Foto mading harapan Labarik Lakon/Amelia
Lantas bagaimana cara penduduk Makarti menyiasatinya? Dom menjelaskan, bahwa semua pemuda-pemudi diupayakan selalu berkumpul dalam satu kelompok. Tujuannya agar bisa bersama-sama bekerja dan mendapatkan penghasilan di tempat sendiri tanpa harus bepergian jauh.
“Kenapa mereka harus keluar jauh jauh seperti di Morowali, Makassar, Kalimantan, untuk bekerja padahal di kampung sendiri ada yang namanya tambang CLM,” ungkap Dom.
“Kita sudah jauh-jauh dari Timor Leste. Orang tua sudah jauh-jauh dari sana sampai di sini menjadi pengungsi. Kita bisa temani mereka bekerja di sini. Kenapa harus jauh jauh keluar ke kampung orang padahal di kampung sendiri banyak penghasilan,” lanjutnya..
Bagi Dom dan puluhan penduduk lain yang hadir dalam acara tersebut, Makarti bukan lagi hanya sekadar nama desa. Bagi mereka, Makarti adalah sebuah kisah, sebuah pengorbanan, juga sebuah perjuangan menuju keadilan. Meskipun terasa pahit, tapi tetap ada harapan yang dijaga.
Bagi sebagian orang tua warga Makarti, sejarah kelam konflik Timor Timur menyisakan pedih yang tidak ingin diceritakan ke anak-anak.
"Mereka tidak ingin menjawabnya ‘kalian tidak perlu tahu, yang sudah terjadi, itu adalah masa lalu kami’,” kata Dom, menirukan jawaban yang selalu ia dapatkan saat bertanya tentang masa lalu stolen children.
“‘Kalian hanya perlu melanjutkan perjuangan agar kita penduduk asli bisa mendapatkan hak yang sesuai.’ Itu ujar salah satu dari orang tua kami,” tutup Dom.
Penulis : Fadhil Muhammad dan Amelia