Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Warga menggelar aksi menolak lokasi PLTSa di DPRD Makassar, Rabu (6/8/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)
Warga menggelar aksi menolak lokasi PLTSa di DPRD Makassar, Rabu (6/8/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)

Intinya sih...

  • Warga menilai fasilitas insinerator ancam kesehatan dan keselamatan

  • Aksi penolakan terhadap PLTSa di Makassar sebagai respons terhadap rencana pembangunan yang dinilai mengancam kesehatan dan keselamatan warga.

  • Pembakaran sampah dalam insinerator dapat menghasilkan partikel berbahaya yang sulit terurai di lingkungan.

  • Warga khawatir pencemaran udara dan air

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Makassar, IDN Times - Pada Rabu (6/8/2025), puluhan warga dari Kelurahan Mula Baru, Tamala’lang, Alamanda, dan Akasia Kecamatan Tamalanrea mendatangi halaman kantor DPRD Kota Makassar. Mereka mengangkat poster dan membentangkan spanduk bertuliskan penolakan terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

Seorang pria tampak berdiri di tengah kerumunan, mengangkat papan kayu bertuliskan 'Kampung Bukan Tempat Sampah' dengan cat merah dan biru menyala. Di sisi lain, barisan perempuan memimpin orasi dengan suara lantang. 

"Kami menolak! Kami menolak!" teriak mereka secara serempak.

1. Warga menilai fasilitas insinerator ancam kesehatan dan keselamatan

Warga membentangkan spanduk penolakan PLTSa di Gerbang Eterno, Tamalanrea, Makassar, Selasa (29/7/2025). (Dok. WALHI Sulsel)

Aksi ini merupakan respons terhadap rencana pembangunan PLTSa oleh PT Sarana Utama Energy (PT SUS), yang lokasinya direncanakan berada di kawasan padat penduduk yaitu Mula Baru, Tamalalang, Alamanda, dan Akasia. Warga menilai keberadaan fasilitas insinerator di tengah permukiman sebagai ancaman bagi kesehatan dan keselamatan mereka.

"Ini bukan cuma soal proyek. Ini soal masa depan anak-anak kami,” kata Hj Asiz, selaku koordinator aksi, saat ditemui di sela unjuk rasa.

Asiz menjelaskan pembakaran sampah dalam insinerator menghasilkan partikel-partikel berbahaya seperti PM2.5, dioksin, dan furan, yang dikenal bersifat karsinogenik dan sulit terurai di lingkungan. Zat-zat ini dapat tersebar lewat udara, masuk ke rantai makanan, dan berdampak pada sistem kekebalan tubuh serta pertumbuhan anak.

Tak hanya mempersoalkan dampak lingkungan dan kesehatan, warga juga menyoroti beban fiskal yang ditimbulkan. Skema tipping fee atau pembayaran biaya operasional kepada operator selama masa kontrak dinilai berisiko memberatkan keuangan daerah.

"Kalau proyek ini jalan, Pemkot harus bayar tipping fee setiap tahun. Itu duit rakyat. Daripada uangnya habis untuk bakar sampah, lebih baik digunakan untuk program pendidikan, kesehatan, atau pengembangan sistem pengelolaan sampah yang benar-benar berkelanjutan,"  kata Asiz.

Warga juga mengaku tidak pernah merasa dilibatkan secara utuh dalam proses perencanaan proyek. Sejumlah pertemuan yang disebut sebagai sosialisasi dinilai tidak transparan dan hanya menghadirkan segelintir orang yang tidak mewakili keseluruhan warga terdampak.

"Polutan dari insinerator tidak hanya berhenti di lokasi pembangunan. Gas dan partikularnya akan terbawa udara, menyebar luas, mencemari tanah, air, dan akhirnya masuk ke tubuh manusia lewat rantai makanan. Kami tidak mau anak cucu kami jadi korban eksperimen industri," kata Azis. 

