Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Penyerahan penghargaan kepada ketiga pemenang desain batik khas Suku Mee pada perayaan HUT ke-17 Kabupaten Deiyai. (IDN Times/Endy Langobelen)
Penyerahan penghargaan kepada ketiga pemenang desain batik khas Suku Mee pada perayaan HUT ke-17 Kabupaten Deiyai. (IDN Times/Endy Langobelen)

Deiyai, IDN Times — Perayaan HUT ke-17 Kabupaten Deiyai, Papua Tengah, pada tahun ini berlangsung berbeda. Tidak hanya diramaikan dengan seremoni resmi pemerintah daerah, tetapi juga ditandai oleh sebuah momentum penting dalam perjalanan pelestarian budaya Mee: penetapan tiga desain terbaik dalam Sayembara Batik Khas Suku Mee 2025.

Sayembara yang digelar oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Deiyai itu menjadi sorotan utama rangkaian hari jadi daerah. Ajang ini bukan sekadar lomba desain, tetapi sebuah upaya strategis untuk memadukan akar budaya, kreativitas anak muda, dan visi ekonomi kreatif daerah.

1. Ruang penjurian yang mengabadikan identitas Mee

Desainer TIFA Creative, Alfo Smith, menjelaskan sistem penilaian dewan juri. (IDN Times/Endy Langobelen)

Suasana ruang penjurian di salah satu ruangan Kantor Bupati Deiyai pada Selasa (25/11/2025) terasa berbeda. Lembaran-lembaran kertas dan sketsa motif batik memenuhi meja penjurian, menggambarkan kekayaan nilai, simbol, dan narasi masyarakat Mee. Dari total 46 peserta, terdapat puluhan pola visual yang memuat jejak hidup orang Mee—geografis, ekologis, hingga filosofi yang melekat pada keseharian mereka.

Ketua Dekranasda Kabupaten Deiyai, Fransina Rumbiak Mote, memimpin langsung pembukaan kegiatan penjurian. Dalam sambutannya ia menegaskan bahwa sayembara ini bukan hanya kegiatan seremonial, tetapi langkah terukur untuk menghadirkan identitas visual resmi bagi Kabupaten Deiyai.

“Kegiatan ini salah satu langkah strategis Pemerintah Kabupaten Deiyai untuk mengangkat, melestarikan, dan mengembangkan kekayaan budaya Suku Mee dalam bentuk produk ekonomi kreatif,” ujarnya.

Fransina menyampaikan bahwa nilai budaya Mee perlu diwujudkan dalam medium yang dapat dikenakan dan dikenali, baik di lingkungan lokal maupun di panggung nasional. “Melalui kegiatan ini, seluruh kekayaan tersebut diharapkan dapat terdokumentasi dan diwujudkan ke dalam motif batik yang memiliki identitas yang jelas, autentik, dan representatif,” lanjutnya.

2. Juri telusuri filosofi, warna, dan nilai jual

Budayawan Papua sekaligus akademisi, Titus Pekei, mengumumkan ketiga juara sayembara batik khas Suku Mee berdasarkan hasil penilaian juri. (IDN Times/Endy Langobelen)

Tiga juri dengan latar belakang berbeda—desainer, budayawan, dan tokoh adat—memberikan penilaian yang komprehensif. Ketiga juri itu adalah Alfo Smith dari TIFA Creative; Titus Pekei, budayawan dan akademisi Papua; serta Yulianus Mote, tokoh adat Deiyai.

Desainer sekaligus juri, Alfo Smith, menegaskan bahwa sebuah desain batik Papua tidak hanya dapat dinilai dari tampilan visualnya. Baginya, narasi filosofis adalah inti dari sebuah motif.

“Penilaian dilihat dari bagaimana desainer memiliki kemampuan untuk mengembangkan narasi pandangan filosofi yang sudah ada secara umum. Kemudian bagaimana gradasi warnanya,” jelasnya.

Menurut Alfo, warna dalam batik Papua bukan sekadar pilihan estetika, tetapi simbol makna. “Misalkan dari desain ini dia perlu warna merah, nah warna merah dalam arti pengerti merah itu fungsinya apa, kuning fungsinya apa,” tambahnya.

Penilaian juga memperhitungkan potensi komersial. Barangkali inilah jembatan antara tradisi dan masa depan ekonomi kreatif Deiyai. “Kami tidak bisa hanya bikin desain dan diproduksi terus tidak ada jualnya. Kita juga harus memikirkan masa jangka panjang, bisa mempromosikan Deiyai, sampai manca negara juga bisa tahu bahwa Deiyai ada batik,” ujarnya.

