Makassar, IDN Times – Senja baru saja merapat di langit Kota Makassar, Sulawesi Selatan, saat Anita merapikan gawainya. Di satu sisi, layar ponselnya menampilkan grup percakapan sekolah sang anak sulung yang baru duduk di kelas satu SD. Di sisi lain, sebuah grafik hijau perlahan merangkak naik, menampilkan harga emas terkini.
Bagi Anita, seorang ibu rumah tangga sekaligus karyawati berusia 35 tahun, dua layar itu adalah representasi dunianya: masa kini anak-anaknya, dan masa depan yang tengah ia perjuangkan gram demi gram.
Anita memulai ikhtiarnya menabung emas sejak tahun 2022. Keputusannya lahir dari kesadaran sederhana bahwa nilai uang kertas terus tergerus zaman. Kala itu, ia menempuh cara konvensional: membeli emas batangan secara fisik.
“Saya mulai membeli emas sejak tiga tahun lalu, waktu harga per gramnya masih di kisaran satu jutaan,” tuturnya, Selasa (30/9/2025).
Pilihannya jatuh pada emas bukan tanpa alasan. Logam mulia ini, menurutnya, cocok untuk tujuan jangka panjang. “Emas itu likuid serta tahan terhadap inflasi. Dibandingkan tabungan tunai, nilainya jauh lebih terjaga,” ujarnya.
Karakteristik inilah yang menjadi fondasi harapannya. Dengan dua anak yang masih kecil, Anita memandang tumpukan gram emas digitalnya sebagai jaring pengaman masa depan.
“Harapannya, nilai tabungan emas ini bisa digunakan untuk biaya sekolah anak hingga perguruan tinggi. Bisa juga jadi dana darurat sewaktu-waktu,” katanya.
Keyakinannya diperkuat oleh sifat universal emas. Nilainya diakui dan laku di mana saja, serta punya potensi kenaikan harga dalam jangka panjang. Sebagai gambaran, harga emas pada 2025 yang sudah menembus Rp2 juta per gram, naik dua kali lipat dibandingkan tiga tahun lalu.