2. Warga khawatir pencemaran udara dan air

Peta lokasi PLTSa ditampilkan dalam rapat dengar pendapat di gedung DPRD Makassar, Rabu (6/7/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)

Aksi penolakan warga terhadap lokasi proyek PLTSa berlanjut ke rapat dengar pendapat (RDP). RDP ini berlangsung di gedung DPRD Makassar. 

Warga  diterima oleh Komisi C. Di dalam ruang rapat, perwakilan warga menyuarakan kekhawatiran atas dampak pencemaran udara dan air yang ditimbulkan insinerator.

"Kami mendukung PSEL tapi jangan juga pemukiman warga, karena ada polusi udara yang menyebabkan kanker dalam jangka waktu tertentu," kata Dadang, warga Alamanda, saat menyampaikan pendapatnya dalam RDP.

Menurut Dadang, efek dari proyek tersebut mungkin tidak akan terlihat dalam waktu dekat. Akan tetapi, efeknya bisa berjangka panjang sehingga berbahaya bagi anak cucu mereka. 

"Izin sementara pengoperasian pabrik ini 30 tahun ke depan. Setiap hari, kami harus menghirup udara bau. Jumlah kapasitas 1.3000 ton. Kami di Alamanda menggunakan sumur bor. Kalau ada PLTSa, akan bau dan sumber air kami," katanya. 

Kekhawatiran ini lantaran mengingat pengoperasian PLTSa. Jika terealisasi, maka PLTSa akan memproses pembakaran yang akan menghasilkan gas dan partikulat yang berbahaya bagi makhluk hidup di sekitarnya. 

Paparan terhadap senyawa berbahaya ini tidak hanya terjadi pada area dekat fasilitas saja, tapi akan tersebar jauh sebagai akibat dari dispersi udara. Akibatnya, jumlah orang dan lingkungan terdampak akan menjadi sangat besar.

3.  DPRD Makassar minta peninjauan lokasi ulang

Sekretaris Komisi C DPRD Makassar, Ray Suryadi. (IDN Times/Asrhawi Muin)

Komisi C DPRD Kota Makassar menyoroti ketidaksesuaian perencanaan lokasi proyek dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar. Sekretaris Komisi C, Ray Suryadi, menilai pembangunan fasilitas pengelolaan sampah tidak seharusnya berada di kawasan yang sudah ditempati perumahan dan industri.

"Karena di sana ada perumahan, ada industri, masa ada di sana lagi dibuat yang namanya tempat sampah. Hal-hal yang seperti ini sebenarnya membuat kekacauan di kita Makassar ini, terkait ada pembangunan yang  bersifat tidak konsisten dalam menerapkan aturan yang ada," katanya. 

Ray menyarankan agar proyek PLTSa dipindahkan ke TPA Tamangapa di Kecamatan Manggala. Lokasi tersebut dinilai lebih tepat karena sejak awal sudah difungsikan sebagai tempat pengelolaan sampah.

"Kami menganggap kalau masih ada kesempatan untuk tempat itu bisa diganti atau dipindahkan di tempat mana, maka kami akan sangat sepakat untuk dipindahkan. Kami ingin memberi masukan tempat pembuangan sampah itu di wilayah asal muasalnya (TPA Antang)," katanya. 

Menurut Ray, Kota Makassar masih menghadapi kekurangan ruang terbuka hijau. Dia menilai pembangunan industri seperti PLTSa bisa semakin mempersempit ruang hijau yang tersisa.

"Kota Makassar ini memang yang menjadi salah satu kekurangannya adalah ruang terbuka hijaunya. RTH kami membutuhkan beberapa persen. Kita belum capai itu, kita lagi mau membuat industri yang bersifat mempengaruhi ruang terbuka hijau kita," jelasnya. 

Dia menegaskan proyek PLTSa masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) sesuai Perpres 35 Tahun 2018. Namun, penentuan lokasinya tetap memerlukan kesepakatan bersama antara panitia pelaksana dan pemerintah daerah.