Budayawan Titus Pekei menambahkan bahwa penilaian berangkat dari konteks keseharian manusia Mee. "Karya dinilai dari unsur geografis, ekologis, dan humanis, manusia Mee di kabupaten Deiyai,” ungkapnya.

3. Tiga desain terbaik: ababk baru batik Deiyai

Tiga desain batik terbaik khas Suku Mee yang dipilih oleh dewan juri sebagai pemenang juara I, II, dan III. (Istimewa/Panitia Sayembara Desain Batik Khas Suku Mee)

Setelah penjurian berlangsung intens sepanjang hari, Titus Pekei membacakan tiga desain terbaik. Juara I diraih Yosinta Douw dengan nomor desain 8.1, juara II Hana Reona Pakage dengan nomor desain 46, dan juara III Oktovina Mote dengan nomor desain 4.4.

Ketiga karya tersebut dinilai paling mampu memadukan unsur filosofi, estetika warna, dan potensi komersial. Desain-desain ini akan menjadi cikal bakal batik resmi Kabupaten Deiyai.

Fransina memastikan langkah berikutnya telah disiapkan. “Kami akan urus dia punya hak paten supaya kalau bisa semua pegawai negeri yang ada di Kabupaten Deiyai ini, kami bisa cetak batik untuk mereka pakai di hari Kamis,” ujarnya saat diwawancarai IDN Times.

4. Bupati: Batik Mee sebagai penanda identitas

Bupati Deiyai, Melkianus Mote, membawakan sambutan sekaligus menutup rangkaian acara penjurian dan pengumuman pemenang sayembara batik khas Suku Mee 2025. (IDN Times/Endy Langobelen)

Bupati Deiyai, Melkianus Mote, menutup rangkaian penjurian dengan penegasan penting: batik Mee akan menjadi identitas daerah yang tak terpisahkan dari masyarakatnya.

“Maka itu kami juga ingin menampilkan kami punya ciri khas. Jadi kalau orang sudah pakai baju itu, orang sudah tahu itu orang Deiyai,” tegasnya.

Ia juga mengungkapkan program besar mengenai pelestarian budaya, termasuk pembangunan museum dan enam galeri yang ditargetkan selesai pada 2026.

Di tempat itu, masyarakat dan wisatawan dapat mengenal lebih dekat kekayaan budaya Mee melalui artefak, pameran harian, hingga pasar suvenir yang akan dikelola Dinas Pariwisata dan Dekranasda.

5. Penghargaan di Puncak HUT ke-17

Penyerahan penghargaan kepada ketiga pemenang desain batik khas Suku Mee pada perayaan HUT ke-17 Kabupaten Deiyai. (IDN Times/Endy Langobelen)

Sehari setelah penjurian, pada Rabu (26/11/2025), pemenang sayembara menerima penghargaan pada puncak perayaan HUT ke-17 Kabupaten Deiyai.

Juara pertama memperoleh piagam, piala, dan uang pembinaan Rp10 juta, disusul juara kedua Rp5 juta, dan juara ketiga Rp3 juta. Penyerahan hadiah disaksikan langsung oleh Bupati, Wakil Bupati, Ketua Dekranasda, jajaran Forkopimda, serta tamu undangan lainnya.

6. Lebih dari sebuah lomba: gerakan menjaga warisan Mee

Ketua Dekranasda Kabupaten Deiyai, Fransina Rumbiak Mote, membawakan sambutan sekaligus membuka acara penjurian Sayembara Desain Batik Suku Mee dalam rangka memeriahkan HUT Kabupaten Deiyai, Selasa (25/11/2025). (IDN Times/Endy Langobelen)

Meski hanya tiga desain yang ditetapkan sebagai pemenang, Dekranasda menilai karya lain tetap memiliki potensi untuk dikembangkan di masa depan. “Mungkin nanti ke depannya kami akan berbicara, kami bisa pilih lagi batik yang lain,” ujar Fransina.

Dengan lahirnya tiga desain terbaik ini, Deiyai menapaki perjalanan baru dalam memperkuat identitas visual budaya Mee. Batik bukan hanya selembar kain bermotif, tetapi medium yang merekam pengetahuan leluhur, perjalanan sejarah, dan aspirasi masyarakat.

Dalam perayaan HUT ke-17 ini, sayembara batik berhasil menjadi panggung bagi budaya, kreativitas, dan masa depan ekonomi kreatif Deiyai—sebuah langkah konkret menuju masa ketika batik Mee menjadi kebanggaan yang dikenakan, diceritakan, dan dikenang hingga jauh melampaui batas wilayah Deiyai.

Editorial Team