, ada tiga komponen rutin yang paling dipengaruhi daya beli yaitu makanan dan minuman harian 35 persen, transportasi keluarga 20 persen, pemakaian listrik dan gas keluarga 15 persen. Sementara komponen belanja snack, kebutuhan wanita, rokok, cemilan dan sebagainya 30 persen. 

2. Pemerintah dituntut mendorong daya beli masyarakat

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Menurut Anas, bantuan pemerintah sangat dibutuhkan dalam usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk mendorong daya beli. Tujuannya untuk mendapatkan modal usaha yang terdampak. 

Menurutnya, pemerintah harus menyelamatkan masyarakat yang terdampak COVID-19. Bukan saja dari sisi kesehatan tapi juga dari sisi ekonomi.

"Daya beli saat ini yang didorong oleh pemerintah. Bagaimana masyarakat punya uang untuk belanja. Kelompok menengah ke atas tidak pusing karena punya tabungan," ujar Anas.

3. Kesehatan dan ekonomi harus berjalan seimbang

Ilustrasi pasar tradisional. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Lebih jauh Anas menjelaskan bahwa antara kesehatan atau ekonomi sama sekali bukan pilihan. Keduanya harus sejalan dalam menyelesaikan pandemik. 

Dia menjelaskan penanganan di sisi kesehatan dengan sejumlah pembatasan aktivitas sudah tepat karena tujuannya untuk menghindari penularan lebih banyak.  

"Tetapi di satu sisi, ekonomi juga harus jalan. Dan ini harus dipahami oleh masyarakat juga terutama untuk dunia usaha dengan menaati aturan ini," kata Anas.

Editorial Team