"Mudah-mudahan pemerintah bisa terketuk hatinya, bisa merasionalisasikan hal-hal yang berbau masa depan Kota Makassar. Kami berharap ada peninjauan lokasi ulang lagi karena kami menganggap konsistensi dalam menerapkan rencana tata ruang detail ini yang agak kurang," kata Ray. 

4. Kontrak PLTSa sudah ditandatangani

Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar, Ferdi Mochtar, dalam rapat dengar pendapat terkait penolakan lokasi proyek PLTSa di gedung DPRD Makassar, Rabu (6/8/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)

Sementara itu, Pemerintah Kota Makassar menyebut seluruh tahapan pembahasan internal terkait proyek PLTSa telah berlangsung sejak 2019. Proyek tersebut merupakan bagian dari amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik.

Pada RDP tersebut, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar, Ferdy Mochtar, menyampaikan bahwa seluruh rangkaian pembahasan di internal pemerintah kota telah berjalan. Ferdy juga sempat menjabat Pelaksana Tugas Kepala Dinas saat penandatanganan kontrak kerja sama dilakukan.

"Pada tanggal 28 September 2024, kami menandatangani kontrak antara Pemerintah Kota Makassar dan PT SUS sebagai pemenang tender. Penandatanganan dilakukan di kantor Kementerian Investasi dan Kemaritiman," kata Ferdy.

Sejak kontrak ditandatangani, tanggung jawab pengurusan seluruh proses administrasi dialihkan kepada pihak pemenang tender. Hal itu, menurut Ferdy, sudah sesuai dengan ketentuan dalam Perpres 35 Tahun 2018.

Namun hingga saat ini, tidak ada prosedur administrasi lanjutan di tingkat Pemerintah Kota Makassar yang berjalan. Ferdy menyebut pihaknya masih menunggu diterbitkannya perpres baru yang akan menjadi acuan terbaru bagi lokasi dan pelaksanaan kontrak proyek PSEL tersebut.

"Kita akan menunggu Perpres yang baru. Acuan untuk kontrak kerja yang ditentukan sebagai lokasi PSEL dengan perpres yang akan diterbitkan," katanya.

5. Pemkot Makassar tunggu regulasi baru untuk pastikan dasar hukum proyek PSEL

Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin menerima aspirasi warga Tamalanrea terkait rencana lokasi pembangunan PLTSa di Balai Kota, Selasa (19/8/2025). (Dok. Humas Pemkot Makassar)

Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, menyampaikan pemerintah kota saat ini masih berkonsultasi dengan kementerian terkait guna memastikan dasar hukum pembangunan proyek tersebut. Dia mengatakan regulasi sebelumnya berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves).

Namun, Kemenko Marvel kini sudah dibubarkan. Pengelolaan PSEL selanjutnya disebut akan berada di bawah Kementerian Koperasi Pangan serta Kementerian Lingkungan Hidup.

"Saya sudah bolak-balik bertanya ke kementerian, apakah masih tunduk pada Perpres 35 atau tidak? Ini agar tidak ada masalah hukum maupun persoalan kesehatan lingkungan di kemudian hari. Saat ini kita menunggu Perpres baru," kata Munafri.

Dia menegaskan perlunya kajian mendalam sebelum melanjutkan pembangunan PLTSa atau PSEL di wilayah Tamalanrea. Kajian ini dimaksudkan untuk memastikan proyek tersebut berjalan aman dan tidak merugikan warga setempat. 

Munafri menyebutkan kapasitas sampah kota yang mencapai 1.000-1.300 ton per hari, dengan lebih dari 50 persen berupa sampah organik sehingga harus dievaluasi secara menyeluruh. Evaluasi ini dimaksudkan untuk memastikan ketersediaan bahan bakar bagi PLTSa agar dapat beroperasi sesuai target energi listrik 20-25 MW.

"Apakah kapasitas sampah itu cukup? Kalau tidak, apakah harus mengambil sampah dari daerah lain untuk mencukupkan. Ini yang harus dikaji serius," kata Munafri saat menerima aspirasi warga setempat di Balai Kota, Selasa (19/8/2025). 

