Budayawan Papua sekaligus akademisi, Titus Pekei, mengumumkan ketiga juara sayembara batik khas Suku Mee berdasarkan hasil penilaian juri. (IDN Times/Endy Langobelen)
Tiga juri dengan latar belakang berbeda—desainer, budayawan, dan tokoh adat—memberikan penilaian yang komprehensif. Ketiga juri itu adalah Alfo Smith dari TIFA Creative; Titus Pekei, budayawan dan akademisi Papua; serta Yulianus Mote, tokoh adat Deiyai.
Desainer sekaligus juri, Alfo Smith, menegaskan bahwa sebuah desain batik Papua tidak hanya dapat dinilai dari tampilan visualnya. Baginya, narasi filosofis adalah inti dari sebuah motif.
“Penilaian dilihat dari bagaimana desainer memiliki kemampuan untuk mengembangkan narasi pandangan filosofi yang sudah ada secara umum. Kemudian bagaimana gradasi warnanya,” jelasnya.
Menurut Alfo, warna dalam batik Papua bukan sekadar pilihan estetika, tetapi simbol makna. “Misalkan dari desain ini dia perlu warna merah, nah warna merah dalam arti pengerti merah itu fungsinya apa, kuning fungsinya apa,” tambahnya.
Penilaian juga memperhitungkan potensi komersial. Barangkali inilah jembatan antara tradisi dan masa depan ekonomi kreatif Deiyai. “Kami tidak bisa hanya bikin desain dan diproduksi terus tidak ada jualnya. Kita juga harus memikirkan masa jangka panjang, bisa mempromosikan Deiyai, sampai manca negara juga bisa tahu bahwa Deiyai ada batik,” ujarnya.
Budayawan Titus Pekei menambahkan bahwa penilaian berangkat dari konteks keseharian manusia Mee. "Karya dinilai dari unsur geografis, ekologis, dan humanis, manusia Mee di kabupaten Deiyai,” ungkapnya.