Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Menanti Panggilan Haji: Antrean Panjang, Harapan Tak Padam

Ilustrasi jemaah haji. (IDN Times/Aditya Pratama)

Makassar, IDN Times - Setiap pagi selama 17 tahun, Nursadek Musa menyapu jalanan Kota Ternate, Maluku Utara dengan satu harapan sederhana: bisa menjejakkan kaki di Tanah Suci. Di balik tangannya yang cekatan dengan sapu lidi, dia menyimpan mimpi besar yang tak pernah padam. Meski, penghasilannya yang tak lebih dari Rp300 ribu hanya cukup untuk makan dan menyisihkan sedikit demi sedikit tabungan haji.

Pada tahun 2014, Nursadek bisa mendaftarkan diri sebagai calon Jemaah haji dan mendapatkan nomor porsi keberangkatan. Namun perjuangannya belum berhenti. Dia masih harus menunggu selama 11 tahun untuk bisa berangkat menunaikan Rukun Islam kelima.

Tahun ini, penantiannya berakhir— di usianya memasuki 75 tahun, dia akhirnya berangkat haji.  Nursadek termasuk dalam Jemaah haji Provinsi Maluku Utara yang tergabung dalam Embarkasi Makassar. Dia berangkat bersama kelompok terbang (kloter) 17 menuju Madinah, Arab Saudi, Selasa (13/5/2025). Tahun ini Malut mendapat kuota Jemaah haji sebanyak 1.067 orang.

"Saya daftar haji sembunyi-sembunyi, jangan sampai orang tahu. Saya orang susah, takut dibilang orang susah kok mimpi pergi haji, karena haji itu uangnya juta-juta. Tapi saya niatkan, semoga Allah izinkan saya bisa berhaji. Alhamdulillah, tahun ini saya dipanggil pergi haji,” kata Nursadek saat berbincang dengan PPIH Embarkasi Makassar jelang keberangkatannya.

Lain lagi kisah Hasnah Daeng Haya Bahar, perempuan 62 tahun asal Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, yang juga berangkat haji di 2025. Tergabung dalam kloter 23 Embarkasi Makassar, dia mendaftar haji sejak 14 tahun lalu. Namun perjuangannya mewujudkan niat ibadah ke Tanah Suci sudah dimulai sejak awal menikah, pada tahun 1985. Caranya dengan menabung sedikit demi sedikit dari hasil beternak bebek di kolong rumahnya.

“Uang itu, dari hasil jual telur bebek yang saya kumpulkan sedikit demi sedikit. Ada kios kecil saya di rumah, jadi telur itu saya jual langsung sendiri di kios,” katanya.

Kabupaten Maros memiliki kuota haji sebanyak 296 orang tahun ini, sama seperti tahun lalu. Dengan kuota yang terbatas, antrean keberangkatan haji di Maros cukup panjang. Calon jemaah haji di Maros harus menunggu hingga 38 tahun untuk bisa berangkat ke Tanah Suci. Jemaah yang berangkat tahun ini adalah mereka yang telah mendaftar sekitar 15 tahun lalu, yakni pada akhir 2010 hingga awal 2011.

Di Kota Denpasar, Bali, ada Husein Ismail (65) tahun yang mengakhiri penantian panjangnya. Dia mendaftar haji sejak 2013, sehingga masa tunggunya untuk mendapatkan kuota ibadah haji berlangsung 12 tahun.

Orang mendaftar haji wajib memiliki menyetorkan dana awal sebesar Rp25 juta. Husein mengaku saat mendaftar, dia mengambil dana talangan dulu di Bank Syariah. Ia berhasil melunasi pinjaman tersebut dengan cara mencicil Rp500 ribu per bulan.

“Selanjutnya kami perkirakan berapa sih total biaya Haji. Ternyata sekitar Rp60 jutaan. Kami nabung lagi, dan Alhamdulillah semuanya lancar. Tidak ada kesulitan,” ucap pensiunan wiraswasta ini.

Menunggu selama 13 tahun, Husein mengaku penantian itu tak berasa. Ia memilih bersabar hingga mendapatkan informasi, bahwa kuota ibadah Haji telah digenggam.

