Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sejumlah warga mengarak "julung-julung" (replika perahu) yang sudah dihias saat peringatan "Maudu Lompoa (Maulid Besar) di Desa Cikoang, Takalar, Sulawesi Selatan, Selasa (26/11/2019). Maudu Lompoa tersebut merupakan puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksakan setiap tahun oleh warga setempat dan menjadi salah satu objek wisata budaya Kabupaten Takalar. (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Makassar, IDN Times - Sama seperti di wilayah Nusantara lainnya, Sulawesi Selatan pun memiliki acara Maulid akbar sendiri. Masyarakat Desa Cikoang, Kecamatan Mangara'bombang, Kabupaten Takalar, mengenalnya sebagai Maudu Lompoa.

Agenda tahunan tersebut kembali dihelat pada Selasa (26/11) kemarin dengan meriah serta melibatkan ratusan orang. Sejumlah wisatawan lokal dan mancanegara pun tak ingin ketinggalan melihat langsung kemeriahan peringatan yang berpusat di tepian Sungai Cikoang.

Maudu Lompoa, yang menjadi puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 29 Rabiul Awal atau akhir bulan Rabiul Awal, rupanya tak lepas dari sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan.

Menurut Ketua Lembaga Adat, Karaeng Laikang M Yunus Aidid Karaeng Sibali, tradisi ini adalah bagian tak terpisahkan dari komunitas keturunan Sayyid Jalaluddin Al-Aidid, seorang Mufti untuk Kesultanan Gowa di masa kepemimpinan Sultan Alauddin (1593-1639).

1. Acara "Maudu Lompoa" adalah bagian tak terpisahkan dari riwayat penyebaran Islam di Takalar

Wikimedia Commons/Raiyani Muharramah

Sejumlah riwayat menyebut bahwa Sayyid Jalaluddin memiliki darah Arab Hadramaut, dan diyakini keturunan ke-27 Nabi Muhammad SAW. "Sayyid Jalaluddin ini adalah penyebar Agama Islam di Cikoang dan sekitarnya kemudian merambah ke Sulsel," kata Karaeng Sibali seperti dikutip dari laman kantor berita Antara.

Dalam cerita rakyat disebutkan bahwa karena sesuatu dan lain hal, Sayyid Jalaluddin minggat dari Istana Balla Lompoa tanpa ditemani sang istri yakni Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir. Ia berjalan ke wilayah utara menyusuri Sungai Bontolara, Parappa, Sanrobone dan Maccinibaji dengan bawaan hanya sajadah dan cerek atau wadah untuk air wudhu.

Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan sepasang kesatria yang bertugas mengawasi Sungai Cikoang yakni I Bunrang dan I Danda. Pertemuan mereka di Sungai Cikoang diawali dengan rasa penasaran keduanya ketika melihat siluet kapal besar dari kejauhan. Saat didekati, ternyata siluet tersebut adalah Sayyid Jalaluddin tengah duduk bersila di atas sajadah yang terapung melayari sungai.

Singkat cerita, Sayyid Jalaluddin langsung diterima oleh penduduk Cikoang. Setelah memboyong sang istri, ia kemudian memimpin jamaah di desa tersebut hingga akhir hayat.

2. Persiapan untuk acara puncak ternyata sudah dimulai pada 40 hari sebelumnya

Editorial Team

Tonton lebih seru di