Seorang warga melakukan pencoblosan di salah satu bilik suara di TPS 22 Anak Air (Foto: IDN Times/Halbert Caniago)
Pengamat politik dari Universitas Islam Syech Yusuf (Unis) Tangerang, Adib Miftahul menyoroti kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dinilai tidak optimal meski telah mendapat dana hibah yang besar untuk operasionalnya.
Menurut Adib, KPU gagal menghadirkan inovasi dalam sosialisasi dan edukasi pemilu. Ia menilai KPU seharusnya memanfaatkan instrumen baru yang lebih menarik dan relevan untuk mengedukasi pemilih.
“Program KPU itu hanya itu-itu saja, tidak ada ide baru yang visioner untuk meningkatkan partisipasi pemilih, terutama di kalangan generasi milenial dan Gen Z,” kata Adib kepada IDN Times, Jumat (13/12/2024).
“Hibahnya besar, tetapi sosialisasinya tetap begitu-begitu saja. Ini patut menjadi catatan serius,” kata Adib.
Selain kinerja KPU, Adib juga menyebut, adanya kejenuhan masyarakat terhadap calon-calon yang dinilai tidak membawa aspirasi nyata atau perubahan signifikan. “Tokoh-tokoh yang muncul itu-itu saja, program kerjanya tidak konkret, sehingga masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap proses pemilihan,” ujarnya.
Ia menekankan, bahwa partai politik juga turut bertanggung jawab atas rendahnya partisipasi karena gagal melakukan pendidikan politik yang baik. “Elit partai politik hanya sibuk berebut kekuasaan tanpa memberikan pendidikan politik yang membangun kesadaran pemilih,” katanya.
Pengamat Politik dari Universitas Sumatera Utara (USU), Indra Fauzan menyoroti rendahnya partisipasi Pemilihan Umum (Pemilu) untuk Pemilihan Kepala Daerah, khususnya daerah Sumut ataupun Medan sekitarnya. Dia menilai bahwa, tahun politik ini menjadi kontestasi elit. Sehingga, masyarakat cenderung enggan untuk memilih.
"Masyarakat yang memang mungkin mereka lebih baik mencari uang, kerja karena memang yang libur itu untuk para sektor-sektor perkantoran, tapi masyarakat di sektor informal lebih banyak daripada sektor formal. Sehingga, mereka lebih cenderung untuk ke tempat lokasi mereka bekerja petani, berdagang kemudian yang bekerja disektor non formal juga lebih memilih ke tempat pekerjaan mereka. Jadi itu masih ada," ujarnya.
Kemudian, lanjut Indra, Gen Z juga perlu dorongan yang kuat agar mereka mau datang ke TPS. Sehingga, mereka dapat berpikir untuk mengumpulkan kesadaran kalau mereka memiliki hak pilih dan penting bagi mereka.
"Sehingga, stereotip yang muncul di masyarakat bahwa siapapun yang akan terpilih akan jadi seperti ini saja itu tidak akan muncul," ucapnya.
Terpisah, Akademisi Universitas Lampung, Yusdiyanto mengatakan, fenomena rendahnya partisipasi pemilih dipicu sejumlah faktor. Mulai dari visi regulasi pelaksanaan Pilkada yang banyak membatasi atau mempersempit ruang demokrasi, semisal sisi publikasi hingga urusan kampanye paslon yang terkesan banyak dicampuri oleh penyelenggara.
Menurutnya, situasi serupa terlalu rumit hingga regulasi-regulasi tersebut menimbulkan rasa pelarangan. Alhasil, masyarakat sebagai pemilih yang dirugikan karena tidak benar-benar merasa ada ajang Pilkada.
"Turunnya partisipasi pemilih ini terjadi tiap pelaksanaan tahun politik. Itu menandakan bahwa penyelenggara tidak melakukan kerja-kerja stimulus yang bisa meningkatkan partisipasi, tapi lebih kepada acara seremonial," ujarnya dikonfirmasi, Jumat (13/12/2024).
Yusdianto juga menyoroti terkait teknis pemungutan dan penghitungan suara yang hingga hari ini masih berlangsung secara manual. Sebagai contoh, banyak kasus penyampaian surat pemberitahuan memilih yang baru tiba di tangan pemilih di hari pencoblosan.
"Problemnya adalah banyak hal-hal teknis yang dilakukan oleh penyelenggaraan, tapi hal-hal substantif bagaimana meningkatkan partisipasi tidak menjadi prioritas. Ini bukan akibat pemilih, tapi disebabkan penyelenggara itu sendiri," lanjutnya.
Masih menyoal peran penyelenggara, Yusdiyanto melanjutkan, penurunan angka partisipasi pemilih ini bisa dibilang wajar. Mengingat, menjelang detik-detik hari pencoblosan posisi komisioner di level kabupaten/kota hingga provinsi kompak mengalami pergantian.
"Ini sangat memengaruhi karena bicara mengenai kecakapan, kemampuan, hingga kompetensi. Apa bedanya dengan orang gagap yang ditunjuk tiba-tiba melaksanakan pemilihan. Ini secara signifikan memengaruhi kerja-kerja partisipasi pemilih," katanya.
Penurunan partisipasi pemilih di Pilkada dibandingkan dengan Pilpres maupun Pileg, sejatinya sudah dapat diprediksi. Sebab, kerja-kerja sosialisasi pencalonan Pilkada hanya bertumpu pada paslon, sedangkan di masa Pilpres dan Pileg lebih kepada mesin partai hingga masing-masing caleg.
Oleh karenanya ke depan, ia mengingatkan, peningkatan partisipasi pemilih perlu dilakukan perubahan dan perbaikan menyeluruh terhadap regulasi. Serta pentingnya pembenahan SDM penyelenggara sebab tidak semua mereka mampu menerjemahkan ketentuan reguler penyelenggaraan pemilihan.
"Dari sisi pelaksanaan tata kelola pemilihan, semua hanya bicara bagaimana melaksanakan tapi tidak melihat tujuan. Jadi perlu ditekankan Pilkada adalah pesta rakyat dalam menyalurkan aspirasi masyarakat," ucap dosen Fakultas Hukum Unila tersebut.
Tim penulis: Debbie Sutrisno, Azzis Zulkhairil (Bandung), Muhamad Iqbal, Maya Aulia Aprilianti (Tangerang), Ashrawi Muin (Makassar), Halbert Caniago (Padang), Muhammad Nasir, Ruhaili (Mataram), Tama Wiguna, Muhaimin Abdullah (Bandar Lampung), Rangga Erfizal (Palembang), Erik Alfian (Balikpapan), Rizal Adhi Pratama (Malang), Ni Komang Yuko Utami, Wayan Antara (Denpasar), Indah Permata Sari (Medan)