Nursadek, Hasnah, dan Husein hanya segelintir dari kisah-kisah serupa di berbagai daerah. Jutaan umat Islam di Indonesia tengah menapaki jalan panjang yang sama, menunggu panggilan haji selama belasan hingga puluhan tahun, di tengah antrean yang tak kunjung pendek dan ketidakpastian yang terus membayangi.

Kuota terbatas, masa tunggu sampai 48 tahun

Hasna Daeng Haya, perempuan asal Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, yang berangkat haji dari hasil jual telur bebek sejak tahun 1986. (Dok. Kemenag Sulsel)

Tingginya antusiasme masyarakat menunaikan ibadah haji tidak sebanding dengan terbatasnya kuota. Akibatnya terjadi antrean panjang dalam daftar tunggu Jemaah haji hingga puluhan tahun.  

Menurut data Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) Kementerian Agama, Kabupaten Bantaeng di Sulawesi Selatan kini jadi daerah dengan daftar tunggu Jemaah haji terlama se-Indonesia, yaitu 48 tahun. Jumlah daftar tunggu haji di Bantaeng mencapai 8.474 orang, sedangkan kuota jemaah haji -setidaknya tahun ini- hanya 181 orang.

Antrean Panjang dengan estimasi waktu tunggu empat dekade juga terjadi di beberapa daerah lain di Sulsel. Antara lain, Sidrap 46 tahun, Pinrang (44), Parepare (43), Makassar dan Wajo (41), dan Jeneponto (40). Sedangkan daerah lain di Sulsel masa tunggunya antara 23 hingga 39 tahun.

Di tingkat provinsi, sebanyak 245 ribu orang tercatat dalam daftar tunggu keberangkatan. Asa Afif, Ketua Tim Bina Petugas dan Haji Reguler Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kanwil Kementerian Agama Sulsel mengakui tingginya animo masyarakat tidak sebanding dengan kuota haji yang tersedia.

"Kalau daftar tunggu itu sekitar 245 ribu untuk yang sudah daftar tapi belum berangkat dan masuk waiting list. Itu kalau kita rata-ratakan dengan asumsi kuota yang diberikan tahun ini 7.272 maka diperkirakan itu jemaah haji Sulawesi Selatan itu akan berangkat rata-ratanya 34 tahun," kata Afif saat dihubungi IDN Times, Kamis (29/5/2025).

Kanwil Kemenag Daerah Istimewa Yogyakarta juga mencatat masa tunggu haji di daerahnya mencapai 34 tahun. Sementara itu kuota keberangkatan haji setiap tahunnya di DIY sebanyak 3.147 jamaah.

 “(Jumlah antrean) ya dikalikan saja 34 dikali 3.147,” ujar Kepala Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag DIY Jauhar Mustofa.

Jauhar menjelaskan calon jamaah haji yang masuk kategori lansia mendapat prioritas khusus. Syaratnya harus sudah memiliki nomor kursi minimal lima tahun.

 “Yang saat ini kita berangkatkan ada 157 lansia, terbagi dari lima kabupaten/ kota, termuda 85 tahun (dari jamaah lansia). Itu harus sudah mendaftar per 3 Mei 2020 berarti, kurang dari lima tahun gak boleh. Jadi lansia yang masuk radar keberangkatan, minimal sudah mendaftar 5 tahun lalu,” jelas Jauhar.

Minat tinggi masyarakat untuk berhaji juga terlihat dalam antrean di Nusa Tenggara Barat (NTB). Kanwil Kemenag NTB mencatat antrean jemaah haji untuk diberangkatkan ke Arab Saudi sampai 40 tahun, sedangkan setiap tahun kuotanya 4.499.

"Jadi, jika mendaftar hari ini, insyaallah akan berangkat pada tahun 2065," kata Ketua Tim Bina Haji Reguler dan Advokasi Bidang PHU Kanwil Kemenag NTB Syukri Safwan. Data yang disodorkan ini berbeda dengan SISKOHAT, yang menunjukkan masa tunggu haji NTB rata-rata 38 tahun.

Syukri menjelaskan beberapa upaya yang dilakukan Kanwil Kemenag NTB untuk memperpendek lama antrean haji. Diantaranya, melakukan komunikasi dengan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Agama (Kemenag) RI untuk meminta tambahan kuota haji setiap tahun. Kemudian, melakukan penyisiran terhadap jemaah porsi batu. Jemaah porsi batu adalah calon jemaah haji yang berkali-kali keluar nomor porsinya namun tak diambil oleh calon jemaah yang bersangkutan.

