Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Polda Metro ungkap kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus pengantin pesanan (IDN Times/Irfan Fathurohman)
Ilustrasi. Polda Metro ungkap kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus pengantin pesanan (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Intinya sih...

  • Modus TPPO di Sulsel semakin kompleks

  • Beragam modus perekrutan tenaga kerja hingga kawin kontrak

  • Disnakertrans dorong pendampingan ketat dan tanggung jawab perusahaan perekrut

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Makassar, IDN Times - Modus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Sulawesi Selatan (Sulsel) terus berkembang dengan cara-cara yang semakin kompleks. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sulsel, Jayadi Nas, menyebut pola perekrutan tenaga kerja sering kali terlihat sah pada tahap awal, namun berujung pada praktik penempatan ilegal.

Menurutnya, banyak kasus bermula dari janji yang tampak meyakinkan. Calon pekerja direkrut dengan proses administrasi yang sesuai aturan, tetapi ketika penempatan berlangsung, hasilnya berbeda dari kesepakatan. 

Kondisi itu menempatkan pekerja dalam posisi yang rentan. Mereka mudah terjerat eksploitasi, baik sebagai buruh paksa maupun korban kekerasan seksual.

"Kadang proses perekrutannya baik, sesuai dengan aturan main, akan tetapi ketika proses lain-lain  pada saat misalnya penempatan apa segala, kadang tidak sesuai lagi dengan apa yang sebelumnya,"  kata Jayadi, Kamis (21/8/2025).

1. Modus beragam dari perekrutan tenaga kerja hingga kawin kontrak

Ilustrasi TPPO (Foto: Istimewa)

Jayadi menjelaskan selain modus perekrutan tenaga kerja, praktik TPPO juga kerap dijalankan dengan cara lain. Bentuknya mulai dari kawin kontrak, pernikahan palsu, iming-iming gaji tinggi, hingga menggunakan dalih ibadah untuk meyakinkan korban.

Strategi itu umumnya menyasar kelompok masyarakat dengan kondisi ekonomi rentan. Mereka sering kali hidup dengan akses informasi yang terbatas, sehingga lebih mudah dipengaruhi bujuk rayu pelaku.

Jayadi mencontohkan ada korban yang awalnya dijanjikan bekerja di daerah tertentu, namun justru dibawa ke wilayah lain tanpa sepengetahuan keluarga. Ada pula kasus pernikahan kontrak yang sengaja dijadikan pintu masuk untuk membawa korban ke luar daerah, lalu dieksploitasi secara seksual.

"Karena dia dinikahi dengan berbagai alasan supaya bisa dibawa ke sana. Setelah tiba, ternyata dijadikan pekerja seksual. Kasihan juga. Selain itu, ada modus lain yang sejak awal perekrutannya memang sudah ilegal," kata Jayadi. 

Misalnya, lanjut Jayadi, meski suatu daerah sudah dilarang menjadi tujuan, korban tetap saja dibawa secara nekat ke wilayah tersebut dengan berbagai cara. Mereka dijanjikan gaji tinggi atau dibujuk dengan alasan ibadah tertentu, seolah-olah semua tampak sah dan wajar.

"Pelaku sering memberi iming-iming yang sangat menggoda. Akibatnya, banyak orang terlena hingga akhirnya terjebak dalam praktik TPPO," kata Jayadi. 

2. Disnakertrans Sulsel dorong pendampingan ketat untuk cegah TPPO

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulawesi Selatan, Jayadi Nas. (IDN Times/Asrhawi Muin)

Jayadi menilai kompleksitas modus TPPO harus diantisipasi dengan langkah pengawasan yang ketat sejak awal. Menurut Jayadi, pemerintah tidak boleh berhenti hanya pada perekrutan, tetapi wajib memberi pendampingan hingga tahap penempatan.

Pada saat perekrutan biasanya berjalan baik, tetapi setelah itu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Tetap harus ada pendampingan, di Disnaker dikenal dengan istilah pengantar kerja. 

"Bahkan, jika memungkinkan, pemerintah sebaiknya melakukan survei pendahuluan sebelum pekerja berangkat ke lokasi yang dijanjikan. Pemerintah bisa turun langsung untuk memastikan kondisi lapangan benar-benar sesuai," kata Jayadi.

3. Perusahaan perekrut wajib bertanggung jawab pada pekerja

ilustrasi Tenaga Kerja Indonesia (IDN Times/Nathan Manaloe).

Jayadi menegaskan Disnakertrans mendorong perusahaan perekrut tenaga kerja untuk lebih bertanggung jawab. Mereka diminta memastikan mitra kerja di luar daerah maupun luar negeri jelas secara legalitas dan tidak terlibat jaringan perdagangan orang.

Pemerintah perlu senantiasa melaksanakan evaluasi. Perekrutan tenaga kerja tidak cukup hanya disambut gembira, namun pekerja harus diantar dengan baik, lokasi kerja disurvei, dan kondisi mereka terus dimonitor untuk memastikan perlakuannya sesuai hak dan kontrak.

Jayadi pun menjelaskan perihal hubungan industrial. Ini merupakan hubungan antara pemberi kerja dan pekerja yang harus dijaga agar hak dan kewajiban kedua belah pihak tetap terlindungi.

Apakah hak pekerja tetap sesuai kontrak yang telah ditandatangani, atau sudah berbeda. Apakah pekerjaan yang diterima sesuai dengan janji, ataukah mereka diperlakukan secara berbeda," kata Jayadi.

4. Pemprov Sulsel bentuk Gugus Tugas cegah TPPO

Sekretaris Daerah Sulawesi Selatan, Jufri Rahman, membuka Rapat Koordinasi Penyusunan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO di Kantor Gubernur Sulsel, Rabu (20/8/2025). (Dok. Humas Pemprov Sulsel)

Pemprov Sulsel tengah merancang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sekaligus menyiapkan Pergub TPPO 2025-2030. Gugus tugas ini diharapkan menjadi wadah lintas sektor untuk memperkuat pencegahan dan pemulihan korban, terutama perempuan dan anak.

"Dibutuhkan pendekatan lintas sektor, lintas disiplin, dan lintas wilayah. Gugus Tugas harus dibangun dengan semangat kolaboratif,” kata Sekretaris Daerah Sulawesi Selatan, Jufri Rahman. 

TPPO menjadi tantangan kemanusiaan yang kompleks dan berdampak sosial. Data Polda Sulsel per November 2024 mencatat 36 laporan polisi, 39 tersangka, dan 59 korban. Kasus terbanyak berupa eksploitasi seksual yang terindikasi perdagangan orang.

"Sulawesi Selatan sebagai salah satu provinsi strategis di Kawasan Timur Indonesia, memiliki kompleksitas tersendiri. Sulsel tidak hanya menjadi daerah asal migrasi, tetapi juga berpotensi sebagai daerah transit maupun tujuan dari jaringan perdagangan orang," kata Jufri.

Editorial Team