Meski begitu, dia menyambut aspirasi warga. Dia menilai pembangunan memang penting, namun suara masyarakat harus diutamakan agar kebijakan tidak berujung pada persoalan hukum maupun sosial di kemudian hari.

Dia menekankan pembangunan perlu sejalan dengan kepentingan warga dan tidak boleh merugikan mereka. Pemerintahan, katanya, bersifat berkelanjutan sehingga keputusan tidak bisa diambil secara tergesa untuk menolak maupun melanjutkan.

"Tapi yang pasti, saya tetap mendengar aspirasi masyarakat dan tidak ingin warga dirugikan," kata Munafri. 

6. WALHI soroti AMDAL PLTSa

Kepala Divisi Transisi Energi WALHI Sulsel, Fadli, saat ditemui di Balai Kota Makassar, Selasa (19/8/2025). (IDN Times/Asrhawi Muin)

Di sisi lain, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan (Sulsel)  menyoroti proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT. SUS terkait rencana pembangunan PLTSa di Tamalanrea. Menurut Kepala Divisi Transisi Energi WALHI Sulsel, Fadli mayoritas warga belum dilibatkan secara bermakna dalam proses AMDAL.

"Proses AMDAL dilakukan PT. SUS saat ini sangat disayangkan. Mayoritas warga belum dilibatkan secara bermakna, buktinya warga datang ke sini ada lebih dari 200 orang menghadap ke Pak Wali dan meminta supaya lokasi ini dipindahkan atau dibatalkan di Tamalanrea," kata Fadli. 

WALHI menemukan bahwa kerangka Acuan AMDAL tidak memuat kajian mengenai dioksin. Kekhawatiran warga terhadap risiko kanker dianggap wajar, karena senyawa dioksin yang berasal dari pembakaran sampah sama sekali tidak dibahas dalam kajian tersebut.

Selain itu, kajian yang disusun tidak mencakup proyeksi dioksin maupun baku mutu dioksin di lokasi proyek. Hal ini disayangkan karena AMDAL menjadi acuan utama dalam penentuan kebijakan lingkungan di masa mendatang.

"Kalau seandainya dioksid tidak dianggap sebagai suatu baku mutu, maka ini sangat berbahaya bagi kesehatan warga, khususnya bagi masyarakat yang khawatir akan kanker. Saya kira AMDAL disetujui untuk izin lingkungannya atau dibatalkan kalau sudah ada," kata Fadli. 

Fadli mengungkapkan pihak warga telah bertemu dengan dengan PT. SUS pada 20 Juli 2025 lalu. Saat itu, warga setempat dilibatkan dalam diskusi. Dalam proses tersebut, warga secara bulat menyatakan penolakan terhadap keberadaan PT. SUS di lokasi mereka.

Seharusnya, jika proses AMDAL berjalan sesuai ketentuan, maka PT. SUS tidak melanjutkan proyek karena warga menolak keberadaannya. Namun, sayangnya, proyek tetap dilanjutkan meski aspirasi masyarakat belum terpenuhi.

"Sangat disayangkan dari hasil setelah itu, PT. SUS justru melanjutkan kegiatannya dan mereka belum punya izin lingkungan, dan dokumen-dokumen lainnya," kata Fadli. 

Fadli menegaskan aktivitas PT. SUS di lokasi tersebut dikategorikan masih ilegal. Perusahaan telah melaksanakan pengukuran, pengeboran, dan berbagai kegiatan, termasuk penyelenggaraan Pesta 17 Agustus.

Hal ini disayangkan karena kegiatan tersebut justru memicu perpecahan di antara warga. Beberapa warga yang menolak proyek ditawari imbalan berupa uang, namun upaya tersebut tidak diterima dan menimbulkan ketegangan di masyarakat.

"Jadi ada upaya sogok-menyogok secara halus tapi warga tidak tinggal diam. Warga juga merespon kejadian itu dengan membuat acara 17 Agustus secara swadaya," katanya.

Editorial Team