"Artinya keluar rilis tapi yang bersangkutan tidak mengambil porsinya. Itu dilakukan penyisiran karena berpengaruh terhadap masa tunggu calon jemaah haji yang lainnya," jelasnya.

Di tengah panjangnya waiting list, masa tunggu setiap calon jemaah haji berbeda-beda. Hal itu disampaikan Humas Kemenag Sumsel sekaligus Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) embarkasi Palembang tahun 2025, Abdul Qudus. Dia mencontohkan, orang yang mendaftar tahun 2025, baru bisa berangkat diperkirakan 25 tahun mendatang atau 2050, atau lebih lama.

"Jadi yang mendaftar di tahun berbeda, jadwal berangkatnya juga beda. Bahkan yang daftar di awal tahun 2020, pertengahan tahun atau akhir tahun itu daftar tunggunya juga bisa beda," kata dia.

Dia menyampaikan, untuk waktu daftar tunggu per tahun, Kementerian Agama (Kemenag) Sumsel tidak bisa memberikan jadwal pasti. Karena semua ketentuan waktu keberangkatan ditetapkan langsung oleh pemerintah pusat, sedangkan daerah sebagai pelaksana.

"Untuk bisa mengecek lebih valid (waktu keberangkatan) bisa melalui aplikasi haji pintar," jelasnya, sembari menyebutkan bahwa data terakhir ada 7.012 calon jemaah yang masih masuk daftar antre keberangkatan ke Tanah Suci.

Alokasi kuota sesuai jumlah penduduk, ada prioritas untuk lansia

Daerah dengan masa tunggu antrean haji terlama di Indonesia berdasarkan data SISKOAT Kemenag per Mei 2025. (IDN Times/Aditya Pratama)

Sistem penetapan kuota haji Indonesia mengikutip kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) tahun 1987 di Amman, Yordania. OKI menetapkan kuota haji 1:1000 dari jumlah penduduk Muslim suatu negara. Itu berarti setiap seribu penduduk Muslim di suatu negara berhak atas satu kursi jemaah haji.

Berdasarkan ketetapan tersebut, Pemerintah Arab Saudi memiliki otoritas untuk menetapkan jumlah kuota haji setiap tahun bagi setiap negara anggota OKI. Tahun ini Indonesia dapat kuota 221 ribu.

Dari kuota yang diberikan Arab Saudi, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama menetapkan kuota haji nasional secara proporsional untuk setiap provinsi dan berlanjut ke tingkat kabupaten/kota. Asa Afif dari Kanwil Kemenag Sulsel menjelaskan, di tingkat provinsi, kuota haji dari pemerintah pusat kemudian dibagi ke kabupaten dan kota berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur. Rumus yang digunakan tetap sama yaitu satu kuota untuk setiap seribu penduduk muslim.

"Perbandingan kuota masing-masing kabupaten kota itu didasarkan jumlah penduduk muslim yang ada di tiap kabupaten kota. Semakin besar penduduk muslimnya, tentu kuota jemaahnya lebih besar," kata Afif.

"Misalnya di Makassar itu, jumlah penduduk muslimnya itu diperkirakan sekitar 1 juta orang. Berarti kalau 1:1.000, maka jumlah kuota yang diberikan kepada Makassar itu sekitar 1.000 orang," dia menambahkan.

Kementerian Agama menetapkan skema prioritas dalam penetapan calon jemaah haji. Skema ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler.

Pertama, jemaah yang sudah melunasi pembayaran tahun sebelumnya namun tertunda keberangkatannya karena tidak masuk alokasi kuota. Kedua, jemaah dalam daftar reguler sesuai antrean tahun berjalan. Ketiga, prioritas bagi jemaah lanjut usia (lansia).

"Kalau lansia, berdasarkan undang-undang itu, yang masuk kategori lansia itu adalah jemaah haji yang berusia di atas 65 tahun. Untuk tahun ini, kita diberikan kuota 5 persen atau 364 orang," kata Afif.

