Makassar, IDN Times – Dari kejauhan, Kota Makassar tampak seperti fatamorgana. Siluet gedung-gedung tingginya samar, kalah telak oleh gradasi air toska dan pasir putih sehalus tepung yang terhampar di bibir pantai.
Inilah Pulau Samalona, daratan mungil yang mengapung di tengah birunya laut. Berjarak hanya 6,8 kilometer, sebuah perjalanan singkat 25 menit menunggang perahu motor dari Pantai Losari. Namun bagi mereka yang berada di sana, jarak itu bisa terasa seperti jurang pemisah peradaban yang menganga lebar.
Dengan luas daratan sekitar dua hektare, menu utama di pulau ini adalah laut. Bukan sekadar memandangnya, tapi menceburkan diri ke dalamnya. Di bawah sana, terumbu karang menari pelan mengikuti arus, menjadi labirin bagi ikan-ikan badut yang berenang abai pada manusia. Ada keheningan purba di bawah permukaan air itu, sebuah dunia sunyi yang berwarna-warni.
Bagi mereka yang enggan basah, pesisir pantai adalah tempat terbaik buat merayakan kemalasan. Di bawah naungan pohon ketapang dan nyiur yang condong ke laut, tikar-tikar terhampar, dan angin Selat Makassar menerpa wajah-wajah yang lelap tertidur atau sekadar melamun menatap cakrawala.
Senja adalah jam emas. Orang-orang berdiri mematung atau duduk diam di pasir, menanti matahari perlahan tenggelam di balik garis laut, menyisakan siluet Kota Makassar yang mulai menyalakan lampu-lampunya di kejauhan. Sebuah siklus liburan yang sederhana, namun mewah bagi jiwa-jiwa yang lelah oleh kota.
Selama bertahun-tahun, Samalona adalah paradoks. Ia adalah "pulau surga", tempat di mana para pelancong datang mencari sunyi. Namun di sisi lain, mereka yang datang justru disambut oleh bising.
Di sini, 13 keluarga yang terdiri dari 41 jiwa menggantungkan nasib. Mereka adalah warga lokal, hidup turun-temurun di rumah-rumah panggung yang kini bersalin rupa menjadi homestay.
Dulu, saat matahari tergelincir ke ufuk barat, sebuah ritual bising dimulai. Satu per satu mesin generator set (genset) ditarik tuasnya. Brrrrmmm… tretetet….! Suara mesin dengan bahan bakar bensin itu menderu, bersahut-sahutan dari pekarangan rumah warga. Asap tipis berbau pembakaran menyeruak, bercampur aroma asin laut. Keindahan visual pulau ini seketika bertabrakan dengan polusi suara yang brutal.
“Ada kira-kira sebelas genset. Kalau malam, ribut sekali,” kenang Kamaruddin, satu-satunya Ketua RT di Samalona, saat berbincang dengan IDN Times pada pertengahan Oktober 2025. Ia mengingat keluhan-keluhan tamu yang datang mencari tenang tapi malah tak bisa mendengar suara ombak. Genset jadi kebutuhan mutlak karena jadi satu-satunya sumber energi listrik.
“Polusi juga di mana-mana,” ucapnya.
Untungnya, itu adalah cerita lama. Kini narasinya berubah.