Persyaratan utama bagi jemaah yang masuk alokasi kuota lansia adalah telah terdaftar minimal selama lima tahun. Artinya, calon jemaah tersebut sudah pernah mendaftar dan namanya tercatat sekurang-kurangnya lima tahun sebelumnya. Setelah itu, penentuan berdasarkan dengan mengurutkan usia tertua di tingkat provinsi. Misalnya di Sulawesi Selatan, seluruh jemaah yang memenuhi syarat dikumpulkan lalu diranking berdasarkan usia.

Apabila dalam masa pelunasan terdapat jemaah yang batal atau tidak melunasi, maka akan muncul sisa kuota. Kuota ini kemudian dapat dialokasikan kepada tiga kelompok prioritas tambahan.

Pertama, pendamping lansia yang harus merupakan anak kandung atau menantu, serta sudah terdaftar minimal lima tahun. Kedua, penggabungan mahram, seperti suami-istri atau anak-orangtua yang terpisah jadwalnya. Ketiga, jemaah penyandang disabilitas dan pendampingnya.

"Ini diberikan kesempatan untuk mengisi sisa kuota. Jadi bukan kuota khusus. Kuota untuk pendamping tadi, tetapi akan mengisi sisa kuota yang ada. Jadi ada tiga kategori jemaah yang bisa mengisi sisa kuota tadi," kata Afif.

Ada rencana mengubah skema penentuan kuota

Jemaah calon haji lansia saat pelepasan menuju Arab Saudi di Asrama Haji NTB. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Pemerintah sebenarnya membuka peluang mengubah skema penentuan kuota haji nasional di Indonesia. Diharapkan, perubahan skema bisa berpengaruh terhadap masa tunggu.

"Kita akan kaji kembali, apakah berdasarkan provorsi penduduk muslim, atau berdasarkan jumlah pendaftarnya. Mudah-mudahan ke depan kita rumuskan kembali tentang kuota jamaah per provinsi ini," kata Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (Kemenag), Hilman Latief, dikutip dari laman Kemenag, Rabu (5/3/2025).

Hilman mengilustrasikan, ada provinsi yang penduduk muslimnya sampai 48 juta, pendaftarnya hanya 550 ribu jemaah. Sementara, ada provinsi yang penduduk muslimnya 40 juta tapi pendaftar hajinya mencapai 700 ribu. "Hal ini memengaruhi masa tunggu jemaah menjadi tidak merata," kata Hilman.

Hilman menyampaikan hal ini menjawab permintaan Gubernur Aceh tentang penambahan kuota jemaah haji untuk Provinsi Aceh, yang disampaikan Kepala Dinas Syariat Islam, Zahrol Fajri. Zahrol menyampaikan permintaan dari Gubernur Aceh untuk menambah kuota jemaah haji untuk Aceh, mengingat penduduk Aceh yang sudah mencapai 5,5 juta berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).

"Dengan 5,5 juta penduduk Aceh, kami berharap dengan rumus selama ini, yang hanya 4 ribuan jamaah per tahun, kuota haji untuk Aceh disesuaikan kembali semoga bisa hingga 5,5 ribuan jemaah," kata Zahrol.

Daftar haji sejak dini jadi solusi

M Hanif Kholil Azmi, salah satu jemaah haji termuda di kloter 11 (Linda for IDN Times)

Bayangkan kamu mendaftar haji hari ini dan baru bisa berangkat 40 tahun mendatang. Itulah kenyataan yang dihadapi jutaan umat Islam di Indonesia. Namun, sejumlah pemuda kini mulai mengambil langkah berbeda: mendaftar haji sejak usia muda agar kelak bisa menunaikan ibadah rukun Islam kelima di puncak kondisi fisik mereka.

Niatan itu diakui Adi (43), seorang karyawan perusahaan plat merah berdomisili di Kota Bandar Lampung. Ia dan sang istri telah mendaftar sebagai calon jemaah haji sejak 2017. Langkah dan niatan besar ini diambil kala itu bukan tanpa pertimbangan, melainkan penuh dengan perencanaan matang. Kanwil Kemenag Lampung mencatat masa daftar tunggu keberangkatan ibadah haji di provinsi setempat per hari ini mencapai 24 tahun.

“Waktu itu kami langsung daftar berdua. Tabungan haji dibuka Rp25 juta per orang dan masa tunggu sekitar 15 tahun, jadi estimasi berangkatnya di 2032,” ujarnya dikonfirmasi, Jumat (30/5/2025)

Adi mengatakan, keputusan mendaftar haji lebih awal diambil karena pasangan suami istri (Pasutri) ini ingin menunaikan ibadah suci itu dalam kondisi fisik masih prima dan sehat. Sebab, disadari kekuatan fisik dan mental menjadi faktor penting dalam menyiapkan ibadah haji.

“Pertimbangan utama kami memang usia. Kami ingin saat haji nanti masih dalam keadaan sehat dan kuat, supaya ibadahnya juga bisa maksimal,” ucapnya.

Selain itu, Adi dan istrinya menyadari daftar tunggu keberangkatan haji di Indonesia setiap tahunnya terus bertambah panjang. Mendaftar sejak dini menjadi strategi keduanya, agar tidak tertunda lebih lama. "Kalau kami berdua berpikiran, ini niatan baik, jadi kenapa harus ditunda-tunda," lanjut dia.

Urusan menyiasati biaya ibadah haji keduanya, Adi mengakali kebutuhan pembiayaan ke Tanah Suci dengan menyisihkan sebagian penghasilannya setiap bulan. Menurutnya, kesiapan secara finansial tak kalah penting dalam mewujudkan niatan berangkat menunaikan ibadah di Tanah Suci. Sebab, harus disadari besaran biaya tiap tahunnya hampir bisa dipastikan kian merangkak naik.

“Saya rutin mencicil tabungan haji, diusahakan setiap bulan Rp1 juta. Kita tidak tahu nanti biaya haji saat tahun keberangkatan berapa, seperti tahun ini saja informasinya sudah Rp58 juta. Jadi lebih baik mulai dicicil dari sekarang,” ucapnya.

Cerita menarik lainnya datang dari salah satu calon haji termuda di Embarkasi Palembang. Muhammad Nanda Naufaliandra, anggota jemaah asal Kota Palembang, Sumatera Selatan, mengaku sudah didaftarkan haji sejak usia 6 tahun. Kini menginjak usia 19 tahun ia bisa ke tanah suci.

"Saya didaftarkan orang tua haji pada 2011, waktu itu usia saya 6 tahun. Saya bersyukur bisa berangkat haji di usia muda dan sudah cukup usia, mengingat sekarang aturannya minimal usia 18 tahun boleh berangkat haji," ujarnya.

Pemuda kelahiran 18 November 2005 ini bisa berangkat haji di usia yang terbilang sangat muda bersama kedua orang tuanya yakni sang ibu Hindayati usia 55 tahun dan sang Ayah Isnandar Agus usia 55 tahun. 

"Saat ini paling cepat berangkat di usia 40-an kalau daftar di usia 20an. Kalau masih muda kondisi fisik juga masih baik untuk ibadah," ungkap Mahasiswa Jurusan Teknik Informatika Unsri semester 6 ini. 

Mendaftar haji sejak usia dini juga dilakukan M Hanif Kholil Azmi, salah satu jemaah haji termuda di kloter 11 tahun ini. Hanif menceritakan, ia bersama kedua orang tuanya dan kakaknya mendaftar haji dan berangkat bersama. 

"Saya didaftarkan orangtua saat berusia 6 tahun dan seharusnya berangkat pada 2024. Namun karena belum cukup usia jadinya baru berangkat tahun ini. Tidak apa-apa, saya tidak kecewa karena memang kebijakan yang berlaku minimal usia 18 tahun," ungkapnya.

Pemerintah sejatinya memang tiap tahun membuka pendaftaran haji.Salah satu mekanisme dapat yang diakses ialah membuka tabungan haji, dengan besaran nominal setoran awal sebesar Rp25 juta. Kemudian terkait ketentuan pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih), itu bakal menyesuaikan dengan besaran biaya pada tahun keberangkatan masing-masing jemaah saat tahun keberangkatan. Jumlahnya dinamis sesuai ketetapan pemerintah setiap tahunnya.

Tim reporter:

Asrhawi Muin, Aan Pranata (Sulsel), Ni Komang Yuko Utami (Bali), Herlambang Jati Kusumo (Jogja), Muhammad Nasir (NTB), Feny Maulia Agustin (Sumsel), Rochmanudin (Jakarta), Yuliani (Sumsel), Tama Wiguna (Lampung)

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Aan Pranata
EditorAan Pranata
Follow Us